• Kolom
  • CERITA GURU: Sarjana Gawai

CERITA GURU: Sarjana Gawai

Kemudahan teknologi membuat kesempatan guru untuk belajar formal semakin terbuka lebar. Keterbatasan, kesibukan, dan usia bukan halangan untuk terus berkembang.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi. Aktivitas manusia dengan gawainya di era teknologi digital. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

16 Juli 2025


BandungBergerak.id – Seusai beres-beres kelas, Aan segera mengecek gawainya yang tadi sudah merekam beberapa bagian pengajarannya. Setelah selesai, ia mengecek buku-buku yang ia bawa dari rumah sebagai referensi kuliahnya. Ada beberapa materi yang menjadi bahan diskusi bersama rekan guru, dan beberapa tugas yang perlu diselesaikan. Pemandangan yang sudah saya saksikan setiap kali Aan menyelesaikan tugas kuliah dalam empat tahun terakhir.

Meskipun ijazah hanya selembar kertas, namun kertas itu kini menjadi barang wajib bagi guru TK. Tuntutan guru TK dengan pendidikan minimal S-1, memaksa semua guru yang belum menempuh jenjang sarjana untuk memulai menempuhnya. Bukan hal yang mudah, sebab untuk menempuh jenjang sarjana bukan hanya memerlukan waktu dan tenaga, tetapi juga biaya. Tentu saja akan sulit ditutupi dengan rata-rata penghasilan harian guru TK di tempat kami. 

Keputusan berani itu juga ditempuh oleh Aan, seorang guru TK yang baru memulai kuliah di usia 40-an tahun pada 2021. Perasaan gugup sudah menjadi teman kesehariannya. Pertama, ia merasa baru pertama kali menempuh jenjang sarjana. Kedua, sudah lama ia tak menengok ruang akademik yang sudah ditinggalkannya beberapa puluh tahun silam. Ketiga, ia harus meyakinkan dirinya bahwa semuanya bisa mampu dilalui.

Bagi perempuan yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, aktivitas akademik menjadi sesuatu hal yang baru kembali. Ada semacam perasaan minder, tertinggal dari teman sekelas, atau terpaut usia karena terhitung sudah berumur. Beberapa ibu rumah tangga memiliki ketakutannya tersendiri ketika berhadapan dengan buku, meraba kembali dan memanaskan pikiran mereka dengan segudang bacaan, sembari pikiran lain yang bercabang seperti anak-anak dan keluarganya yang perlu diperhatikan.

Seperti kemarin, menjelang akhir tahun ajaran dan pembagian rapor, Aan harus mengejar tenggat revisi tugas karya ilmiah yang masih banyak. Di waktu bersamaan, Aan perlu mengurusi acara sekolah dan mengisi laporan hasil belajar peserta didik. Semuanya tak bisa ditinggalkan. Ia juga perlu menyiapkan keperluan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Saya melihat matanya yang mulai berkantung hitam, pertanda kurang tidur yang sudah berlangsung berminggu-minggu.

Baca Juga: CERITA GURU: Ketika “Menemani Bermain” Membutuhkan Gelar Sarjana
CERITA GURU: Menggambar Sejarah
CERITA GURU: Tantangan Meningkatkan Mental Belajar Siswa

Bermodal Gawai Pintar

Selain pendanaan, hal pertama yang akan dipikirkan ketika berkuliah apalagi secara daring adalah laptop.

Abi kan teu gaduh laptop. Kumaha atuh engke ngerjakeun tugas?” keluh Aan kepada saya dan beberapa rekan guru.

Namun Lina, kepala sekolah kami, selalu mendukung beliau dengan eksperimennya yang cukup berprestasi. Saya dengan Lina, Kepala Sekolah,  selalu mendukung beliau. Saya menyediakan diri, meskipun tidak selalu sedia, untuk membantu menghadapi teknis-teknis dalam perkuliahan daring. Begitu pun dengan materi-materi yang akan dipelajari. Sedangkan Kepala Sekolah kami selalu membuktikan eksperimen pribadinya yang telah berhasil lulus terlebih dahulu hanya bermodal gawai. Ia berkuliah selama beberapa semester dengan gawai kesayangannya itu.

Meskipun Kepala Sekolah memiliki laptop, ia sama sekali jarang menggunakannya. Selain karena berbagi dengan anaknya, sehingga sulit diakses. Beliau juga jarang berkepentingan dengan laptop. Kemudian, ketika beliau berkepentingan dengan laptop yang berurusan dengan sekolah, saya selalu mengarahkan dengan penggunaan gawai pintar.

Semenjak pertama kali daftar ke Universitas, untuk menempuh jenjang S-1 PGPAUD, saya menyarankan untuk mengunduh aplikasi seperti pengolah kata, pembuat salindia, dan aplikasi untuk pertemuan daring. Semuanya tak perlu diketik menggunakan laptop. Cukup diketik dengan menggunakan gawai saja. Tentu buat Ibu-ibu ini, mengetik di gawai akan lebih mudah daripada mengetik di laptop. Jika mereka perlu mengetik di laptop, mereka harus beradaptasi lagi untuk mencari huruf-huruf dan belajar mengenai fungsi-fungsi tombol. Tentu saja, tidak cukup dalam waktu yang singkat dan membutuhkan pembiasaan yang panjang.

Ajaibnya, sampai di semester penghujung dengan tugas karya ilmiah dan laporan-laporannya, Lina dan Aan belum juga memiliki laptop. Lina menempuh tiga semester saja, sebab dulu ia pernah berkuliah di jurusan non-pendidikan sehingga ia hanya perlu kuliah tiga semester saja. Ia menamatkan pendidikan sarjana PGPAUD-nya dengan mengetik di gawai kecuali memformat dan merapikan hasil tulisan.

Sedangkan Aan yang belum pernah berkuliah sama sekali, harus menempuh lebih lama yaitu sampai delapan semester. Dalam jarak waktu yang cukup lama, Ia memutuskan untuk menambah perangkat baru seperti keyboard portable dan penyangga gawai agar bisa lebih leluasa dalam mengetik.

Hingga di titik ini, bayangan untuk membuat tugas akhir di gawai bukanlah sesuatu yang pernah saya bayangkan. Meskipun itu bisa dan memungkinkan, namun terlalu kompleks dengan layar sekecil itu. Saya salut kepada guru-guru ini yang mau berkuliah tanpa laptop dan memaksimalkan gawai pintarnya.

Mereka memanfaatkan perangkat itu untuk bisa berkuliah secara jarak jauh, melakukan pertemuan daring hingga mengerjakan tugas kuliah. Sisanya diserahkan kepada rekan kerja yang bisa membantu dan merapikan di perangkat lain untuk finalisasi.

Mengembangkan Strategi Bersiasat

“Biasanya aku kuliah sambil masak, beberes, dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya”

Lina sering bercerita tentang apa yang ia lakukan untuk mengusir kantuk ketika perkuliahan daring seharian berlangsung. Meskipun tidak ideal untuk selalu mencatat, namun tugas rumah tangga pun perlu ia selesaikan dalam waktu yang bersamaan. Jika tidak, maka akan keteteran.

Aan memiliki cerita lain. Ia mengalokasikan waktu Sabtu-Minggunya untuk kuliah. Ia lebih memilih “lembur” dalam melakukan pekerjaan domestik dan menyiapkan makanan untuk keluarganya terlebih dahulu sebelum ia tinggal belajar daring. Namun, jika ada acara yang tak bisa ditinggal, mereka berdua tetap bisa berkuliah dalam perjalanan. Dengan sinyal seadanya.

Mahasiswa kategori kuliah “dalam jabatan” memiliki jadwal kuliah seharian di hari Sabtu - Minggu. Padahal, waktu itu adalah waktu libur sekolah, waktu keluarga, dan alokasi waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang belum selesai di hari kerja.

Selain siasat mengatur waktu, Aan mulai bersiasat dengan pembiayaan. Pada tahun-tahun pertama perkuliahan, beasiswa dari pemerintah daerah untuk guru PAUD yang sedang berkuliah masih ada. Hanya baru cair satu kali. Selebihnya tak ada lagi. Maka, setiap semester ia perlu mencari pendanaan lain.

“Teh, emang belum ada info beasiswa lagi dari dinas?” Aan bertanya kepadaku di setiap semester.

“Belum ada, Bu. Saya tanya yang lain kayaknya belum ada lagi” saya jawab sesuai dengan informasi yang ada. Padahal data-data sudah sering masuk ke dinas.

Dialog template yang cukup memupuskan harapan. Aan menaruh harap pendanaan, saya pun berharap bisa membantu. Sayangnya, berita-berita beasiswa itu hanya sampai desas-desus belaka di kalangan obrolan pejabat namun tak kunjung sampai kepada guru yang sedang belajar. 

“Bu Lin, kumaha atuh ieu abi? Abi kudu bayaran bulan Februari ayeuna.” Bu Aan mengadu sambil  bertanya mencari solusi alternatif kepada kepala sekolah. Biasanya, kepala sekolah memiliki beberapa koneksi dan beberapa dana talang.

Sampai pada suatu saat, Aan tak bisa lagi mengandalkan dana-dana alternatif itu. Lalu, ia pun menggadaikan barang berharganya. Belakangan saya tahu sebab beragenda ke pegadaian. Beberapa tahun ini, setiap mulai pembayaran perpanjangan semester, kepalanya penuh dengan berbagai macam hal terkait materi perkuliahan, administrasi, dan pencarian dana.

Buah dari Perjuangan

Dengan berbagai macam tantangannya, Lina dan Aan pada kenyataannya bisa menyelesaikan tuntutan agar guru PAUD memiliki kualifikasi sarjana jurusan kependidikan. Selain itu, mereka menjadi semakin percaya diri dalam menghadapi anak-anak di kelas.

Saya melihat perubahan pada dua orang rekan guru panutan saya ini. Aan yang memang memiliki ketertarikan dalam pengajaran seni dan sosial emosional pada anak PAUD, kini ia lebih percaya diri dan bisa mengarahkan dengan landasan teoritis yang ia peroleh selama belajar. Lina, sebagai kepala sekolah menjadi memiliki wawasan yang lebih ajek dalam teori pendidikannya. Selain itu, perbincangan dan pergaulan bersama teman kuliahnya membawa banyak referensi dalam pengelolaan sekolah.

Kemudahan teknologi membuat kesempatan guru untuk belajar formal semakin terbuka lebar. Meskipun masih terbatas pada tuntutan profesi serta banyak tantangan yang tidak bisa digantikan dari pertemuan tatap muka, namun semangat belajar yang ditunjukkan oleh rekan guru Lina dan Aan membuktikan bahwa keterbatasan, kesibukan, dan usia bukan halangan untuk terus berkembang.

Ketika saya melihat mereka hari ini, saya banyak belajar mengenai dukungan dalam belajar begitu berpengaruh signifikan. Dukungan keluarga, rekan, dan paling utama adalah motivasi diri sendiri merupakan kunci utama. Pendidikan bukan tentang apakah pebelajar menggunakan laptop atau gawai. Menggunakan kertas atau layar. Tapi bagaimana ia  menumbuhkan dirinya.

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//