Punk, Solidaritas, dan Suara-suara Perlawanan di Bandung
“Sebelum ngomongin kalian punk atau bukan, kalian itu warga Bandung. Setiap orang punya tanggung jawab terhadap isu sosial di sekelilingnya."
Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 2 Oktober 2025
BandungBergerak - Bola meluncur deras di lapangan, dan cepat-cepat Dannus Darmawan, seorang artist visual sekaligus ilustrator band, menyambar kesempatan emas di depan gawang. Dengan ketenangan seorang seniman yang terbiasa menggoreskan stippling di atas ilustrasi, ia mengeksekusi bola hingga menjebol gawang lawan. Sorakan pecah, ia lalu berlari sambil mengacungkan jari ke udara.
Tak lama berselang, giliran Angga Kusuma, gitaris band metal Ssslothhh, menunjukkan aksinya. Jika biasanya tangannya lihai mengolah nada cadas dengan efek dengung yang menghantam telinga, kali ini ia menyalurkan ritme berbeda ke dalam permainan sepak bola. Gerakannya terasa bersemangat tapi terlihat lelah seperti kebanyakan riff gitar dan scale yang rumit, memaksanya berdiam di pinggir lapangan.
Di Stadion Siliwangi, Bandung, Sabtu, 9 Agustus 2025 sore lalu, para personel band-band punk berkumpul dan membaur dengan para fans. Bukan di atas panggung konser, melainkan di rumput hijau. Mereka bermain bola, silaturahmi, dan menyalakan solidaritas melalui Football Disaster Cup 2025.
Di balik derai tawa dan keseruan bermain bola, mereka mengusung pesan perlawanan yang kuat. Band Kontrasosial dan Gloath, misalnya, membawa poster “Punk is political. Football is resistance. Solidarity is our weapon.”. Sementara spanduk "Tanah untuk Rakyat" terbentang di salah satu pagar tribun.
Di sini, pertandingan sepak bola menjadi ruang untuk menyuarakan dukungan bagi aktivis yang dikriminalisasi karena demonstrasi, sekaligus dukungan kepada warga di pusaran konflik tanah seperti Dago Elos dan Sukahaji. Di setiap gol dan sorak tersirat lebih dari sekadar skor. Ada simbol perlawanan tetap digaungkan dari sana.
Football Disaster Cup 2025 digelar oleh Maternal Disaster Records, sebuah label yang identik dengan musik punk, hardcore, dan metal di Bandung. Ide menggulirkan turnamen sepak bola antarband ini muncul dari keinginan sederhana untuk mempertemukan musisi satu label rekaman dalam suasana akrab, fun football, tapi juga tetap membawa semangat perlawanan.
“Tujuan utamanya sederhana: silaturahmi antarmusisi,” kata Dinar yang menjadi bagian dari panitia acara.
Football Disaster Cup 2025 memperlihatkan sisi lain komunitas musik di Kota Bandung. Band-band yang biasa turun ke panggung membawa solidaritas di lapangan hijau. Beberapa band bahkan menggalang dana untuk gerakan solidaritas Palestina dan panti asuhan. Turnamen ini bukan kompetisi, melainkan wadah untuk kawan-kawan band berkreasi juga. Mereka percaya bahwa perlawanan bisa dilakukan dalam bentuk apa pun, termasuk lewat sepak bola.

Seni Adalah Perlawanan
Jika Disaster Records merayakan solidaritas melalui sepak bola, band punk Dongker punya cara unik untuk menyuarakan keresahan. Arno, gitaris Dongker, meyakini pada dasarnya bahwa musik atau seni pada awalnya memang lahir dari kondisi sosial. Karya tanpa keresahan sosial atas ketidakadilan hanyalah dekorasi belaka.
Bagi Dongker, musik bukan sekadar dentuman gitar dan teriakan lantang. Sejak awal band ini menjadikan keresahan sosial sebagai bahan bakar pembuatan karya mereka. Tak heran jika panggung mereka sering berpindah ke jalanan, bersama massa yang menolak ketidakadilan.
Perjalanan Dongker berangkat dari latar belakang mereka sebagai mahasiswa Seni Rupa. Itulah sebabnya karya mereka kerap memadukan estetika dan kritik sosial.
“Kami senang untuk berekspresi, membicarakan isu yang lagi panas, karena kami ada di lingkungan itu,” ujar Arno.
Pada tahun 2018, Dongker ikut menolak RUU Permusikan. Mereka kembali hadir dalam aksi 2019 saat Omnibus Law digulirkan. Arno dan rekannya, Delpi, kerap turun dengan cara sederhana seperti membawakan lagu-lagu secara akustik di depan Gedung Sate. Musik jadi medium protes sekaligus pengikat solidaritas.
Konflik agraria di Bandung juga menjadi ruang bagi Dongker menegaskan keberpihakan. Saat penggusuran Taman Sari mereka hadir di hari H, menyaksikan langsung warga mempertahankan rumahnya.
“Kami ada di situ bukan karena kewajiban, tapi karena memang bentuk berekspresi kita sendiri,” kata Arno.
Ekspresi itu kadang muncul dalam bentuk yang tak biasa. Delpi pernah melakukan seni eksperimental mengayuh sepeda di depan barisan polisi. Sementara Bilal, bassist mereka, membawa patung seberat 100 kilogram dan meletakkannya di depan gedung DPR, sebuah simbol protes yang keras kepala, karena patung itu tak mudah dipindahkan.
Bagi Dongker, aksi-aksi semacam ini bukan sekadar ritual. Mereka percaya bahwa seni harus punya keberanian melawan. Cara terbaik melawan adalah melalui musik, seni, dan aksi bersama warga.

Solidaritas Lintaskota
Dari luar Bandung, dukungan dan solidaritas juga hadir. Sukatani, band punk asal Purbalingga, turut aktif dalam berbagai agenda perlawanan di Kota Kembang. Mas Al, gitaris Sukatani, mengakui bahwa mereka bisa terlibat dalam kegiatan di Bandung karena pertemanan antara komunitas punk Bandung yang selalu terbuka. Solidaritas lintaskota ini memperlihatkan bahwa musik punk tak mengenal batas geografis.
Menurut Mas Al, musik hari ini adalah bentuk ‘vandalisme’ yang mudah dikonsumsi khalayak. Melalui lirik kritis dan melodi cadas, musisi punya kesempatan merespons realitas sosial yang ada di sekitarnya. Lebih dari itu, ruang-ruang diskusi, forum komunitas, dan pertemuan langsung dengan warga yang terdampak adalah kunci dari gerakan perlawanan.
“Kami menulis ulang realitas sosial yang kami lihat, lalu mengubahnya menjadi lagu. Dari situ, pendengar biasanya merasa relevan dan akhirnya berada di garis perjuangan yang sama,” ungkapnya.
Mas Al menekankan bahwa kehadiran musisi dalam forum kolektif seperti di Dago Elos bukan semata hiburan. Kehadiran mereka hanyalah pemantik, sementara kekuatan sesungguhnya ada pada kolaborasi masyarakat.
Sukatani turut serta menyalurkan hasil donasi dari penjualan merchandise bersama Dongker. Ini adalah sarana perjuangan untuk berdiri bersama warga Dago Elos. Donasi yang terkumpul dari penggemar Sukatani adalah bukti nyata bahwa komunitas bisa saling menopang, menjaga ruang hidup, serta menegaskan bahwa perjuangan rakyat selalu menemukan kawan-kawannya di berbagai lini.
Di Purbalingga, Mas Al belum pernah melihat penggusuran sebesar yang terjadi di Bandung. Namun ketika tahu bahwa penggusuran dilakukan secara terang-terangan, ia merasa perlu terlibat melalui caranya sendiri, yakni dengan hadir, ikut merasakan, dan menggalang donasi.
“Intinya, teman-teman yang hadir jangan hanya menonton, tapi bisa benar-benar belajar dari warga yang berjuang,” tambahnya.
Baca Juga: Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas
Dongker, Band Punk Bandung dengan Lirik Antipenggusuran

Musik dan Perlawanan
Herry ‘Ucok’ Sutresna, musisi rap underground Homicide dengan nama panggung Morgue Vanguard, sudah tiga dekade hidup dengan dinamika musik independen di Bandung. Grimloc Records lahir dari perjalanan panjang Ucok pada 2011. Sebelumnya, pada 1998, ia lebih dulu membentuk Harder Records, sebelum bubar pada 2006.
Grimloc Records bangkit dengan rilisan perdana dari Eyefeelsix, menegaskan kembali prinsip DIY (Do It Yourself) yang dipegang teguh Ucok sejak awal: menolak intervensi industri musik, memilih merilis karya secara mandiri, dan menjaga solidaritas dalam komunitas. Menurut sang musisi, setiap langkah dalam skena musik independen adalah keputusan politis. Termasuk saat membuat pertunjukan tanpa sponsor korporasi.
“Kalau kita bikin acara udunan tanpa sponsor, itu sudah pilihan politis. Kita menolak intervensi modal besar yang bisa mengatur arah gerakan,” ujarnya.
Pandangan Ucok terbentuk dari pengalaman panjang sejak era 1990-an, ketika situasi politik nasional memanas. Jatuhnya Suharto menjadi momen penting: anak muda dari berbagai latar, termasuk musisi, turun ke jalan.
“Akhir 90-an, enggak ada yang enggak jadi aktivis. Anak metal, punk, hardcore, semua turun ke jalan karena zamannya era transisi,” tuturnya.
Semangat perlawanan itu, menurut Ucok, tidak pernah hilang. Punk memang punya sejarah panjang sebagai subkultur politis, tapi ia menekankan bahwa politik bukan milik satu genre.

“Sebelum ngomongin kalian punk atau bukan, kalian itu warga Bandung. Setiap orang punya tanggung jawab terhadap isu sosial di sekelilingnya,” kata Ucok.
Dalam beberapa tahun terakhir, genre lain mulai mengambil peran resistensi. Band-band Hip-hop, metal, dan folk hadir dalam gerakan akar rumput. Festival Kampung Kota di Bandung jadi contoh. Hip-hop justru tampil lebih dominan daripada punk. Bagi Ucok, ini hal wajar. Perlawanan tidak terikat genre, meski punk secara historis paling vokal.
Ada satu kunci yang selalu Ucok tekankan: solidaritas. Ia menyebut beberapa kasus penggusuran di Bandung, di mana kekuatan warga bertahan karena dukungan lintaskomunitas, termasuk dari musisi.
“Yang bikin susah ngegusur di Bandung itu karena solidaritasnya tinggi. Kalau satu orang kena pukul aparat, yang lain pasti datang bantu. Itu yang bikin aparat juga harus hati-hati,” ujarnya.
Bagi Ucok, musik hanyalah salah satu medium. Ia bisa memprovokasi, menginspirasi, dan mendorong kesadaran kritis. Tapi perjuangan tidak berhenti di panggung atau lagu. Intinya adalah aksi nyata dan gerakan kolektif warga melawan ketidakadilan.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB