CERITA GURU: Menyoal Pembiayaan Sekolah
Besaran biaya yang ditarifkan sekolah tidak menjamin kesejahteraan guru. Pemerintah harus mendorong akuntabilitas sekolah pada urusan pembiayaan dan keuangan.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
12 Maret 2025
BandungBergerak.id – Pernyataan Gubernur Jawa Barat di dunia pendidikan akhir-akhir ini menuai pro dan kontra. Dari masalah study tour hingga urusan penahanan ijazah di sekolah swasta. Tentunya masalah itu bukan berasal dari ruang hampa, ada masalah lain di balik itu yaitu keuangan sekolah. Saya cukup kecewa, alih-alih mengusut tentang bagaimana dana itu dimaksimalkan, namun malah menimbulkan satu permasalahan sendiri.
Sejak pertama kali masuk dunia persekolahan, saya termasuk yang tidak mau mengurusi urusan manajemen persekolahan terutama urusan keuangan. Sejak lulus, takdir berkata lain, banyak sekali yang harus dimuat ulang antara manajemen sekolah dengan manajemen kelas yang diampu oleh guru yaitu di kelas.
Di salah satu TK , saya belajar tentang manajemen sekolah secara helicopter view. Bagaimana kepala sekolah, guru, dan komponen sekolah bisa bersinergi. Sekolah bukan hanya tentang belajar mengajar saja, tapi ada sesuatu di sebaliknya agar proses kegiatan belajar mengajar bisa berlangsung secara lancar, aman, dan tenteram.
Pada waktu saya bergabung, sekolah ini belum memiliki izin operasional. Bisa dikatakan bahwa kami merintis sendiri untuk urusan legalisasi. Meskipun bukan sekolah kami, tapi kami mengusahakan agar sekolah ini cukup berumur panjang. Salah satu alasannya sederhana, agar sekolah ini menjadi institusi yang legal dan bisa menerima fasilitas serta bantuan dari pemerintah.
Satu permasalahan yang luput dari pikiran saya, adalah tentang dana-dana penunjang sebelum sekolah itu berdiri. Dalam pengajuan dinas satu pintu, perlu disebutkan ada modal yang dikeluarkan. Dalam izin pendirian sekolah, perlu ada modal 4x biaya operasional. Mungkin di sanalah titik temu di antara berbagai pikiran saya. Meskipun sekolah institusi non profit, tapi sekolah tetap memerlukan dana untuk operasional.
Meskipun sekolah ini sudah menerima bantuan operasional dari pemerintah, kadang masih kurang untuk menutupi pembiayaan sekolah keseluruhan. Hal ini belum termasuk kasus gagal bayar yang selalu saja ada setiap tahun. Bayangan dana bantuan operasional sekolah yang disangka sudah bisa menutup kebutuhan sekolah, masih jauh dari ideal.
Baca Juga: CERITA GURU: Belajar Bersama Pramoedya Ananta Toer dan Ajip Rosidi
CERITA GURU: Menilik (Kembali) Wacana Pengurangan Mata Pelajaran Sejarah
CERITA GURU: Tangan, Alat Ajaib Membentuk Sebuah Kecerdasan Anak
Memikirkan Sumber Pembiayaan Sekolah
Tak ada niatan mendalami bidang pembiayaan sekolah. Saya menerapkan batasan agar tidak turut campur dalam pembiayaan sekolah. Namun, isu komersialisasi pendidikan dan sekolah yang diperlakukan seperti barang ekonomi membuat sedikit berpikir tentang pembiayaan. Terlebih isian-isian perlengkapan, borang, dan kepala sekolah juga tak sedikit curhat mengenai pembiayaan.
Target masyarakat sekolah kami adalah menengah ke bawah. Salah satu pertimbangan yang kami hadapi ketika mengalkulasi dana. Secara sadar, pembiayaan yang ada akan membuat biaya semakin tinggi dan orang tua tentu keberatan. Imbas dari tingginya harga, banyak orang tua yang akan urung memasukkan anaknya di sekolah kami. Kekurangan murid, dan sekolah pun kekurangan sumber pemasukan.
Maka, jalan tengahnya adalah apakah ada sumber pembiayaan lain selain dari pemasukan dari wali santri? Permasalahan selanjutnya, apakah semua permasalahan pembiayaan ini ditanggung sendiri oleh sekolah tanpa melibatkan yayasan? Selama ini, banyak sekolah yang berhitung sendiri dalam memenuhi hajat operasional sekolah. Padahal jelas, tuntutan terhadap sekolah cukup tinggi dan membantu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Semenjak terlibat dalam manajemen sekolah, saya menjadi tahu bahwa mengelola sekolah tak sesederhana kelihatannya. Dalam hal ini, kepala sekolah saya sering memaparkan kasus-kasus pembiayaan untuk sekolah. Di mana kami ingin memberikan layanan dan pembelajaran yang baik di sisi lain, terbentur pendanaan. Antara daya beli masyarakat dan membuka peluang donatur.
Tidak semua sekolah memiliki donatur tetap, yayasannya bergerak aktif membantu keuangan sekolah, serta stabil keuangannya. Jika kami mendapati sekolah yang kualitasnya bagus namun mematok biaya yang tidak tinggi, tentu kami akan segera bertanya “bagaimana cara sekolah ini mendanainya?” sebab beban operasional sekolah tidak sedikit.
Kami sedikit melakukan studi banding mengenai pengalokasian pembiayaan di sekolah. Salah satunya adalah penambahan margin di antara kegiatan-kegiatan yang di lakukan di luar, kerja sama dengan pihak lain, dan sebagainya. Bahkan Pengawas kami sampai memikirkan cara strategi marketing agar bisa bekerja sama dengan pihak lain.
Dibalik Honor Guru yang Tidak Memenuhi Standar
Tidak ada perencanaan berapa standar honor guru di sekolah. Itulah salah satu akar masalah ketika mulai melakukan mendirikan sekolah. Target yang disediakan adalah target murid yang masuk. Sehingga honor guru adalah sisa dari berbagai beban operasional setelah semua pembiayaan habis.
Bukan tanpa alasan, tapi pendirian sekolah yang dilakukan secara pengabdian memang sudah terbiasa di kalangan masyarakat. Bahkan tak jarang ada beberapa pemilik sekolah yang menginginkan profit namun imbasnya adalah tidak membayar guru sesuai standar yang benar.
Merujuk kepada salah satu penelitian tahun 2009 dari dosen Universitas Pendidikan Indonesia, sekolah bermutu baik menghabiskan dana yang cukup besar untuk mengembangkan personalia baik tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Sedangkan di sekolah dengan standar yang lain, menghabiskan dana pada kegiatan belajar dan mengajar.
Di sisi lain, besaran biaya yang ditarifkan sekolah malah tidak menjamin kesejahteraan guru. Tidak sedikit besaran itu habis untuk fasilitas sekolah yang bersifat fisik dan masuk ke kantong yayasan, bukan untuk guru. Tak jarang, untuk mencapai besaran biaya yang diharapkan, maka guru perlu mendapat tugas tambahan yang sering kali di luar ruang lingkup kerja sebagai guru.
Guru perlu kerja rodi untuk menambah tugas tambahan sebagai bendahara, sebagai operator, yang sama sekali tak ada hubungannya dengan pekerjaannya. Padahal pekerjaan tersebut memerlukan waktu yang lebih untuk mengerjakannya. Tak jarang, karena guru adalah admin, ia pun sering meninggalkan kelas dan sekolah membiarkannya menjadi jam kosong.
Selain peranan yayasan yang seharusnya mampu memikirkan pembiayaan sekolah yang dinaunginya, peran pemerintah seharusnya bisa mendorong akuntabilitas sekolah dalam ranah publik terutama urusan pembiayaan dan keuangan. Tiadanya transparansi, menjadikan syak wasangka di berbagai kalangan. Ke mana dan untuk apa dana tersebut digunakan?
Pembiayaan sekolah ini tentu tak dapat dipukul rata. Ia tergantung konteks kebutuhan maupun kendala. Namun, pemerintah diharapkan bisa menengahi bukan hanya mengancam sekolah-sekolah yang sejak semula memang kesulitan. Tapi bisa membantu kesulitan sekolah menangani permasalahannya.
Jika pemerintah memiliki itikad baik dalam rangka pemerataan pendidikan, tentu efektivitas pendanaan ini perlu dan bisa diawasi dengan benar. Begitu pun dengan pihak swasta dan masyarakat yang memiliki perhatian terhadap pendidikan, perlu meningkatkan berbagai macam aspek salah satunya pendanaan, bukan hanya berpikir tentang bagaimana sekolah berjalan tapi tidak memikirkan peningkatan kualitas dan kesejahteraan.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru