CERITA GURU: Rencana Mengajar seperti Persiapan Memasak, Profesionalisme Guru dalam Perspektif Praktis
Guru menghabiskan lebih banyak waktu menulis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) daripada mempersiapkan pembelajaran yang bermakna

Laila Nursaliha
Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.
24 September 2025
BandungBergerak.id – Sewindu sudah kami bereksperimen dalam membuat perencanaan pembelajaran –mulai dari perencanaan sederhana yang dibuat perorangan, perencanaan yang dibagikan kepada siswa, hingga perencanaan yang dibuat untuk satu tahun namun dikerjakan dalam sehari, dan akhirnya perencanaan yang dibuat secara kolaboratif dan bertahap. Eksperimen ini dilakukan terlepas dari format dan konsep yang berlaku menurut peraturan pemerintah.
Eksperimen itu dilakukan dengan tujuan untuk mencari jalan tengah antara beban kerja guru yang ringan dan kebutuhan profesionalnya. Sayangnya, setelah melalui beberapa percobaan, konsistensi dalam menulis perencanaan menjadi hal yang sulit. Mungkin perlu bekerja dua kali. Pertama, ketika mencari dan merancang kegiatan. Kedua, adalah ketika menuliskan dalam kalimat-kalimat yang tepat dalam perencanaan. Spekulasi selanjutnya adalah apakah ini merupakan efek dari budaya lisan yang sudah mendarah daging?
Namun, kalaulah setiap hari guru harus menulis jurnal hariannya secara detail dan formatnya begitu kaku dan banyak hingga berpuluh halaman, rasanya memang akan menyita banyak energi. Hingga masih muncul banyak pertanyaan di benak saya: apakah perencanaan harus ditulis secara detail dari jam hingga menitnya? Apakah guru memang harus membuat "naskah film" setiap hari seperti yang disyaratkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)? Mengapa guru harus membuat itu setiap hari?
Baca Juga: CERITA GURU: Sisa Bekal Makanan
CERITA GURU: Kemelut di Atas Nampan Makan Bergizi Gratis
CERITA GURU: Surat untuk Anak-anak
Paradoks RPP: Formalitas versus Praktik
RPP sering digunakan sebagai standar baik atau buruknya sebuah kegiatan pengajaran. Setidaknya ini diberlakukan ketika pendidikan mulai memasuki masa modern. RPP juga merupakan bagian dari profesionalisme guru. Tidak heran apabila dalam dunia pendidikan, yang pertama kali diperiksa adalah cara membuat perencanaan dari analisis kebutuhan hingga penilaian.
Tak ada yang salah dengan perencanaan. Sudah sewajarnya, guru melaksanakan proses pembelajarannya secara baik. Seperti halnya dokter yang menulis rekam medis pasien. Menurut OECD, membuat perencanaan pembelajaran adalah bagian dari profesional guru yang akan menentukan bagaimana pembelajaran di kelas? Selain itu, RPP juga menggambarkan kapasitas guru dalam meramu dan menerjemahkan sebuah pembelajaran agar bisa dicerna di dalam kelas.
Patut disayangkan, dalam konteks pendidikan Indonesia, RPP sering dilekatkan administrasi guru yang menjemukan. Entah di mana letak masalahnya, RPP yang ada di atas kertas sering kali tidak terwujud dalam ruang kelas. Bahkan, ketika satu rencana ditulis dalam beberapa puluh halaman kertas. Sehingga, yang terjadi RPP hanya menjadi formalitas administratif. Akhirnya, dokumen itu berakhir sebagai bungkus gorengan atau berjamur di ruang arsip. Ini juga membawa kepada pertanyaan selanjutnya: untuk apa banyak waktu dan kerepotan dikerahkan untuk membuat rencana yang tidak akan pernah hadir di ruang kelas?
Sering kali, saya menemukan kesenjangan antara perencanaan dan praktik. Dokumen kurikulum yang perlu dikumpulkan setahun sekali, dibuat dalam sekejap waktu. Di sekolah kami, para guru dilibatkan secara langsung dalam pembuatan kurikulum sekolah. Pada akhirnya, para guru yang memutuskan akan membuat perencanaan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh guru dan menyesuaikan dengan kondisi di lapangan.
Permasalahan selanjutnya adalah apabila kelas berjalan tidak sesuai dengan rencana. Hal itu menuntut adaptasi guru yang perlu fleksibel. Kemudian ada peristiwa tak terduga, atau sebuah diskusi berkembang ke arah yang tidak terduga. Akibatnya, RPP menjadi dokumen mati yang tidak relevan dengan dinamika pembelajaran sesungguhnya. Kami berpikir, seharusnya hal ini yang menjadi evaluasi dalam pembelajaran guru dan juga ditulis dalam Rencana apa yang tidak terlaksana dan mengapa itu bisa terjadi?
Meskipun RPP sudah disederhanakan dalam format satu lembar, dan berubah-ubah menyesuaikan dengan peraturan yang berlaku, masih ada paradigma yang terbawa bahwa format RPP sama. Padahal, kita berhadapan dengan anak yang berbeda. Seperti yang diungkapkan Dr. Puji Riyanto, dosen Program Studi Teknologi Pendidikan UNY, penyeragaman format RPP dan arahan yang detail justru mencerminkan ketidakpercayaan pemerintah terhadap profesi guru.
Guru menghabiskan lebih banyak waktu menulis RPP daripada mempersiapkan pembelajaran yang bermakna. Meskipun sebenarnya, menulis RPP bisa dilakukan untuk mempersiapkan pembelajaran bermakna. Namun, ironi terjadi ketika guru yang RPP-nya "bagus" di mata birokrasi justru kelabakan di kelas karena tidak sempat menyiapkan media pembelajaran yang efektif.
Kondisi ini bertolak belakang dengan esensi perencanaan pembelajaran sebagai bagian dari profesionalisme guru –seperti halnya dokter yang menulis rekam medis untuk rencana pengobatan. Dokumentasi perencanaan seharusnya diperlukan untuk mencapai inovasi pembelajaran, bukan sekadar memenuhi tuntutan administratif yang menguras energi. Apalagi hanya sekedar membuang tinta dan kertas.
Analogi Guru sebagai Koki: Perspektif Lain Perencanaan Pembelajaran
Sekitar Juni 2025, secara acak, buku yang berjudul Work Clean muncul dalam daftar bacaan. Buku itu bercerita tentang bagaimana chef hebat mengorganisasi ruang kerjanya di dapur. Bisa kita bayangkan seorang chef hotel perlu mengorganisasi dapurnya agar tetap bersih, rapi, dan memuaskan lidah pelanggan.
Dan Charnas bercerita bahwa dokter jantung lebih sering menemukan koki atau satpam yang terkena penyakit jantung. Jika bagian keamanan disebabkan karena tidak teraturnya waktu tidur. Maka koki adalah pekerjaan yang sejak awal persiapannya. Karena ia harus menyiapkan secara efisien dari awal hingga akhir. Waktu menjadi hal penting dan kepuasan konsumen yang instan tak kalah penting. Paralel dengan kondisi guru: tekanan untuk membuat perencanaan detail yang kaku, namun di saat bersamaan harus mampu beradaptasi dengan dinamika kelas yang tidak terprediksi.
Paper Neoline Wright, peneliti Universitas Waikato menggunakan makanan sebagai metafora untuk mengajar. Ia menggunakan metafora untuk mempermudah mahasiswa pendidikan keguruan untuk memahami proses belajar dan pembelajaran di dalam kelas. Baginya, ada perbedaan signifikan antara mahasiswa dan guru yang sudah jadi. Biasanya, pemula akan fokus kepada konten dan detail kegiatan. Seiring dengan berjalannya waktu, guru yang profesional akan lebih dinamis dan fleksibel dalam mengelola kelas. Utamanya, bagaimana peserta didik bisa belajar.
Sayangnya, dalam sebuah metafora, ada satu hal yang abai dipahami yaitu, “Bagaimana chef ini bekerja?” Bukan hanya menyandingkan perbandingan analogi, namun juga cara bekerja. Dan tak banyak yang membahas mengenai organisasi yang efektif dari chef profesional. Tak banyak yang akan membahas bagaimana tata letak dapur chef yang baik, yang efektif, dan nyaman. Sehingga semuanya dapat dilakukan dengan mudah dan sesuai dengan alurnya.
Charnas dalam bukunya menceritakan bahwa yang terpenting bukanlah resep detail, melainkan bagaimana seorang chef mengorganisasi dapurnya dengan efisien. Konsep kunci di sini adalah mise en place. istilah kuliner yang berarti "everything in its place" atau persiapan sistematis sebelum memasak. Inilah yang membuat titik temu antara mengajar dan memasak. Memasak perlu persiapan panjang seperti mencuci dan memotong bahan, menyiapkan bumbu, mengatur peralatan, bahkan visualisasi proses dari awal hingga penyajian yang menarik. Biasanya, chef yang berpengalaman akan bisa berimprovisasi dalam berbagai keadaan, menyesuaikan rasa dalam berbagai kondisi bahan, namun tetap menghasilkan hidangan yang lezat dan berkualitas.
Lalu, bagaimana konsep mise en place ini bisa menemukan titik temu dalam pembelajaran? Ada sebuah kegiatan yang sama antara mengajar dan memasak yaitu meracik adonan dan menerjemahkannya. Bedanya, memasak menerjemahkan dalam makanan sedangkan mengajar menerjemahkan dalam kegiatan di ruang kelas.
Keduanya memerlukan persiapan mental dan konseptual yang matang untuk menyampaikan bahan yang akan dimasak ataupun bahan yang diajarkan. Agar bisa diterima oleh orang yang belajar. Seperti chef menyusun komposisi bahan, maka guru menyiapkan materi dan kegiatan yang akan dilaksanakan, model, media pembelajaran, worksheet sebagai bahan dan media pembelajaran. Semuanya ditata dalam dokumen perencanaan yang rapi. Terakhir, buatlah skenario dan perencanaan cadangan. Untuk mengantisipasi hal-hal yang di luar perencanaan, maka perlu ada rencana cadangan sehingga guru siap untuk melakukan improvisasi.
Perencanaan pembelajaran yang ideal memungkinkan guru untuk prepare like a chef, teach like an artist, and reflect like a scientist. Yang diperlukan bukanlah sebuah pengekangan birokratis dan administratif terhadap guru, namun sebuah kebebasan dan menghargai profesionalisme guru. Sehingga, guru bisa menggunakan keputusan pedagogik di dalam kelas. Hingga saat ini, eksperimen terhadap perencanaan yang efektif masih dilakukan agar semuanya bisa berjalan secara efisien dan mengurangi kelelahan bekerja.
*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru