CERITA GURU: Sisa Bekal Makanan
Mengenalkan dan membiasakan anak mengonsumsi makanan sehat masih menjadi tantangan besar bagi guru dan orang tua.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
4 September 2025
BandungBergerak.id – Di waktu istirahat, anak-anak membuka bekal makanannya dengan antusias. Mereka mulai mengeluarkan tempat makan dengan beragam isi. Sebagian anak dibekali makanan dengan tampilan lucu dan menggugah selera yang memang dirancang khusus untuk anak-anak. Sebagian lagi membawa jajanan warung seperti keripik, cokelat, biskuit, dan sosis. Sementara yang lain, dibekali nasi lengkap dengan sayur seadanya dari rumah.
Namun pemandangan yang kerap mengkhawatirkan adalah ketika seorang anak perempuan hanya menatap bekal berisi nasi setengah porsi, beberapa potong ayam semur, dan sedikit sayur. Ia hanya melahap bagian yang berbumbu, hampir tidak menyentuh nasinya. Setelah waktu makan berakhir, nasinya masih hampir utuh ketika ia menutup kembali kotak bekalnya.
Seperti biasa, gurunya bertanya, "Kenapa tidak dihabiskan, Nak?"
"Sudah, Bu Guru. Sudah kenyang," jawab gadis kecil itu.
Ibu guru tidak bisa memaksa anak untuk menghabiskan makanannya.
Kejadian serupa terulang dengan anak laki-laki lain yang menyudahi makannya padahal tempat makannya masih penuh. Dia menolak menghabiskan karena tidak menyukai bekal tersebut.
Persoalan makan pada anak memang kompleks, melibatkan berbagai faktor mulai dari kebiasaan keluarga, pola konsumsi lingkungan, hingga aspek psikologis. Sebagai pendidik yang bertugas mengenalkan pola makan sehat, guru minimal ingin menanamkan nilai bahwa makanan sebaiknya tidak disia-siakan.
Keprihatinan ini bukan tanpa dasar. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, Indonesia menghasilkan 13,3 juta ton sampah makanan atau sekitar 33,79 persen dari total sampah nasional. Angka yang mengkhawatirkan mengingat masih banyak masyarakat yang mengalami kekurangan gizi.
Baca Juga: CERITA GURU: Mengapa PAUD dan Lingkungan Belajarnya Menjadi Penting
CERITA GURU: Di Balik Peran Guru sebagai Psikolog di Bidang Pendidikan
CERITA GURU: Guru Beban Negara, tapi Menanggung Beban Bangsa
Dalang di Balik Sisa Bekal Anak
Selama beberapa tahun, permasalahan bekal anak selalu berulang. Di sekitar tahun 2017-2019 masalah kebiasaan yang sama terus muncul: anak tidak suka jenis makanan tertentu, anak lebih menyukai makanan yang tidak sehat, dan kebiasaan menghabiskan makanan. Hal itu akan berdampak kepada anaknya di kemudian hari. Bukan hanya masalah kesehatan anak, namun juga berdampak kepada orang tua yang kerepotan sendiri.
Acapkali kami mendengar anak-anak yang setiap hari hanya makan es krim dan mi instan. Selain makanan itu, anak tersebut tak mau makan. Hasilnya, anak tersebut mengalami obesitas. Bagi orang tuanya yang bekerja, solusi itu tampak praktis dijalani. Instan dan enak di lidah anak. Praktis bagi orang tua. Selain itu, iklan bagi produk tinggi garam dan gula juga merebak di mana-mana.
Hal selanjutnya, di benak orang tua sudah terlanjur dipercaya bahwa makanan sehat itu makanan mahal. Seperti halnya buah-buahan dan sayuran yang warnanya menarik untuk anak memiliki harga yang relatif lebih mahal. Beberapa orang merekomendasikan makanan yang di sekitar seperti buah lokal. Pasalnya, tak semua orang berkebun dan memiliki tanah.
Persepsi ini bukan sekadar anggapan. Menurut GWS Medika, penelitian di Inggris sejak tahun 2002 menemukan bahwa harga makanan sehat 22 persen lebih mahal daripada makanan biasa. Bahkan pada tahun 2022, data FAO menunjukkan bahwa harga makanan bergizi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Tenggara. Bahkan tahun 2022, data FAO menunjukkan bahwa harga makanan bergizi di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Tenggara.
Sebab persepsi dan kenyataan yang demikian, makanan UPF (Ultra Processed Food) menjadi satu-satunya "penyelamat" dari ketersediaan makanan bagi masyarakat di kalangan bawah. Namun dalam jangka panjang, suatu saat menjadi bumerang kesehatan.
Masalah terakhir adalah sering kali makanan anak tidak habis karena berbagai alasan. Ketika ditanya, anak biasanya menjawab tidak menyukai rasa makanannya. Orang tua juga kerap salah menghitung porsi yang sesuai dengan kemampuan makan anak.
Anak-anak umumnya hanya menghabiskan setengah, bahkan seperempat dari porsi yang diberikan. Akibatnya, guru tidak bisa memaksakan anak untuk menghabiskan makanan karena memang porsinya tidak sesuai dengan kebutuhan anak.
Ambil Sendiri, Habis Sendiri: Mengajarkan Self Service
Mengenalkan dan membiasakan anak mengonsumsi makanan sehat masih menjadi tantangan besar bagi guru dan orang tua. Di tengah gempuran makanan tinggi gula, tinggi garam, dan banyak rekayasa makanan, secara alamiah anak mencari rasa yang enak di lidahnya. Jika tidak dibiasakan sejak dini, akan kesulitan di masa dewasa untuk memakan makanan yang sehat.
Semenjak adanya program PAUD Holistik Integratif, semuanya perlu terintegrasi. Bukan hanya masalah pendidikan, namun merawat diri juga bagian dari pendidikan anak usia dini. Semenjak itulah, guru-guru mengembangkan dan melakukan strategi mengenai bagaimana agar anak bisa makan makanan sehat.
Meskipun belum terintegrasi dengan program zero waste secara formal, upaya mengajarkan anak menghabiskan makanannya adalah fondasi penting dalam urusan tanggung jawab masing-masing individu terhadap makanan. Kebiasaan sederhana ini menjadi building block untuk program yang lebih komprehensif di masa depan. Mengajarkan anak menghargai makanan adalah prinsip dasar yang dimulai di lingkungan pendidikan.
Setelah melakukan berbagai kajian dan diskusi rutin, para guru menetapkan beberapa aturan modifikasi pada anak dalam rangka mengurangi sampah makanan dan mengurangi konsumsi yang mubazir.
Pertama, paparan dan pengalaman langsung. Banyaknya paparan dan pengalaman langsung memberikan kesempatan anak untuk mengenal serta berani mencicipi rasa-rasa makanan. Terkadang, anak tidak mau karena mereka tidak memiliki pengalaman untuk merasakan berbagai jenis makanan dengan rasa aslinya,.
Kedua, jadwal bekal dan kerja sama orang tua. Dengan adanya program ini, diharapkan anak dapat bekal yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini menerapkan prinsip "reduce" mengurangi porsi berlebihan yang berpotensi menjadi sampah.
Ketiga, anak mengambil jatah makanannya sendiri. Di setiap kesempatan, terutama dalam kegiatan Pemberian Makanan Sehat, guru mempersilahkan murid untuk mengambil makanannya sendiri. Hal ini mengajarkan anak bertanggungjawab untuk menghabiskan makanan yang diambil. Kebiasaan "ambil sesuai kemampuan" hanya mengambil apa yang benar-benar dibutuhkan dan akan dimakan. Hal ini berawal dari masalah anak yang tidak menghabiskan makanan. Jika perilaku ini dibiarkan, khawatir dianggap menjadi pembenaran terhadap perilaku makanan-makanan yang bersisa. Padahal, makanan itu adalah sesuatu yang berharga.
Saat ini sekolah memang belum memiliki sistem pencatatan sampah makanan yang detail, namun observasi sederhana menunjukkan berkurangnya sisa bekal sejak adanya program-program tersebut. Setidaknya, lebih sedikit anak yang menolak menghabiskan makanan karena alasan tidak disukai.
Upaya ini juga menciptakan dampak tidak langsung yang signifikan: anak membawa kebiasaan anti-pemborosan ke rumah. Secara tidak langsung, melalui kerja sama guru dan orang tua, orang tua mulai mempertimbangkan dan mengontrol porsi makan yang disesuaikan dengan anak. Selain itu, melalui pembelajaran, anak menjadi lebih menghargai makanan dan proses makannya.
Dengan konteks bahwa Indonesia memiliki skor 16,9 dalam Global Hunger Index 2024 dengan tingkat kelaparan yang moderat, upaya sederhana di lingkungan sekolah ini menjadi kontribusi terhadap gerakan pengurangan sampah makanan nasional. Diharapkan langkah-langkah kecil di dunia pendidikan bisa membantu mengurangi beban lingkungan, terutama ketika menghadapi paradoks di mana jutaan anak mengalami malnutrisi sementara jutaan ton makanan terbuang sia-sia.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru