• Narasi
  • CERITA GURU: Ketika Haruki Murakami Membongkar “Neraka” Pendidikan Jepang

CERITA GURU: Ketika Haruki Murakami Membongkar “Neraka” Pendidikan Jepang

Kritik Murakami tentang pendidikan Jepang, memberikan gambaran bahwa pendidikan perlu memanusiakan manusia bukan hanya sekedar untuk membantu kemajuan sebuah negara.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Penasihat P2G Anggi Afriansyah membahas buku Haruki Murakami. (Foto: Dokumentasi Laila Nursaliha)

26 Maret 2025


BandungBergerak.id – Jika bulan Ramadan identik dengan Tadarus Al-Qur’an, lalu orang-orang sastra mencipta tadarus puisi, kemudian tadarus buku, dan kemudian P2G (Perhimpunan Pendidikan Guru) melakukan terobosan dengan Tadarus Pedagogi. Tentu saja tak mengaburkan makna dibalik tadarus, sebab tadarus adalah kegiatan membaca. Bedanya, Tadarus Pedagogi dimaksudkan untuk membahas hal-hal terkait tentang pendidikan.

Kegiatan ini merupakan angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia, terutama guru. Kegiatan yang membahas buku yang filosofis, mendalam, kritis, masih terbilang langka dan bisa dihitung jari. Tadarus ini dilakukan secara daring, dimulai pada zaman pagebluk. Setiap tahun menjadi agenda rutin dan teramat penting sekaligus berkontemplasi tentang 11 bulan yang lain dalam praktik pendidikan. 

Tahun 2025, sudah memasuki jilid ke-4, ada dua buku sastra menarik yang tak biasa dibahas. Pertama adalah buku Haruki Murakami dan kedua adalah Albert Camus yang begitu absurd. Bagi saya, kedua tokoh tersebut seperti menawarkan sesuatu yang ‘jauh’ dari bahasan pendidikan.

Salah satu bahasan dalam tadarus ini adalah buku Haruki Murakami dengan judul “Novelis sebagai Panggilan Hidup”. Kali ini dibedah oleh Penasihat P2G, Anggi Afriansyah. Ia merupakan peneliti BRIN yang aktif menulis opini maupun melakukan edukasi terkait buku-buku pendidikan di media sosial.

Buku-buku Murakami sudah dekat dan orang sekitar banyak yang menulis ulasannya. Tak jarang seperti buku IQ84, Kafka on The Shore, berseliweran sejak satu dekade lalu. Namun jarang dikaitkan dengan pendidikan.

Setelah mendengarkan paparan dari Peneliti BRIN, saya menemukan titik temu bahwa  Murakami menjadi penting dibahas dalam pendidikan sebab karya-karyanya menceritakan perjalanan terdalam akan manusia, pencarian jati diri, kebudayaan Jepang, masalah modernitas, kesehatan mental dalam era modern. Namun, ada bagian dari dirinya yang menuliskan secara langsung mengenai pendidikan di Jepang.

Tadarus Pedagogi 2025 yang digelar daring oleh P2G (Perhimpunan Pendidikan Guru). (Foto: Dokumentasi Laila Nursaliha)
Tadarus Pedagogi 2025 yang digelar daring oleh P2G (Perhimpunan Pendidikan Guru). (Foto: Dokumentasi Laila Nursaliha)

Sekolah yang Membosankan

Murakami dengan sengaja menyisipkan bab tentang pendidikan dalam bukunya yang berjudul “Novelis sebagai Panggilan Hidup”. Bagian ini bukan sekadar kenangan nostalgik, melainkan pisau bedah yang menyayat mitos sekolah sebagai tempat pencerahan. Di Jepang pasca perang (1950-1960an), sekolah memang bukan tentang prestasi akademik, melainkan mesin pencetak pekerja untuk pemulihan ekonomi.

Murakami mengaku sebagai murid medioker. Bagi penulis Norwegian Wood ini, sekolah hanyalah ruang untuk berteman dan bermain –bukan belajar. Sistem pendidikan yang kaku, di mana guru berceramah dan murid mencatat, justru membunuh minatnya. Ironisnya, ketidaktertarikannya pada sistem ini malah membentuknya menjadi pembelajar otodidak yang haus bacaan berbahasa Inggris.

Di sini ingatan Murakami beresonansi dengan teori belajar bermakna David Ausubel: pembelajaran hanya efektif ketika berbasis minat. Namun sekolah justru beroperasi sebagai "pabrik pengetahuan" yang memaksa murid menelan kurikulum standar. Sistem ini tidak hanya gagal menciptakan pembelajar, tapi juga –dalam kata-kata Murakami– "mengubah pendidikan menjadi ritual mekanis yang kosong".

Murakami menyoroti bahwa masalah seperti perundungan dan ketidaknyamanan belajar di eranya dianggap normal. Sekolah bukan "ruang pemulihan individu" sebagaimana idealnya, melainkan miniatur masyarakat yang represif. Kritik ini tetap relevan hari ini, di mana sistem pendidikan modern sering kali hanya memperparah kompetisi dan kecemasan akademik.

Pengalaman Murakami membuktikan: kreativitas tumbuh bukan karena sekolah, tapi sering kali terlepas dari sekolah. Ketika sistem gagal memenuhi hasrat belajar, jalan satu-satunya adalah memberontak –dengan menjadi pembaca yang rakus, penjelajah budaya, dan akhirnya: novelis dunia.

Baca Juga: CERITA GURU: Menegakkan Disiplin di Sekolah dengan Sistem Poin Terintegrasi
CERITA GURU: Menyoal Pembiayaan Sekolah
CERITA GURU: Mendidik Jiwa

Imajinasi, Kreativitas, dan Efisiensi

Murakami menggunakan metafora bahwa sistem pendidikan Jepang menghasilkan mental "anjing" (individu yang patuh dan mengikuti sistem) tetapi tidak memfasilitasi mental "kucing" (pemikir independen). Ia pun menganggap bahwa orang-orang yang sukses di bidang pendidikan merupakan orang yang bermental pengikut –mungkin Rhenald Kasali memiliki istilah mental passenger.

Anjing memiliki sifat yang sangat patuh dan disiplin, selalu mengikuti perintah, dan tidak mempertanyakan sistem. Dalam konteks pendidikan, bisa digambarkan bahwa mental anjing merupakan sebuah mental di mana siswa selalu mengikuti kurikulum tanpa kritik, menghafalkan materi namun kurang memahami esensi, dan sukses dalam ujian dan sistem penilaian konvensional, dan berpotensi menjadi profesional yang aman dalam tataran birokratis.

Sedangkan kucing memiliki sifat yang independen, tidak terpola, selalu memiliki rasa ingin tahu tinggi, sulit diprediksi. Dalam konteks pendidikan, mental kucing ini bisa dilihat dengan pemikir kritis, selalu mencari jalur alternatif, mempertanyakan semua yang ia terima, berpotensi sebagai seniman.

Implikasinya, Murakami mengejawantahkan sistem pendidikan yang menciptakan mayoritas anjing sebagai sebuah sistem yang membentuk kepatuhan, menekan ekspresi individual, dan membentuk masyarakat yang terstruktur. Ia juga menangkap bahwa ada implikasi lain yaitu hilangnya ruang untuk kreativitas.

Akar filosofi Jepang yang begitu kaku dan ambisi yang begitu kuat akan mempengaruhi bagaimana orang berada dalam kondisi tersebut. Jepang tak luput dari nilai-nilai Asia yang memiliki nilai konformitas. Atas sebab inilah, Jepang bisa maju dengan ambisinya mengejar ketertinggalan dari Barat.

Bagi Murakami, imajinasi bukan sekadar pelengkap, melainkan inti dari proses belajar yang sesungguhnya. Ia dengan tegas menyatakan bahwa sekolah seharusnya berfungsi sebagai taman bermain imajinasi. Pandangan ini berseberangan dengan konsep efisiensi ala Jepang yang justru ia kritik habis-habisan. Murakami melihat efisiensi sebagai musuh imajinasi; sistem yang terlalu mengagungkan keteraturan dan hasil terukur telah mengubah Jepang menjadi mesin raksasa yang dingin –terampil secara teknokratis tetapi miskin secara rohani.

Ironisnya, dunia justru memandang tinggi Jepang atas prestasi pendidikannya, terutama dalam hal kedisiplinan dan penghormatan pada guru. Pengakuan dari Barat ini, sebagaimana terekam dalam berbagai literatur, justru mengukuhkan paradoks: sebuah sistem yang diagungkan secara internasional ternyata oleh salah satu putra terbaiknya dinilai telah mengorbankan jiwa kreatif bangsa.

Dalam buku Barat Vs Timur, Asia direpresentasikan oleh Negara Asia Timur yaitu Jepang dan China. “Apakah Orang Asia bisa Berpikir?” merupakan salah satu kritik yang dilontarkan atas model pendidikan Jepang. Di mana Jepang menggunakan sistem ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) untuk mengejar ketertinggalannya. Daya inovasinya terhadap teknologi Jepang amatlah begitu tinggi melampaui Barat.

Kritik Murakami juga sejalan dengan analisis dari buku Kishore Mahbubani dalam bukunya “Bisakah orang Asia Berpikir?” dimana ia mempertentangkan antara kemampuan berpikir orang Asia dengan orang Barat. Dalam bukunya Mahbubani menyebut istilah “tak bisa berpikir” untuk orang Asia dalam hal melakukan penelitian-penelitian yang berbasis teori bukan yang berbasis teknologi.

Implikasi kritik Murakami tentang pendidikan Jepang, memberikan gambaran bahwa pendidikan perlu memanusiakan manusia bukan hanya sekedar untuk membantu kemajuan sebuah negara. Di mana ketika ia sudah membentuk sebuah sistem yang mekanis, maka sulit untuk memasukkan kemanusiaan di dalamnya. Bahkan ia menjadi sesuatu yang destruktif di tengah dunia yang memanusiakan manusia.

Pikiran Murakami tentang Pendidikan tentunya tidak lepas dari perspektif Barat dan timur. Letak geografis memainkan peran terhadap model pendidikan yang ada. Maka, kritik Murakami ini menjadi sebuah ide yang layak dipertimbangkan dalam dunia pendidikan khususnya yang ada di Timur. Pelajaran tentang negara-negara lain dalam melaksanakan pendidikan perlu menjadi pertimbangan dalam mengadaptasi sebuah sistem pendidikan. 

Di akhir, Anggi Afriansyah melakukan refleksi tentang arah pendidikan Indonesia. Kira-kira hendak dibawa ke manakah sistem pendidikan Indonesia? Apakah menuju ke arah timur atau ke arah barat? Meskipun Jepang menuai kritik, namun Jepang sudah mencapai titik sebagai negara yang mampu menyaingi Barat.

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//