• Kolom
  • CERITA GURU: Guru Beban Negara, tapi Menanggung Beban Bangsa

CERITA GURU: Guru Beban Negara, tapi Menanggung Beban Bangsa

Apabila negara tidak ingin memandang guru sebagai beban, maka justru negaralah yang seharusnya mengurangi beban guru, bukan menambahkannya.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Ilustrasi guru. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

27 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Di kalangan guru, bahkan banyak bermunculan di media sosial, pembiayaan untuk bahan ajar dan media pembelajaran ditanggung oleh saku pribadi. Sebagian sudah ditanggung sekolah, namun sebagian sekolah saja. Itulah risiko jika ingin menjadi guru yang inovatif dan menyenangkan dalam pembelajaran. Selain pengeluaran yang bersifat materiel, termasuk juga pengeluaran untuk membiayai diri sendiri mencari sumber informasi dan pembelajaran.

Ada juga guru yang menciptakan media pembelajaran dari barang-barang bekas. Kadang, jika dipikir ulang, daripada mirip media pembelajaran lebih mirip seperti kerajinan ibu-ibu PKK. Kreatif dan bisa menghemat dana pribadi maupun dana sekolah. Ada kelemahan dari model-model begini. Ia tidak menghemat tenaga dan ruang sama sekali. Pertama, guru harus menyimpan barang-barang bekas yang entah kapan dipakai. Kedua, guru perlu mengolah dan mengelolanya kembali yang berimplikasi kepada waktu yang dibutuhkan. Ketiga, tidak semua pembelajaran cocok menggunakan barang-barang bekas pakai.

Bukan hanya merencanakan pembelajaran dan membuat media pembelajaran, tugas guru yang utama adalah memantau perkembangan peserta didik dan memaksimalkan jiwa yang terkandung di dalam raganya. Kemudian melihatnya secara lebih dekat dan menyeluruh. Tak jarang banyak guru mengorbankan waktu dan tenaganya agar muridnya bisa mencapai kompetensi. Sayangnya, ironisnya pengorbanan seperti ini tidak dilihat oleh pihak-pihak yang seharusnya mendukung guru.

Sementara itu, masih banyak saku guru tak diberi bekal cukup. Kejadian tarik menarik anggaran kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pembelajaran tak terelakkan. Di luar sana, guru-guru ini dipandang sebagai beban negara. Di mana anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen, yang diamanatkan UUD 1945, belum diprioritaskan dan dialokasikan khusus untuk membekali saku guru. Bahkan ketika itu menjadi janji kampanye, ia pun belum mewujud. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan perspektif keliru terhadap profesi guru.

Baca Juga: CERITA GURU: Profesi yang Tidak Boleh Dibayar Murah Hanya karena Disebut Pengabdian
CERITA GURU: Mengapa PAUD dan Lingkungan Belajarnya Menjadi Penting
CERITA GURU: Di Balik Peran Guru sebagai Psikolog di Bidang Pendidikan

Beban Negara

Hal yang mengganggu masyarakat Indonesia beberapa pekan ini adalah guru dan dosen dipandang sebagai beban negara. Meskipun tidak dikatakan secara langsung secara langsung oleh Menteri Keuangan. Namun, pernyataan tersebut secara implisit mengarah ke sana. Dalam perspektif ekonomi negara, guru dianggap sebagai pos pengeluaran yang besar. Bisa jadi, penelitian World Bank 2015 menjadi landasan ini. Dalam penelitiannya, dinyatakan bahwa sertifikasi kenaikan gaji guru seperti tidak memiliki implikasi khusus baik dari kualitas pembelajaran dan nilai.

Menteri Keuangan ini, memiliki pikiran sejalan dengan pejabat-pejabat di daerah bahkan di tingkat satuan pendidikan. Jadi, anggap saja ia mewakili pikiran-pikiran dan pandangan guru selama ini banyak ditemukan di lapangan. Misalnya, ketika mendirikan sekolah, yang sering diutamakan adalah infrastruktur. Namun, guru hanya dianggap sebagai pelengkap dan sumber daya tanpa mempertimbangkan kelayakan kesejahteraannya. “Yang penting ada muridnya,” begitu kata pemilik yayasan.

Kita bergeser dengan pemilik yayasan, kepala sekolah menganggap bahwa dana pendidikan adalah dana yang langsung diterima dan dinikmati oleh peserta didik. Seperti program makan bergizi yang tidak gratis. Hingga segala sesuatu yang dipakai dan diterima oleh peserta didik. Dengan pola pikir seperti ini, kita bisa melihat berapa anggaran untuk peningkatan kompetensi guru? Padahal, kualitas guru menentukan kualitas pembelajaran. Itulah esensi pendidikan.

Pola pikir yang menempatkan guru sebagai beban ini ternyata bukan fenomena unik Indonesia. Amerika sudah mengalaminya lebih dulu. Learning Policy Institute mencatat 90 persen kekosongan guru tahunan di Amerika disebabkan guru meninggalkan profesi karena gaji rendah, kondisi kerja sulit, dan dukungan yang tidak memadai. Sementara di Inggris, sekitar 33 persen guru baru ditemukan meninggalkan profesinya dalam lima tahun pertama karena beban kerja dan stres yang melanda.

Hal ini mulai terjadi di Indonesia. Ketika penghasilan guru rendah, perpindahan guru menjadi cepat. Di lingkungan kami, banyak guru yang tidak abadi. Setahun dua tahun ada, kemudian hilang. Tentu saja adalah karena pekerjaan sebagai guru seperti pekerjaan persinggahan. Padahal, perpindahan guru ini memiliki biaya yang cukup signifikan terutama untuk mencari talenta guru yang baru. Ia juga memiliki dampak yang buruk terhadap pencapaian siswa.

Pendidikan adalah kerja jangka panjang. Di banyak negara berkembang, sebagian besar anggaran pendidikan masih terserap untuk belanja pegawai, khususnya honor guru. Namun, hasil atau return of investment dari pendidikan tidak bisa dirasakan secara instan. Biaya yang dikeluarkan hari ini untuk menggaji guru baru akan kembali dalam bentuk sumber daya manusia yang berkualitas 10 hingga 20 tahun mendatang.

Guru Menanggung Beban yang Bukan Tugasnya

Sekolah bukan lagi hanya menjadi tempat belajar dalam artian tradisional. Anak datang untuk belajar. Namun ia bergeser menjadi pusat segala solusi masalah sosial. Ketika keluarga gagal mendidik karakter anak, sekolah yang menjadi bengkel. Ketika masyarakat tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitarnya, sekolah yang harus mengajarkan. Bahkan ketika pemerintah daerah ingin mensosialisasikan program, tak jarang sekolah yang menjadi corong. Pertanyaan ini, siapa yang menanggung? Siapa lagi kalau bukan guru.

Hari demi hari guru berlalu dengan beban-beban administrasi yang menumpuk. Guru perlu melakukan tugas tambahan yang berkaitan, membuat dokumentasi untuk akreditasi, bahkan mendata kondisi sosial ekonomi siswa untuk berbagai program bantuan. Banyak juga yang menutup kebutuhan sehari-hari dengan mencari sampingan lain. Padahal, tugas-tugas administratif ini seharusnya ditangani oleh tenaga khusus, bukan guru yang seharusnya fokus mengajar.

Berhadapan dengan murid, tentu guru juga bersifat sabar. Tak jarang anak-anak datang hanya untuk curhat dan mengandung permasalahan kompleks di dalamnya. Idealnya, konselor yang menangani persoalan itu, namun guru pula yang akhirnya membantu dengan seadanya saja sesuai kemampuan yang ada. Berhadapan dengan perkembangan teknologi, administrasi, dan keuangan; entah mengapa, guru selalu dianggap menjadi orang ajaib yang mengerti berbagai macam hal, mulai aplikasi hingga membuat rentetan laporan keuangan ala-ala akuntan.

Baru-baru ini, guru juga perlu mendata kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya dan menginvestigasi alasan “mengapa anak tidak sekolah ke lembaga sekolah yang resmi?” kemudian menjadi pekerja sosial yang mengadvokasi anak-anak yang belum terjaring sekolah. Terkadang, untuk pengisian data dinamis dalam dapodik, guru perlu menjadi ahli sipil yang mengecek kondisi bangunan persekolahan. Kadang saya berpikir, apakah guru memang dituntut harus serba bisa dan tahu segalanya? Tidak seperti profesi lain, bertambahnya pengetahuan dan keterampilan guru tidak serta-merta berdampak pada jenjang karier mereka.

Jika pepatah di banyak negara mengatakan bahwa mendidik satu anak membutuhkan satu desa, maka mendidik jutaan anak bangsa jelas membutuhkan komitmen penuh dari satu negara. Karena itu, apabila negara tidak ingin memandang guru sebagai beban, maka justru negaralah yang seharusnya mengurangi beban guru, bukan menambahkannya. Mengutip pesan Priadi Surya, dosen Administrasi Pendidikan UNY, setidaknya negara perlu berani meminta maaf atas inefisiensi anggaran pendidikan sekaligus melakukan perbaikan nyata.

Selama guru masih dipandang sebagai beban, maka yang sebenarnya terbebani adalah masa depan anak bangsa. Serta masalah-masalah klasik urusan pendidikan menjadi cerita yang tak berkesudahan. Boleh saja negara berhitung tentang angka dan anggaran, tetapi pertanyaannya: untuk apa dana negara dihabiskan?

 

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//