• Kolom
  • CERITA GURU: Dari Rak Kosong hingga Mimpi Literasi, Dilema Pengadaan Buku di Sekolah

CERITA GURU: Dari Rak Kosong hingga Mimpi Literasi, Dilema Pengadaan Buku di Sekolah

Pemerintah mendorong peningkatan literasi dengan membolehkan penggunaan 10 persen dana BOSP untuk buku. Sayangnya ada pembatasan buku yang boleh dibeli sekolah.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

30 Juli 2025


BandungBergerak.id – George McTurnan Kahin, sejarawan yang bukunya sering menjadi referensi sejarah modern Indonesia. Bukunya mungkin tak banyak dibaca oleh orang Indonesia kecuali mahasiswa jurusan Sejarah. Apalagi oleh anak-anak. Dosen saya, Said Hamid Hasan, yang sedang berkunjung di Australia mendapati anak yang sedang membaca buku tersebut.

Dosen saya, Prof. Said Hamid Hasan, yang sedang melakukan studi di sana tertarik kaget sekaligus berbahagia. Bagaimana mungkin seorang anak seusia itu bisa dan mau membaca buku sedemikian kompleks? Jawabannya terletak pada deretan rak-rak tinggi di sekelilingnya –perpustakaan yang tidak hanya menyediakan buku cerita anak, tetapi juga referensi lengkap yang dapat diakses siapa saja, termasuk anak-anak.

Mataku berbinar dan menemukan satu benang merah dengan cerita yang sebelumnya pernah mampir dalam bacaanku. Salah satunya dalam novel To Kill a Mockingbird. Sekolah mereka sudah lengkap menggunakan Dewey Decimal untuk buku-bukunya. Bahkan, anak kelas 1 sudah menghafal klasifikasi buku berdasarkan urutan Dewey Decimal. 

Kenyataan memang getir, ketika melihat sekolah sekitar. Jika ditanya perpustakaan, maka yang ada adalah gudang buku atau sederet buku teks yang berjajar sedemikian rupa. Ada juga yang lebih mengkhawatirkan : tak memiliki perpustakaan. Selain belum menjadi prioritas, masih banyak sekolah yang belum mengintegrasikan buku ke dalam sumber pembelajarannya, kecuali buku teks. Kalaupun ada, masih terjadi tarik menarik dana antar kebutuhan sekolah.

Baca Juga: CERITA GURU: Menggambar Sejarah
CERITA GURU: Tantangan Meningkatkan Mental Belajar Siswa
CERITA GURU: Sarjana Gawai

Secercah Harapan dari Alokasi 10 Persen Dana BOSP

Setiap kali membicarakan buku, kami selalu memiliki “titik gereget” tersendiri. Di antaranya adalah terkait pengadaan buku. Terkadang, sekolah banyak memilih rekreasi atau membeli baju daripada membeli buku. Inilah titik persoalan utama ketika buku memang belum menjadi prioritas utama: budaya sekolah.

Masalah kedua, ketika akhirnya sekolah membeli buku, pilihannya adalah buku teks yang membosankan. Deretan buku paket dengan sampul monoton, isi yang kaku, tanpa ilustrasi menarik yang bisa memantik rasa ingin tahu anak-anak. Alih-alih menumbuhkan cinta baca, buku-buku seperti ini justru membuat anak alergi dengan kegiatan membaca.

Pertengahan Juni 2025, saya duduk di salah satu bangku SD yang sesak. Terpaksa dipakai karena tak ada lokasi lain. Dinas Pendidikan menggelar roadshow maraton ke berbagai kecamatan. Isinya presentasi demi presentasi tentang petunjuk teknis Bantuan Operasional Satuan Pendidikan (BSOP) terbaru satu lagi tentang pajak. Para pejabat terlihat tergesa-gesa, berkejaran dengan waktu. Pertama, waktu roadshow yang begitu singkat. Kedua, waktu pengesahan anggaran yang berbarengan dengan segudang riweuhnya menyiapkan tahun ajaran baru.

Petunjuk teknis terbaru tentang alokasi dana BOSP dirilis di tengah tahun. Namun kemunculannya yang mendadak membuat semua pihak keteteran. Tidak ada persiapan, tidak ada sosialisasi awal. Pertanda kami harus mengubah anggaran semakin kentara ketika alokasi honor guru yang semula 50 persen dipangkas menjadi 40 persen.

Satu poin menarik perhatian saya: minimal 10 persen dana BOSP dalam satu tahun dialokasikan untuk pojok baca. Kepala sekolah dan saya saling bertukar pandang. Mata kami berbinar –ini kesempatan emas!. Tapi, setelah dipikir ulang, kami baru saja mendapatkan beberapa buku baru. Kepala sekolah mempertimbangkan bahwa pengadaan buku masih perlu namun tidak begitu banyak. Disebabkan selama ini kami memang rutin membeli buku.

Dengan dana BOSP 10 persen itu, target kami sederhana: satu seri buku berkualitas yang benar-benar dibutuhkan anak-anak. Biasanya harga satu set atau satu seri buku anak usia PAUD setara dengan alokasi wajib dana sekolah kami tahun ini, sekitar 1.5-2 juta rupiah.

Namun euforia kami tidak berlangsung lama. Ternyata ada "aturan lanjutan" yang disebutkan kemudian dalam presentasi utama. Buku yang boleh dibeli harus masuk dalam daftar rekomendasi resmi pemerintah. Buku rekomendasi itu bisa diakses di laman buku sistem informasi buku Kemendikdasmen. Malam itu setelah sosialisasi, saya membuka laptop dengan penuh harap. Layar menampilkan portal resmi, dan saya mulai menjelajahi katalog yang tersedia.

Ingatan tentang bantuan 1.000 buku perpustakaan nasional membawa saya pada petunjuk bahwa ada buku-buku berkualitas yang bisa dibeli. Saya baca buku-buku bantuan tersebut, dan memang bagus. Dengan desain baik sesuai dengan jenjang dan tahapan literasinya. Beberapa hasil terjemahan yang sudah diadaptasi dengan budaya Indonesia. Saya masih optimis, untuk anak TK, tampaknya masih bisa. Tinggal mencari di mana saya bisa mencari buku-buku ini?

Menengok Berbagai Macam Benturan Lapangan

"Apakah Ibu-ibu selalu mengunggah ketersediaan buku di Dapodik?" tanya rekan yang baru saja dari dinas saat sosialisasi. Ia melanjutkan, bahwa keberadaan data di Dapodik adalah salah satu temuan pemerintah tentang banyaknya sekolah tidak memiliki buku.

Pertanyaan itu cukup mengagetkan bagi saya, sekaligus membangkitkan kekesalan ketika harus menginput data buku yang sekolah kami miliki. Ingin sekali saya mengeluh tentang koleksi buku kami yang tak bisa dimasukkan dalam Dapodik. Kami tidak bisa menambahkan koleksi sendiri ke dalam sistem. Akibatnya, meski sebenarnya kami sudah memiliki beberapa seri buku bacaan berkualitas, buku balita yang menarik semua itu seolah tidak pernah ada dalam catatan. Nilai rapor sekolah kami pun cukup terpuruk di bagian "ketersediaan bahan bacaan."

Situasi cukup menantang ketika kami mencoba berbelanja melalui SipLah, situs resmi pengadaan barang dan jasa untuk sekolah. “Pokoknya kudu ketemu!” tekadku begitu. Awalnya, kami tak pernah memasukkan pembelian buku ke dana BOSP, karena jenis bukunya itu. Kami merasa banyak buku membosankan untuk anak. Sering kali, kami tak menemukan buku yang bagus untuk anak.

Buku yang kami incar, harganya memang kisaran 50 ribu-100 ribu/buku. Namun, meskipun ada di katalog buku, ia dijual dengan harga 22 ribu hingga 30 ribu-an. Harga buku di bawah 10 ribuan, dicetak dengan menggunakan HVS 70 gram. Kira-kira, berapa lama ia bertahan menghadapi sentuhan tangan anak-anak yang penuh keingintahuan?

Kepala sekolah dan saya skeptis. "Kertas macam apa yang akan dipakainya menjadi buku?" Mengingat harga cetak dan harga kertas sekarang mengalami lonjakan. Apalagi untuk anak usia dini, sering kali butuh jenis kertas yang lebih tebal. Lebih bagus lagi apabila tak cepat meresap cairan. 

Pengalaman kami mengajarkan bahwa ketika harga terlalu murah untuk sebuah buku anak, pasti ada yang dikorbankan. Kertas buram yang mudah robek, tinta yang mudah luntur, gambar pixelated yang membuat mata perih –semua itu sudah pernah kami alami. Tak jarang berakhir menjadi buku yang pertama kali rusak. Jangan buku dengan kualitas begitu, buku mahal yang didesain khusus pun, kadang kewalahan menangani energi anak-anak yang sedang berkembang itu.

Sambil melihat dan memilah buku dari daftar manajemen pemerintah, saya dan kepala sekolah mencermati kembali peraturan menteri. Kami berharap bisa membeli ensiklopedia anak-anak, buku pengayaan, dan sebagainya. Salah satu alasannya kami tak membeli buku teks yang sesuai jumlah siswa karena memang tidak diperlukan di sekolah kami.  

Tak ketinggalan, kepala sekolah kami menerima promosi dari beberapa percetakan buku. Katanya sebagai referensi untuk berbelanja. Kami sama-sama mengerutkan dahi mencermati judul buku yang disodorkan. Ditambah rasa waspada sebab kami tak tahu buku seperti apa yang kami terima..

Beberapa malam terakhir menunggu revisi Rencana Anggaran, saya duduk di depan laptop, membuka satu per satu buku dan situs penjual buku. Apakah mungkin kami perlu mengecek satu persatu judul buku yang akan kami beli yang jumlahnya di katalog 1.000-an lebih buku itu serta membandingkan harganya? Atau memang kita pasrahkan saja terserah bagaimana buku yang akan kami terima?

Aturan itu menjadi grasah-grusuh di lapangan. Sekaligus menjadi ironi, di satu sisi pemerintah mendorong peningkatan literasi, di sisi lain membatasi pilihan buku yang bisa dibeli sekolah. Walhasil, buku-buku wishlist kami harus disimpan dulu.

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//