• Narasi
  • CERITA GURU: Walau Habis Terang

CERITA GURU: Walau Habis Terang

Guru adalah pekerja, manusia biasa dengan kebutuhan riil. Mereka hidup di tepi jurang, rentan terperosok dalam lingkaran kemiskinan.

Yogi Esa Sukma Nugraha

Warga biasa yang gemar menulis isu-isu sosial dan sejarah

Guru bukan sekadar mengajar pelajaran di kelas, ia mengajarkan tentang kehidupan bagi murid-muridnya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

28 Mei 2025


BandungBergerak.id – Apa kira-kira yang membuat manusia bisa tetap tegak, walau hatinya meratap?

Pertanyaan ini mengemuka setelah mendengar alunan lagu Walau Habis Terang dari Peterpan. Sulit bahkan untuk sekadar membayangkan, apakah bisa seorang manusia setelah mengalami puncak kegembiraan –katakanlah, awal bulan ketika kantong masih tebal– harus rela memudar. Dengan pasti pula. Huh!

Pudar, sebagai kata yang dipilih Ariel sang vokalis, saya kira bukan sekadar metafora; ia adalah bayang-bayang yang kerap menyelimuti kehidupan sehari-hari kaum papa tak terkecuali guru honorer, yang biasa bermimpi di awal bulan, lalu terseret kembali ke realitas yang kelam. Walau Habis Terang menjelma semacam rayuan psikologis yang menopang mereka yang berjuang di garis depan pendidikan. Banyak yang terus berjalan, meski cahaya harapan timbul tenggelam.

Baca Juga: CERITA GURU: Hierarki Sosial yang Kabur dari Inklusivitas Sekolah
CERITA GURU: Peran Guru Profesional di Era Global
CERITA GURU: Salah Kaprah Dedi Mulyadi Membawa Siswa ke Barak Militer

Romantisasi Guru

Ini merupakan persoalan klasik. Mari kita buang jauh-jauh romantisisme tentang guru sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa". Bukan berarti mengucilkan kontribusi guru, bukan. Jauh dari itu, untuk melihat bahwa nasib mereka juga muram. Guru adalah pekerja, manusia biasa dengan kebutuhan riil, yang sering kali terjebak dalam sistem yang lebih kejam daripada kemurahan hati elite. Mereka hidup di tepi jurang, rentan terperosok dalam lingkaran kemiskinan.

Laporan NoLimit Indonesia mengungkap fakta pahit: 42 persen korban pinjaman online (pinjol) ilegal adalah guru, jauh melampaui korban lain seperti pekerja yang di-PHK (21 persen), ibu rumah tangga (18 persen), karyawan (9 persen), hingga pelajar (3 persen). Ironis sekali. Mereka yang mengajari kebijaksanaan kepada anak-anak di kelas justru terjerat lintah darat, terpaksa memilih antara kelaparan atau utang yang mencekik.

Prita Hapsari Ghozie, yang adalah CEO Zapfinance, menegaskan dua penyebab utama. Pertama, penghasilan guru yang minim. Kedua, literasi keuangan yang rendah. "Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi," katanya, sebagaimana dikutip dari laporan Antaranews, yang terbit pada 23 November 2023.

Ironisnya lagi, sebagian guru meminjam bukan untuk kemewahan, melainkan untuk kelengkapan mengajar –buku, alat tulis, atau bahkan kuota internet untuk menopang kelas daring. Data menunjukkan utang mereka rata-rata mencapai puluhan juta rupiah per orang. Belum lagi persoalan bunga pinjol yang meroket karena ketidaktahuannya akan jebakan finansial.

Sungguh pelik, jika terminologi tragis dianggap terlalu pesimistis. Bahkan persoalan ini diperparah kurangnya literasi publik. Bagaimana, dan siapa, yang bisa memutus lingkaran setan ini?

Pendidikan dan Ironi Cahaya yang Redup

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Pendidikan adalah proses memanusiakan manusia." Kalimat ini seharusnya menjadi pelita yang menerangi jalan, bukan hanya bagi murid, tetapi juga bagi guru yang menjalankan tugas itu. Namun, realitas yang ada justru bertolak belakang.

Minimnya kesejahteraan guru, terutama guru honorer di sekolah swasta, serta status tidak tetap yang melekat pada mereka, menjadi semacam kerikil dalam sepatu sistem pendidikan kita. Sekali lagi saya ulangi, ini merupakan persoalan klasik, tetapi seolah abadi, yang masih saja menghantui guru-guru di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya Pasal 14, dengan jelas menyatakan bahwa guru berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun, regulasi ini ibarat janji manis yang tersimpan di laci birokrasi. Implementasinya pincang, meninggalkan guru honorer dan swasta dalam ketidakpastian.

Satriawan dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), dalam satu wawancara, menegaskan perlunya regulasi upah minimum bagi guru non-ASN, demi kesejahteraan yang tak lagi seperti menanti hujan di musim kemarau. Survei di berbagai daerah Indonesia juga menunjukkan krisis yang seragam: kebutuhan dasar guru honorer swasta tak terpenuhi.

Nyaris seperti ABRI di era sebelum reformasi, mereka terpaksa berimprovisasi, menyambi sebagai pengemudi ojek online, penjual makanan, atau kreator konten, tentu saja dengan peralatan seadanya. Yang membedakan, meski diusahakan sekuat tenaga, langkah ini sering kali tak cukup untuk mengangkat mereka dari lumpur kemiskinan. Guru terus berjalan, walau habis terang.

Pertanyaannya, hingga kapan mereka bisa bertahan? Bagaimana caranya jika persoalan mendasar saja belum diselesaikan?

Guru Tetap Tegar

Kembali ke pertanyaan awal: apa yang membuat guru tetap tegar, meski hati mereka ambyar? Saya menduga jika ketangguhan mereka adalah perpaduan antara kepekaan batin dan insting bertahan hidup, yang terbentuk dari pergulatan hidup sehari-hari. Terutama yang berjuang di sekolah-sekolah terpencil atau dengan gaji pas-pasan.

Ia menemukan makna dalam pekerjaan mereka. Setiap murid yang belajar sungguh-sungguh, setiap anak yang hendak menemukan mimpinya, adalah percikan terang yang membuat mereka rela melepuh seperti kulit yang kena gigitan serangga. Saya kira mereka terus bertahan bukan karena kuat, melainkan dialasdasari keyakinan bahwa cahaya yang mereka pancarkan akan hidup generasi berikutnya. Semacam pelampung di tengah badai.

Hidup dalam ketidakpastian –upah minim, status tak jelas, tekanan sosial– membentuk daya tahan yang tak biasa. Guru honorer belajar menertawakan ironisme dalam hidup: membeli kapur dengan utang, atau memberi ceramah tentang kesuksesan sambil menyembunyikan tagihan pinjol. Solidaritas antarguru, seperti grup WhatsApp atau diskusi di ruang guru, menjadi ruang aman untuk berbagi beban. Ini merupakan bentuk ketangguhan yang tak mewah, tapi nyata adanya, seperti pelancong yang tetap melangkah meski kakinya lelah.

Banyaknya guru yang menyambi sebagai ojol atau kreator konten itu bukan sekadar usaha sampingan, melainkan bara harapan yang menolak padam. Mereka bertaruh pada masa depan, meski dengan alat seadanya, meski pinjol sering menjadi jalan pintas yang menyesatkan. Data NoLimit Indonesia menunjukkan betapa harapan ini sangat berpotensi membawa mereka ke tepi jurang.

Bayangkan saja. Sekali lagi saya ulang: 42 persen korban pinjol adalah guru. Ia rentan terjerat bunga yang mungkin sukar dipahami. Namun, harapan tetap menjadi jangkar yang melekat. Kuat.

Sebetulnya, profesi guru, meski kerap dinomorduakan secara ekonomi, masih dianggap mulia. Identitas ini memberi mereka harga diri, walau sering kali pahit. Dukungan dari keluarga, kolega, atau murid yang menghormati mereka menjadi pelita kecil. Namun, stigma sosial juga memaksa mereka menyembunyikan penderitaan –guru tak boleh terlihat lemah, sehingga mereka tersenyum di kelas sambil menahan pilu di hatinya.

Menyalakan Kembali Terang yang Padam

Masalah guru bukanlah kisah individu, melainkan kegagalan sistemik yang membutuhkan solusi kolektif. Berikut adalah langkah-langkah konkret, yang, semoga saja bisa sedikit menerangi:

1. Regulasi Upah Minimum yang Mengikat

Satriwan dari P2G menekankan perlunya upah minimum bagi guru non-ASN. Pemerintah harus menerjemahkan Pasal 14 UU No. 14/2005 ke dalam regulasi yang tegas, dengan standar upah minimum yang disesuaikan biaya hidup daerah. Misalnya, gaji guru honorer di Jakarta harus berbeda dengan di pedalaman Papua, tapi keduanya harus layak. Tanpa ini, guru akan terus terjebak dalam dilema: kelaparan atau lintah darat. Regulasi ini juga harus disertai sanksi bagi sekolah atau pemerintah daerah yang melanggar.

2. Program Literasi Keuangan yang Terarah

Kurangnya literasi keuangan, seperti disoroti Prita Hapsari Ghozie, adalah bom waktu. Pemerintah, bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga swadaya masyarakat, harus meluncurkan program literasi keuangan khusus untuk guru. Program ini bisa berupa pelatihan gratis, modul daring, atau simulasi pengelolaan keuangan. Fokusnya bukan hanya menghindari pinjol, tetapi juga membangun kebiasaan menabung dan investasi kecil. Guru harus diajari membedakan jerat pinjol ilegal dari solusi keuangan yang sah.

3. Peningkatan Status Guru Honorer

Status tidak tetap adalah belenggu terbesar guru honorer. Pemerintah perlu mempercepat pengangkatan guru honorer menjadi ASN atau setidaknya memberikan kontrak jangka panjang dengan jaminan sosial, seperti BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Data Kementerian Pendidikan (2023) menunjukkan ada lebih dari 500.000 guru honorer di Indonesia —jumlah yang terlalu besar untuk diabaikan. Skema pengangkatan bertahap, dengan prioritas pada guru di daerah tertinggal, bisa menjadi langkah awal.

4. Pemberdayaan Ekonomi

Banyak guru menyambi untuk bertahan hidup, tapi usaha mereka sering terhalang oleh keterbatasan modal atau keterampilan. Pemerintah dan swasta bisa berkolaborasi untuk memberikan pelatihan kewirausahaan, akses modal murah, atau platform untuk memasarkan produk/jasa mereka (misalnya, kursus daring atau konten edukasi). Program ini harus dirancang dengan memahami realitas guru: waktu terbatas dan sumber daya minim.

5. Advokasi Publik dan Pergeseran Narasi

Masyarakat perlu dilibatkan untuk mengubah narasi tentang guru. Kampanye publik, didukung media dan influencer, bisa menekan pemerintah untuk bertindak sekaligus meningkatkan kesadaran tentang realitas guru. Kita harus berhenti memanggil mereka "pahlawan" jika itu digunakan sebagai alasan untuk membiarkan upah yang minim. Sebaliknya, kita perlu narasi baru: guru adalah pekerja yang berhak hidup layak.

Terang yang Abadi

Guru ibarat lilin yang rela meleleh demi menerangi, tapi masyarakat kita tak boleh membiarkan mereka habis begitu saja. Ketangguhan mereka, yang lahir dari makna, harapan, dan solidaritas, adalah bukti bahwa manusia bisa berjalan walau habis terang. Tentu jelas. Namun, ketangguhan itu bukan alasan untuk membiarkan mereka berjuang sendirian. Sistem yang lebih adil, regulasi yang tegas, dan empati kolektif adalah pelita yang harus kita nyalakan bersama.

Dan walau habis terang, semoga kita tak hanya menyaksikan mereka berjalan dalam gelap, tetapi juga menjadi bagian dari fajar yang mereka nantikan. Sebab, jika keadaan semacam ini dibiarkan, bukankah itu berarti kita kehilangan cahaya?

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Yogi Esa Sukma Nugraha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//