CERITA GURU: Kemelut di Atas Nampan Makan Bergizi Gratis
Sementara siswa bergulat dengan kejutan rasa, guru menghadapi tantangan tak kalah rumit: mengawasi Makan Bergizi Gratis menjadi beban tambahan yang tak terduga.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
10 September 2025
BandungBergerak.id – Sepotong semangka setipis kartu diperlihatkan oleh murid sekolah yang menerima Makan Bergizi Gratis (MBG) dalam sebuah video di media sosial. Selain itu, menu ikan lele suwir menjadi perbincangan hangat di media sosial sebab hanya beberapa helai suwiran daging ikan. Jika dijumlah pun, tak sampai kepada setengah ekor ikan lele. Warganet pun menanyakan : “Berapa angka kecukupan gizi dengan beberapa potong suwiran itu? Apakah cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi anak?”
Di Majalaya, penampakan serupa terulang: beberapa potong kentang, empat buah lengkeng, satu bungkus saus, lima kacang rebus. Komentarnya pun seragam –bahkan dari guru sekalipun: "Beri uangnya saja daripada beli makanannya." Sebab orang tua lebih tahu apa yang menjadi makanan kesukaan anaknya. Tak jarang, orang tua tak bisa memberikan makanan yang layak karena tak memiliki modal dananya.
Program MBG memang lahir dari niat untuk meningkatkan kualitas gizi anak. Diharapkan bisa menggenjot capaian akademik siswa. Bahkan program flagship ini sejak kemunculannya diberikan dalil-dalil ilmiah asas manfaat. Pada bulan-bulan awal, menu terlihat bergizi sesuai harapan. Namun seiring waktu, kualitas menurun drastis. Kini, MBG yang diterima anak seperti undian –beruntung bila dapat Satuan Penyedia Pelayanan Gizi (SPPG) yang baik. Padahal ini bukan soal peruntungan, melainkan akuntabilitas penggunaan anggaran triliunan rupiah.
Baca Juga: CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian
CERITA GURU: Di Balik Peran Guru sebagai Psikolog di Bidang Pendidikan
CERITA GURU: Sisa Bekal Makanan
Ketika Lidah Anak menjadi Hakim
Masih dalam balutan baju merah putih, Yasmin, murid kelas 5 SD, meminta makan kepada ibunya. Biasanya, jika jadwal MBG, ia tak akan menyendok makan lagi.
“Lainna tadi makan MBG di sakola?”
“Teu dimakan, soalna tadi mah teu enak menuna.”
Ternyata menu yang dimaksud adalah sayur-sayuran hijau yang hanya direbus. Lalu Ibunya berseloroh, “Lah, eta mah jiga menu diet Ibu-Ibu!”
Jangankan anak-anak, ibunya pun belum tentu mau untuk mengonsumsi makanan yang hambar tanpa bumbu. Tentu bagi anak-anak yang terbiasa dengan rasa yang kuat dan pemilih, rasa seperti itu akan sulit diterima. Ia juga bercerita tentang teman-temannya yang lebih memilih membungkus sisa makanan dan dibawa bekal ke rumah.
Saya pun tidak pernah memiliki bayangan bahwa anak-anak akan diberi sayuran utuh tanpa diproses dengan tampilan menarik hati. Sebab, di setiap jadwal Pemberian Makanan Sehat di sekolah kami, orang tua dan penyedia katering sangat begitu memperhitungkan tampilan makanan dan rasa yang akan diterima oleh lidah anak. Dengan harapan apabila tampilannya sudah menarik dan rasanya sesuai dengan selera anak, mereka mau memakan makanan yang sehat.
Masalahnya bukan hanya soal selera. Makanan "bergizi gratis" terkadang justru berubah menjadi ultra processed food seperti makanan instan. Terutama saat Ramadan, banyak produk tahan lama seperti biskuit dan sereal yang kaya gula dan natrium. Meskipun habis dimakan, makanan itu bukan pilihan ideal untuk anak.
Murid kelas 5 SD itu, tak hanya sekali melakukan mogok makan MBG. Beberapa menu yang tak ia makan bukan hanya menu sayuran. Tapi, seperti bakso tahu, yang merupakan hidangan jajanan sehari-hari pun hanya ia cicipi. Katanya, rasanya tak sesuai di lidahnya. Meskipun makanan tersebut dalam kondisi baik-baik saja. Beberapa menu yang tak cocok pengolahannya, rasanya yang kurang berterima di lidahnya, menjadi tertolak sejak awal.
Urusan makan adalah urusan selera, personal, dan kebiasaan yang dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungan. Memang akan sulit jika harus melayani kebutuhan personal siswa dengan metode memasak makanan secara massal. Bukan hanya MBG, di sekolah yang menyediakan catering, sering menyisakan makanan dengan alasan tak suka dan tak sesuai selera.
Beban Tersembunyi di Balik Nampan
Sementara siswa bergulat dengan kejutan rasa, guru menghadapi tantangan tak kalah rumit: mengawasi MBG menjadi beban tambahan yang tak terduga.
Makanan datang kemudian memasuki ruang kelas. Makanan tak serta merta masuk ke dalam perut anak. Ia perlu proses melalui memasukkan mulut, dikunyah, hingga siap untuk ditelan untuk selanjutnya dicerna. Proses itu hanya beberapa menit. Namun, guru perlu membujuk hingga satu jam lamanya. Akibatnya, semua perencanaan pembelajaran menjadi tidak terarah karena kedatangan makanan ini.
Seorang guru bercerita bahwa ia harus membujuk anak untuk memasukkan makanannya yang tak mereka sukai. Apalagi untuk sayuran yang diolah begitu saja tanpa mempertimbangkan selera anak. Sebab, masing-masing keluarga memiliki kebiasaan makannya tersendiri.
Lebih parah lagi, dalam sebuah video singkat, guru perempuan menceritakan tentang pekerjaan tambahannya yang harus memeriksa nampan dan akan didenda apabila tidak sesuai dengan jumlah anak. Memang seperti itulah dampak yang terjadi apabila guru ikut menjadi pengelola. Tidak seperti di sekolah yang telah memiliki fasilitas sebelumnya, mereka memiliki sistemnya tersendiri sehingga guru tak terlalu terbebani dengan pengurusan nampan nasi. Namun, dalam program MBG, guru bertambah pekerjaannya menjadi lebih banyak sebagai manajer logistik makanan di sekolah.
Sinyal Bahaya yang Ter(di)abaikan
Sebelum kasus-kasus keracunan makanan MBG menjadi pemberitaan nasional, sebenarnya sinyal-sinyal peringatan sudah muncul di berbagai sekolah. Di sekolah dekat rumah, misalnya, sudah ada kejadian makanan yang tiba dalam kondisi sudah berubah rasa. Namun, jumlahnya tidak banyak dan siswa bisa mendeteksi makanan lebih awal sehingga melapor kepada guru. Guru terpaksa membuang beberapa porsi makanan karena tidak layak konsumsi.
Faktor-faktor lain yang terjadi dalam proses pengelolaan ini, sudah bisa diprediksi dalam kajian epidemiologi. Makanan yang diproduksi secara massal setidaknya memiliki risiko tingkat kerusakan yang beragam tergantung kepada faktor penyimpanan, higienitas, dan pengolahannya. Seperti yang terjadi di Sleman beberapa waktu lalu, keracunan massal diakibatkan oleh kontaminasi bakteri E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus. Bakteri tersebut hadir disebabkan oleh kualitas dan kebersihan air, penyimpanan makanan lebih dari 4 jam sebelum disantap, dan kebersihan penjamah makanan (kebersihan tangan).
Ada peribahasa Sunda yang tepat untuk menggambarkan situasi ini: "Cecendet mande kiara, cileuncang mande sagara." Cecendet adalah tanaman kecil di semak belukar, kiara adalah pohon menjulang dengan akar kokoh. Mande berarti menyerupai. Peribahasa ini menggambarkan ambisi yang melampaui kapasitas tanpa fondasi kokoh.
Program MBG terjebak dalam sindrom yang sama. Ambisi memberikan gizi seimbang bagi anak Indonesia terbentur realitas implementasi yang rapuh: mulai dari cita rasa yang tidak memadai, keamanan pangan yang meragukan, hingga beban kerja guru yang tak pernah diperhitungkan. Hasilnya, program yang dimaksudkan sebagai solusi malah menciptakan masalah baru di tingkat grassroots.
Ironinya, program MBG justru menghasilkan sampah dan pemborosan makanan dalam skala masif di dunia pendidikan. Anak-anak menolak makanan, guru kewalahan, dan anggaran negara terbuang sia-sia.
Pertanyaannya : Akankah pemerintah terus memaksakan cecendet ini menjadi kiara, atau mulai membenahi fondasi pendidikan yang rapuh? Sebab tanpa evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistem, program MBG hanya akan terus menjadi "kemelut di atas nampan". Terjebak dalam anggaran hingga permasalahan teknis di lapangan.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru