CERITA GURU: Ketika “Menemani Bermain” Membutuhkan Gelar Sarjana
Ketika profesi guru tidak diakui sebagai profesi setara dengan profesi lainnya, konsekuensinya jelas: penghargaan yang tidak sepadan secara sosial maupun finansial.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
11 Juni 2025
BandungBergerak.id – Matahari sepenggalan naik agak tinggi. Peserta didik yang sedang bermain di jam istirahat sekolah berbincang dengan gurunya. Seorang peserta didik kelas TK B mendekati gurunya yang sedang mengawasi anak-anak bermain bebas. Lalu bertanya
“Ummi, kok main sama kita terus? Emangnya Ummi gak kerja?”
“Ya, Ummi ini lagi kerja.”
Mereka kebingungan. Mungkin konsep mereka bekerja adalah pergi ke kantor
Saya yang melihat percakapan guru dan peserta didik itu pun merasa tergelitik. Jadi, selama ini sebagian anak tidak tahu atau tidak merasa kalau gurunya itu sedang bekerja. Ternyata bukan kami saja yang mengalami kejadian serupa, rekan kami guru Sekolah Dasar pun menceritakan hal serupa. Bahwa ibu guru ke sekolah, menurut mereka, itu bukan bekerja tapi menemani mereka main dan belajar.
Anak-anak tidak tahu saja, untuk sekedar menemani mereka main, diperlukan syarat lulus Sarjana. Saya ingin tertawa selepas-lepasnya. Kami memaklumi pikiran-pikiran anak-anak yang seperti itu. Tapi, sayangnya bukan hanya anak-anak saja yang berpikiran demikian. Masih banyak orang dewasa dan masyarakat yang berpikir demikian.
Percakapan sederhana ini membuka tabir tentang persepsi profesi guru yang begitu mengakar. Pertanyaan polos ini menyiratkan pandangan bahwa "menemani bermain" bukanlah pekerjaan serius. Ironinya, untuk "sekadar menemani bermain" ini, seseorang harus menempuh pendidikan sarjana dan memenuhi kualifikasi profesional yang ketat. Ketika profesi guru tidak diakui sebagai profesi yang setara dengan profesi lainnya, konsekuensinya jelas: penghargaan yang tidak sepadan, baik secara sosial maupun finansial.
Baca Juga: CERITA GURU: Peran Guru Profesional di Era Global
CERITA GURU: Salah Kaprah Dedi Mulyadi Membawa Siswa ke Barak Militer
CERITA GURU: Walau Habis Terang
Guru: Pekerja Pengetahuan sekaligus Pekerja Pengasuhan
Dalam pendidikan anak usia dini, batas antara mengajar dan mengasuh sering kali kabur. Para guru PAUD dan TK tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga memenuhi kebutuhan emosional, fisik, dan sosial anak-anak. Mengasuh dalam konteks ini mencakup berbagai tindakan yang sering tidak terlihat sebagai "pekerjaan" dalam arti konvensional:
Di lapangan, Guru PAUD melakukan beberapa pekerjaan multidimensional seperti merancang lingkungan pembelajaran yang diperlukan untuk perkembangan peserta didik, mendiagnosis kebutuhan sosial dan emosional anak, melakukan asesmen deteksi dini pertumbuhan dan perkembangan anak, serta membangun jembatan antara sekolah dan rumah.
Selain itu, guru juga menjadi orang tua di sekolah melalui mendengarkan dengan empati ketika seorang anak berbagi cerita atau kekhawatiran anak. Guru juga membantu peserta didik mengolah emosi saat mereka marah, sedih, atau kecewa. Kemudian, memberikan dasar serta mendampingi dalam rutinitas dasar seperti makan, mencuci tangan, atau ke toilet. Dan memberikan sentuhan penyembuhan saat mereka terluka atau sakit
Noddings, pakar filosofi pendidikan, menekankan bahwa pengasuhan dalam pendidikan bukanlah tambahan –melainkan inti dari hubungan guru-murid yang bermakna. Tanpa pengasuhan, pembelajaran sejati sulit terjadi karena anak-anak perlu merasa aman dan dihargai sebelum mereka siap menyerap pengetahuan baru.
Pendapat ini juga didukung oleh Broström, Profesor di bidang Pendidikan Anak Usia Dini, dalam paper-nya bahwa kesatuan antara pengasuhan, pengajaran, dan membawanya kepada kesejahteraan anak. Sebab konsep pengasuhan lebih kepada berhubungan dengan praktik daripada aktivitas pendidikan.
Maka dari itu, Vina Adriany, Ketua SEAMEO Regional Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP) menekankan bahwa pekerjaan untuk guru PAUD terjadi keduanya beriringan yaitu pendidikan dan pengasuhan. Hal ini berkait dengan kebutuhan anak yang memerlukan pendidikan dalam pengasuhan, juga sebaliknya anak memerlukan pengasuhan dalam pendidikan.
Hal-hal yang disebutkan di atas malah menjadi paradoks tersendiri ketika semakin banyak aspek pengasuhan dalam peran guru, semakin rendah pula status profesional dan penghargaan finansial yang diterima oleh guru. Hal Ini mencerminkan bagaimana pekerjaan "care work" sering kali bukan dianggap sebuah pekerjaan yang layak dianggap sebagai pekerjaan, meskipun memiliki dampak yang cukup fundamental terhadap perkembangan manusia.
Gender dan Devaluasi Profesional
Pekerjaan pengasuhan, termasuk mengajar anak usia dini, secara historis dan global didominasi oleh perempuan. Hal ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari konstruksi sosial yang menganggap pengasuhan sebagai "kodrat alami" perempuan, bukan sebagai keterampilan yang dipelajari dan bernilai ekonomi.
Seperti apa yang dikatakan oleh Katrin Marcal, penulis buku “Siapa yang Memasak Makan Malam Adam Smith?” Ada dua hal yaitu pekerjaan pengasuhan dan perempuan. Entah karena pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan atau karena perempuan melakukan pekerjaan tersebut sehingga pekerjaan domestik yang di dalamnya adalah pengasuhan menjadi tidak berarti.
Permasalahan ini juga dibahas dalam buku Freakonomics, di mana kerja pengasuhan bukan dianggap sebagai pekerjaan yang bernilai ekonomi sehingga ketika seseorang melakukan hal tersebut, ia melakukan sesuatu yang kurang berguna dan tidak menambah nilai ekonomi. Rata-rata kebanyakan pekerjaan tersebut dilakukan oleh perempuan sehingga berbuah menjadi feminisasi pekerjaan atau profesi.
Data menunjukkan bahwa hampir 97 persen guru PAUD di Indonesia adalah perempuan. Feminisasi profesi guru, terutama di tingkat pendidikan awal, berkontribusi pada rendahnya gaji dan status sosial yang diterima. Pandangan bahwa mengasuh anak adalah "panggilan hati" atau "naluri keibuan" sering digunakan untuk membenarkan kompensasi yang tidak memadai.
Tronto, seorang teoretikus etika pengasuhan, berargumen bahwa devaluasi pekerjaan pengasuhan mencerminkan ketidakadilan gender yang lebih luas dalam masyarakat. Ketika kita menganggap pengasuhan sebagai "kerja cinta" yang dilakukan secara alami oleh perempuan, kita gagal mengakui kompleksitas keterampilan yang terlibat dan nilai sosial yang besar.
Revaluasi pekerjaan pengasuhan, termasuk mengajar di tingkat pendidikan awal, memerlukan pengakuan bahwa "merawat" (caring) adalah tindakan profesional yang membutuhkan keterampilan khusus dan berhak mendapatkan kompensasi yang setara dengan profesi teknis atau manajerial yang didominasi laki-laki. Beberapa kajian seperti Theorizing of Care, mulai membahas mengenai apa permasalahan yang terjadi dalam kerja-kerja pengasuhan dan bagaimana kita bisa bertahan dan melindunginya.
Untuk mewujudkan revaluasi tersebut, maka perlu reformasi kebijakan yang mendukung kompensasi untuk mengakui kompleksitas pekerjaan pengasuhan dan perawatan. Bukan hanya dalam sektor pendidikan, tetapi juga sektor lain yang perlu diakui. Pengenalan dari pekerjaan-pekerjaan pengasuhan dan perawatan jiwa. Serta keseimbangan gender dalam hal ini, mungkin sudut pandang ketika memandang seseorang berdasarkan profesi atau pekerjaannya.
Pertanyaan yang merupakan celotehan anak-anak TK tentang apakah guru mereka “bekerja”, mereka, sedang membuka ruang untuk dialog yang lebih luas dalam ruang sosial dan berpikir ulang tentang pandangan mengenai kerja-kerja keperawatan. Khususnya merawat masa depan bangsa. Sekaligus menanyakan ke dalam lubuk hati terdalam seorang guru mengenai apa makna pekerjaan dan eksistensi sebagai guru. Sering kali, banyak godaan sebab Guru PAUD dianggap tidak bekerja oleh masyarakat.
Maka, jawaban untuk anak-anak tersebut, perlu kita sebutkan dengan percaya diri : “Ya! Kita sedang bekerja menyentuh jiwa-jiwa yang ada di dalam raga.”
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru