CERITA GURU: Mengapa PAUD dan Lingkungan Belajarnya Menjadi Penting
Sering kali kita melupakan cara alamiah anak-anak belajar: melalui lingkungan yang luas, mainan yang memadai, dan berbagai stimulus lainnya.

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
13 Agustus 2025
BandungBergerak.id – Arsenik dikenal melalui caranya membunuh manusia yang begitu ampuh dan cepat. Zat itu dikenal sebagai bahan yang berbahaya untuk manusia jika terpapar secara berlebihan. Namun, pernahkah mengira bahwa paparan arsenik berasal dari benda di sekitar anak-anak?
Dalam sebuah kelas Summer School, Prof. Tomoyuki Shibata menunjukkan gambar mainan anak-anak. Arsenik itu terdapat dalam mainan tersebut. Ia menjelma melalui bahan Chromated Copper Arsenate (CCA). Sebuah bahan pengawet yang digunakan untuk melapisi kayu dan banyak ditemukan dalam mainan anak-anak. Ia telah melakukan pilot study yang mengungkapkan adanya paparan arsenik dalam mainan tersebut, yang berpotensi membahayakan kesehatan anak.
Setelah Profesor Northern Illinois University itu memaparkan temuan terkait mainan dan arsenik, saya merasakan kurangnya sekali pengetahuan tentang zat-zat berbahaya seperti itu. Terlebih untuk orang yang sehari-hari berhubungan dengan anak-anak. Bahan-bahan seperti CCA digunakan agar kayu menjadi lebih awet dan tahan terhadap segala cuaca. Namun, urusan keamanan tampaknya masih dipertanyakan.
Selama ini, sosialisasi sekolah ramah anak dan lingkungan aman hanya berfokus pada aspek fisik yang kasat mata, seperti bentuk sudut mainan yang tajam atau bahan plastik yang digunakan. Namun, diskusi tentang kualitas bahan pelapis dan dampaknya terhadap kesehatan lingkungan masih sangat jarang dilakukan. Mungkin masih bisa dihitung, siapa yang peduli dengan urusan-urusan yang demikian?
Keberadaan arsenik adalah salah satu yang diungkap dalam kelas Summer School STREAM yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana Program Studi Psikologi Pendidikan UPI. Dalam kelas-kelas selainnya, bahasan mengenai pentingnya PAUD, kesehatan, dan lingkungannya dibahas secara komprehensif. Melalui kegiatan tersebut, saya sebagai orang yang sehari-hari bersama anak-anak PAUD dan sering mempertanyakan banyak hal, menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang selama ini berceceran.
Baca Juga: CERITA GURU: Tantangan Meningkatkan Mental Belajar Siswa
CERITA GURU: Dari Rak Kosong hingga Mimpi Literasi, Dilema Pengadaan Buku di Sekolah
CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian
PAUD dan Kesetaraan Akses Pendidikan
Sebelum kebijakan 13 tahun wajib belajar dengan menyertakan satu tahun di PAUD muncul, sekolah kami telah memberikan bantuan biaya kepada keluarga yang secara ekonomi tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya di TK. Kami bisa memahami tentang orang tua yang merasa tidak perlu menyekolahkan anaknya di jenjang PAUD. Toh nanti tanpa masuk TK pun, mereka tetap bisa masuk ke sekolah dasar.
Selama itu pula, saya mencari argumen yang kuat untuk menjawab pertanyaan: apa sesungguhnya yang membuat TK itu menjadi sebuah keperluan? Mahalnya biaya pendidikan jenjang prasekolah membuat TK seolah menjadi kebutuhan tersier. Bisa diartikan, kalau mampu dan mau ya silakan! Kalau tidak? Ya tidak apa-apa. Meskipun, beberapa kasus yang kami temui, perkembangan anak yang menempuh prasekolah memiliki perkembangan yang lebih baik.
Faktor kunci dari perkembangan anak usia dini adalah orang tua. Pengetahuan orang tua yang baik, stimulus, dan fasilitas yang orang tua miliki menjadi penentu apakah anak tersebut bisa berkembang secara baik.
Dalam sesi "Gender in Early Childhood Education", Prof. Vina memberikan perspektif yang menarik: "Kesetaraan anak-anak untuk mengakses mainan." Ternyata masih banyak anak yang tidak memiliki mainan memadai di rumah, padahal mainan merupakan sarana penting untuk belajar. Sehingga, PAUD bukan hanya sekadar layanan pendidikan, tetapi juga penyedia akses kesetaraan bermain.
Pernyataan Ketua SEAMEO CECCEP ini menjelaskan mengapa beberapa anak sangat betah di sekolah –karena di rumah mereka tidak memiliki mainan. Bahkan ada yang sengaja pulang terlambat hanya untuk bermain di sekolah. Jawaban sederhana ini memberikan pencerahan yang selama ini sudah ada di depan mata. Sering kali kita melupakan cara alamiah anak-anak belajar: melalui lingkungan yang luas, mainan yang memadai, dan berbagai stimulus lainnya. Dengan lingkungan yang semakin padat dan privatisasi yang membuat segalanya mahal, akses terhadap fasilitas bermain menjadi semakin terbatas. Bagi saya, PAUD merupakan salah satu jembatan penting untuk menciptakan kesetaraan akses tersebut.
Pentingnya Melek Lingkungan Belajar dalam Intervensi Kelas
Di pekan ke dua, kami melakukan studi lapangan di SD Labschool UPI. Kami dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, mengukur kecerahan, kebisingan, dan temperatur di lingkungan sekolah. Kelompok dua adalah kelompok yang memotret dan potensi risiko. Kelompok ketiga, adalah kelompok survei kepada warga sekolah.
Setelah kegiatan itu selesai, sambil menikmati bakso legendaris di SD Labschool UPI yang menurut kepala sekolah sudah ada sejak zaman PPSP. Saya bergabung dengan Dr. Tina Hayati Dahlan dan Teh Ghina yang merupakan panitia acara tersebut. Kami bertukar obrolan tentang lingkungan sekolah dan penerapannya di PAUD yang menjadi keresahan saya juga.
Dalam peraturan sarana prasarana sekolah, terdapat aturan yang menyebutkan bahwa anak membutuhkan ruang sekurangnya 3 meter persegi. Selama ini, data tersebut hanya ada di atas kertas. Pembaruan perlu dilaksanakan per tahun, namun bukan dalam kapasitasnya dalam menilai. Kesadaran terhadap lingkungan ramah anak masih menjadi pekerjaan rumah bagi penyelenggara pendidikan. Sebab, ia bukan ranah guru untuk menilai kelayakan bangunan tersebut. Kadang, ketika menjadi operator sekolah, merasa perlu menjadi orang serba bisa dalam urusan apa pun termasuk urusan lingkungan belajar dan bangunannya. Sejauh ini saya bergabung dengan kedinasan, belum ada bahasan mengenai lingkungan belajar. Tanpa adanya sesuatu yang bermakna.
Dosen sekaligus kepala Program Studi Psikologi Pendidikan UPI, mengungkapkan permasalahan mendasar dalam hal-hal yang sebelumnya saya sampaikan. "Data ada, namun tidak ada kajian yang dijadikan landasan untuk intervensi". Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan sering kali tidak didukung oleh penelitian yang memadai.
Keresahan saya ternyata diamini oleh Dr. Tina. Ia juga melanjutkan, aspek-aspek fisik dalam lingkungan belajar sering kali jarang diperhatikan di lingkungan pendidikan. Padahal, aspek fisik ini berpengaruh secara langsung dalam proses belajar peserta didik di ruang kelas. Persis dengan apa yang sedang dilakukan di kegiatan ini, yaitu memastikan lingkungan sekolah aman dan nyaman.
Benang Merah Masalah
"The biggest problem is ignorance", begitulah yang dikatakan oleh Prof. Shibata ketika membahas tentang kebencanaan. Kupikir bukan hanya kebencanaan, namun berlaku dalam semua aspek kehidupan.
Pernyataan sederhana ini ternyata menjadi fondasi pemikiran yang mendalam tentang bagaimana kita memandang masalah di sekitar kita. Prof. Shibata selalu menekankan pentingnya menaruh perhatian pada hal-hal yang tampak sepele, sesuatu yang mungkin diabaikan orang lain namun berpotensi menjadi masalah besar di kemudian hari.
Dari peneliti Global Environmental Health Lab, saya belajar pendekatan sistematis yang mengubah cara pandang saya terhadap lingkungan sekitar. Beliau mengajarkan pentingnya melakukan analisis tempat tinggal untuk memahami potensi bahaya yang tersembunyi, analisis kebutuhan untuk mengidentifikasi apa yang benar-benar diperlukan oleh masyarakat, serta perencanaan strategis tentang langkah-langkah konkret yang harus diambil. Ia juga menekankan bagaimana menciptakan lingkungan yang benar-benar sehat, termasuk dalam hal yang tampak sederhana: pengaturan ruang kelas.
Dua pekan berlalu begitu cepat. Sentuhan akademik dan update pengetahuan menjadi energi tersendiri untuk menghadapi realitas di lapangan. Pertanyaan yang sudah lama terpendam, bahkan terlupakan kini menemukan jawabannya sendiri. Akan sulit jika semuanya diselesaikan oleh satu pihak. Seperti sekolah yang dituntut untuk menyelesaikan semua masalah. Memang perlu kesadaran dan urun rembuk banyak pihak.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru