• Berita
  • Pesan dari Peristiwa Pembunuhan Marsinah, Hubungan Industri dengan Buruh tidak Baik-Baik saja

Pesan dari Peristiwa Pembunuhan Marsinah, Hubungan Industri dengan Buruh tidak Baik-Baik saja

Menolak lupa perjuangan Marsinah untuk keadilan kaum buruh. Kelas pekerja sampai saat ini masih menghadapi masalah ketidakadilan.

Diskusi Publik Marsinah Berlipat Ganda, Rabu, 8 Mei 2024 di Universitas Bale Bandung, Jalan R.A.A Wiranata Kusumah, Baleendah, Kabupaten Bandung. (Tangkapan Layar oleh Sifa Aini Alfiyyah/BandungBergerak.id)

Penulis Sifa Aini Alfiyyah 11 Mei 2024


BandungBergerak.id – Dalang pembunuhan aktivis buruh Marsinah hingga saat ini masih menjadi misteri. Kasus yang terjadi di era Orde Baru ini merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. Marsinah kemudian menjadi tokoh perjuangan buruh Indonesia, simbol menolak lupa terhadap ketidakadilan sistem perburuhan yang masih terjadi sampai hari ini.

Anggota Local Initiative for OSH Network (Lion) Indonesia Jumisih mengungkapkan, Marsinah merupakan perempuan yang cerdas serta kritis walaupun harus berjuang di bawah rezim otoriter Suharto. Ia menyadari bahwa hubungan industri dengan buruh tidak baik-baik saja.

Menurut Jumaisih, pada masa Orde Baru dikenal konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) dengan asas kekeluargaan atau mitra. Buruh dianggap mitra oleh perusahaan. Namun mitra ini dianggap palsu karena mengaburkan penindasan dan ketidakadilan buruh yang dilakukan pekerja.

“Yang terjadi penguasa bebas memberi perintah dan upah berapa saja tetapi buruh tidak perlu tahu informasi produksi setiap bulan dan keuntungan perusahaan. Mitranya itu palsu karena timbal balik yang diberikan tidak sesuai, maka dari itu konsep HIP pasca-Reformasi 1998 dihapuskan oleh aktivis,” ujar Jumisih, dalam Diskusi Publik ‘Marsinah Berlipat Ganda’, Rabu, 8 Mei 2024 di Universitas Bale Bandung, Jalan R.A.A Wiranata Kusumah, Baleendah, Kabupaten Bandung.

Jumisih melanjutkan, konsep Hubungan Industrial Pancasila (HIP) ini sedang dicoba untuk diaktifkan kembali oleh Menteri Ketenagakerjaan demi menjaga kestabilan politik dan nama baik. Perusahaan, buruh, pemerintah, dan masyarakat diimbau untuk harmonis dan stabil.

Ditambah adanya Undang-undang Cipta Kerja yang memiliki 12 klaster dan salah satunya mengenai outsourcing. Adanya kebijakan tersebut membuat buruh menghadapi hubungan kerja yang tidak pasti karena dikontrak hanya satu hingga tiga bulan saja.

“Upahnya jadi putus-putus periuk nasi keluarga jadi terputus juga,” ucapnya.

UU Cipta Kerja menjadi momok bagi masyarakat karena tidak dapat menikmati apa yang buruh kerjakan. Dimulai dari upah menjadi semakin murah, jaminan sosial tidak diterima karena kontrak yang singkat, dan hak-hak buruh perempuan menjadi semakin sulit untuk didapatkan.

“Saya akan katakan bahwa dunia kerja yang akan kalian masuki suram dan mau tidak mau terjun ke sana. Untuk menghadapinya harus belajar mengenai ketenagakerjaan dan berserikatlah,” ujar Jumisih, kepada orang-orang muda yang menghadiri diskusi.

Baca Juga: Para Buruh Menuntut Peningkatan Kesejahteraan dalam Peringatan May Day
Ironi Pemidanaan Buruh Tani Garut dan Petani Milenial Jawa Barat
UMK 2024 Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Jauh dari Harapan Buruh

Pembunuhan Marsinah

Dalam sejumlah catatan organisasi masyarakat sipil, kasu s Marsinah bukanlah tindakan pembunuhan biasa, tetapi termasuk pelanggaran HAM berat di mana ada unsur komando serta politis yang diduga direncanakan oleh negara. Kematiannya tidak wajar karena ia sedang bergerak memperjuangkan hak-hak buruh saat Orde Baru tidak menyukai ‘kebisingan’ yang merusak stabilitas politik.

Melansir dari abc.net.au ‘Tiga Dekade Kasus Pembunuhan Marsinah: Buruh Masih Berjuang Sendiri’, Marsinah merupakan buruh pabrik jam tangan PT Catur Putera Surya (CPS) di Siring, Porong, Jawa Timur. Bersama rekan-rekannya ia bergerak melakukan unjuk rasa dan melayangkan 12 tuntutan kepada pihak perusahaan.

Pergerakan Marsinah bersama rekan-rekannya dimulai pada tanggal 3 Mei 1993 melalui aksi mogok kerja. Namun ketua koordinasi aksi saat itu, Yudo Prakoso ditangkap dan dibawa ke Kantor Koramil 0816/04 Porong sehingga keesokan harinya tanggal 4 Mei 1993 Marsinah menggantikannya untuk memimpin pergerakan mogok kerja.

Saat aksi mogok kerja yang dipimpin oleh Marsinah pihak PT CPS memanggil 15 orang perwakilan buruh untuk bernegosiasi dengan Departemen Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan Koramil. Pihak perusahaan menyetujui seluruh tuntutan kecuali pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) karena dianggap menjadi kewenangan internal.

Menurut artikel ‘Menolak Lupa 30 Tahun Kematian Marsinah’ di bemu.umm.ac.id, tanggal 5 Mei 1993 Yudo bersama 12 buruh lainnya dipanggil oleh seorang Perwira Seksi Intel Kodim bernama Kamadi. Mereka diminta mengundurkan diri dari PT CPS dengan alasan tenaga mereka sudah tak dibutuhkan lagi oleh perusahaan.

Hal itu membuat Marsinah marah dan mendatangi Kodim. Ia berang sekali saat mengetahui bahwa rekan-rekannya dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri yang dibuat Kodim karena melakukan rapat ilegal untuk merencanakan 12 tuntutan dan aksi mogok kerja.

Marsinah dengan geram meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manajemen PT CPS, yang menyepakati larangan memutasi, mengintimidasi, dan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah aksi mogok kerja. Ia juga meminta rekan-rekannya dibebaskan.

Kompas.com melaporkan, malam harinya sekitar 10 malam Marsinah menghilang secara misterius dan mayatnya ditemukan tiga hari kemudian Sabtu, 8 Mei 1993 di sekitar hutan jati Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk.

Tragedi Marsinah menunjukkan peran militer dalam isu perburuhan begitu kental. Dalam buku “Marsinah: Campur Tangan militer dan Politik Perburuhan” yang ditulis Alex Supartono (1999), pada masa rezim Orde Baru campur tangan militer dalam setiap perkara perselisihan perburuhan menjadi hal yang wajar di Indonesia.

“Sebagai penjaga stabilitas, militer Indonesia merasa perlu terlibat dalam segala hal. Mulai dari urusan film sampai urusan naik haji. Mulai dari urusan kurikulum sekolah sampai urusan buruh,” tulis Alex.

Buku ini mendapatkan catatan epilog dari Munir, pejuang HAM yang ironisnya menjadi korban kejahatan HAM. "Marsinah adalah sebuah cermin perlawanan buruh dalam bibit tumbuhnya gerakan buruh,” tulis Munir.

Peran Militer Negara

Hasil dari visum kedua terhadap jasad Marsinah oleh tim Dr Soetomo Surabaya mengatakan bahwa tulang panggul depan hancur, tulang kemaluan kiri dan kanan patah hingga berkeping-keping, serta tulang usus kanan patah hingga terpisah. Tulang selangkangan kanan patah seluruhnya dan labia minora kiri robek serta ada serpihan tulang. Pada alat kelamin sepanjang 3 sentimeter terdapat luka, juga pendarahan dalam rongga perut.

Ahli forensik Abdul Mun'im Idries mengatakan penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan benda tumpul tetapi senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluannya sehingga tulang di sekelilingnya hancur.

Hal itu memberikan petunjuk bahwa ada campur tangan militer di dalam kasus kematian Marsinah. Menurut anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung Daffa, terdapat kejanggalan saat menemukan jasad Marsinah. Saat penemuan jasadnya menurut catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di samping tubuh Marsinah terdapat foto dirinya.

“Seolah-olah memang sengaja agar segera ditemukan dan memberi kode ‘Lu kalau berisik, nasib lu bisa kek gini, mati!’. Sebenarnya ancaman-ancaman seperti itu diberikan Orde Baru untuk orang-orang yang dianggap mengganggu stabilitas politik,” ungkap Daffa, narasumber lainnya dalam Diskusi Publik ‘Marsinah Berlipat Ganda’.

Daffa juga menuturkan pengadilan kasus Marsinah cukup aneh karena yang ditangkap bukan pihak dari militer atau Kodim tetapi sembilan orang dari perusahaan yang menjadi terdakwa. Namun setelah mengajukan banding karena bukti tidak cukup kuat mereka dibebaskan dan mengaku dipaksa mengaku oleh aparat militer di bawah siksaan dan penganiayaan.

Keterangan militer saat itu berkilah tidak sengaja terlibat dari urusan keamanan bukan sebagai aktor utamanya. Mereka berkilah bahwa Marsinah terbunuh karena adanya perebutan warisan tetapi data-data yang mendukung asumsi tersebut kurang dan gugur. Lalu, mengeluarkan asumsi kedua yaitu Marsinah terlibat dalam perselingkuhan tetapi penyidik tidak menemukan ‘kekasih gelap’ sehingga motif ini gugur pula.

Setelah pihak militer menyangkal dengan berbagai alasan, petunjuk serta data menunjukkan bahwa ada hubungannya dengan unjuk rasa mogok kerja dan pada akhirnya kepolisian mengakui bahwa pembunuhan Marsinah memang terkait dengan aksi pemogokan.

“Dari keterangan pihak militer saja yang menyebutkan ‘tidak sengaja terlibat untuk masalah keamanan’ sudah aneh, apa hubungannya militer dengan perburuhan?” kata Daffa.

Daffa juga mengatakan karena kasus Marsinah dianggap di pengadilan sebagai pembunuhan biasa masa untuk penyelidikannya adalah 20 tahun. Selama proses di pengadilan tidak ditemukan siapa sebenarnya pelakunya baik dari pihak perusahaan atau militer.

Sehingga pada tahun 2013 pengadilan kasus Marsinah dianggap telah selesai dan menurutnya negara telah membiarkan pelanggaran HAM terjadi begitu saja dan tidak berusaha untuk menyelesaikan hingga pelaku sebenarnya ditangkap.

“Saya simpulkan kematian Marsinah di dalam isu perburuhan termasuk pelanggaran HAM berat karena negara atau militer ikut campur dalam merencanakan pembunuhannya,” ujar Daffa.

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Sifa Aini Alfiyyah, atau tulisan-tulisan lain tentang buruh 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//