• Opini
  • Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas

Tentang Punk, Dentangan Keras dengan Kontribusi Luas

Punk mengajarkan kita 'tuk mandiri. Bekerja keras di atas kaki sendiri. Punk mengajarkan kita 'tuk setara. (Punk Is Attitude, MCPR)

Mansurni Abadi

Divisi riset NGO SMT Asia Pasifik/ Mahasiswa S2 Jurusan Komunikasi di Avondale University , Australia

Konser musik band punk asal Bandung di Dago Elos, Rabu, 9 Oktober 2024. Orang-orang muda bersolidaritas untuk Dago Elos. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

1 Juli 2025


BandungBergerak.id – Musik sebagai seni yang kita nikmati setiap hari apa pun genrenya  sejatinya bukan semata-mata penghibur. Ada kalanya musik juga mendidik hati, mengelisahkan pikiran, dan mendorong ke arah tindakan untuk ikut membenahi permasalahan kemanusiaan.

Seperti kata Syed Qutb “lebih tajam dari peluru”, begitu pun musik yang mampu meresap ke setiap kepala para pendengarnya. Apalagi jika disertai dengan lirik berpadu melodi yang menggugah nyala perlawanan.

Di seluruh dunia, telah lama musik dijadikan alat perlawanan sosial, dari sejak masa-masa kolonialisme sampailah era yang kita sebut  dengan neo-kolonial ini.  Ketika masih ada penindasan di kolong langit, di situlah setiap seni termasuklah musik akan menyublim menjadi alat perlawanan yang tidak dapat dihentikan.

Idealnya setiap genre musik berpotensi menjadi alat perlawanan, bergantung pada kesadaran si pembuatnya untuk mengalami emosi dari masalah-masalah manusia, sebagaimana tulis Leo Tolsyol dalam What is Art (1897).

Namun dari setiap genre itu ada  genre-genre tertentu yang memang menentang arus dengan fokus pada upaya-upaya membangun politik prefiguratif yang berarti upaya untuk menciptakan masa depan yang diinginkan pada masa kini. Salah satunya Punk, dari proses kreatif sampailah ke penciptaan komunitas mereka selalu mengambil perbedaan dari genre-genre yang mainstream.

Baca Juga: Merayakan Kemenangan ala Riverside Forest, Klub Sepak Bola Punk Bandung
Pameran Red RAWS Center Pasar Antik Cikapundung: Mengkritik Estetika Kolonial lewat Lensa Punk dan Zine, Berani Jelek adalah Pemberani
Lima Puluh Tahun Kelahiran Sex Pistols dan Revolusi Punk, Kita Artikan Apa?

Punk, Distigma Namun Berkontribusi  

Viralnya aksi Band Sukatani beberapa waktu lalu, selain membuka kembali ingatan akan boroknya institusi coklat yang seharusnya terhormat itu juga menaikkan kembali punk di ruang publik yang sudah lama hanyut dalam dominasi musik berunsur romansa. 

Tapi sebenarnya apa yang disebut punk? Apakah hanya persoalan musik keras dengan asesoris urak-urakan lengkap dengan tato, tindik, mowhak, dan alkohol atau justru melampaui semua itu?

Punk, sebagai subkultur musik yang lahir saat perang dingin masih berlangsung, sering dianggap sebagai ekspresi pemberontakan golongan muda yang dangkal. Padahal punk sendiri adalah ideologi yang mengandung ide, energi, dan ekspresi gerakan yang melampaui cara berpenampilan, cara berkegiatan, atau cara bermusik.

Esensi dari punk adalah jiwa yang bebas, namun bukan berarti terlepas dari akibat-akibatnya. Andai kata seseorang telah benar-benar berjiwa punk yang sesungguhnya, seseorang itu akan menjadi pemimpin untuk dirinya sendiri, tubuhnya sendiri, keputusannya sendiri. Idealnya, seorang punk yang benar tidak akan menekankan sesuatu yang irasional terhadap hidupnya –termasuk juga sekelilingnya.

Artinya, tidak perlu berkoar-koar soal seberapa punk dirinya. Biasanya mereka yang benar-benar punk lebih memilih untuk konsisten memberikan perbedaan yang positif di dalam masyarakat melalui kreativitas yang kritis dan tindakan yang progresif-revolusioner tanpa mendaku saya yang paling “Punk”.

Namun dalam masyarakat yang cenderung menolak budaya yang berseberangan dengan norma dominan, kaum punk kerap dihadapkan pada stigma. Tapi stigma tidak berarti menghalangi gerakan punk untuk berkontribusi dengan memadukan dialektika penciptaan dan penghancuran.

Sebagaimana dikemukakan George F. dalam Good Times in Dystopia (2015), esensi perlawanan punk terletak pada kemampuannya merangkul paradoks: menerima kegelapan, keterpurukan, dan keputusasaan, sembari berpegang teguh pada visi utopis tentang dunia yang lebih baik.

Kontribusi punk tidak lahir dari kepatuhan pada struktur yang mapan, melainkan dari keberanian menghancurkan sekaligus mencipta. Melalui ekspresi seni, musik, atau bahkan gaya hidup yang provokatif, mereka membangun identitas kolektif yang bersifat transformatif. Di satu sisi, gerakan ini menghancurkan citra normatif tentang "kebenaran" yang dikonstruksi masyarakat; di sisi lain, ia menciptakan ruang bagi solidaritas dan harapan.

Dialektika ini bukan sekadar alat bertahan hidup, tetapi juga cara merekonstruksi realitas –sebuah upaya membongkar hierarki sosial sembari merajut alternatif baru. Dengan demikian, punk mengajarkan bahwa resistensi tidak selalu berbentuk konfrontasi langsung. Justru melalui aksi langsung yang merangkul paradoks. Tapi apa saja kontribusi punk yang dapat kita rasakan atau sadari? Tentu ada banyak, namun ada dua medium yang paling tampak dari gerakan punk.

Punk Sebagai Medium Ide-ide Anti-otoritarian

Punk yang selalu identik dengan perlawanan menempatkan otoritas sebagai objek untuk dilawan. Dalam sejarah gerakan anarkis modern, punk memang memainkan peran krusial sebagai katalisator ide-ide anti-otoritarian. Sampai saat ini dan nanti, peradaban manusia tidak bisa terlepas dari kuasa yang menindas,

Otoritas dalam perspektif punk, merujuk pada struktur hierarkis yang menindas –baik negara, kapitalisme, patriarki, maupun norma sosial yang membatasi kebebasan individu. Namun, kebingungan sering kali muncul  ketika punk mengklaim sebagai  "anti-otoritas".

Pertanyaan selanjutnya muncul, otoritas mana yang spesifik dilawan? Apakah polisi, sistem peradilan, militer, atau pemerintah? Apakah semua tindakan mereka harus ditolak, bahkan jika secara inheren sejalan dengan nilai-nilai kita? Apakah kita juga harus melawan mereka yang berada dalam otoritas. Apakah kemudian kita akan "anti" dengan mereka tanpa alasan?

Punk menjawab ini dengan membedakan sistem opresif dan individu di dalamnya. Perlawanan difokuskan pada struktur yang menormalisasi ketimpangan, bukan pada individu yang terjebak dalam sistem tersebut –kecuali jika mereka turut memperkuat status quo.

Punk sangat anti ketika yang otoritas itu mengkondisikan Otoritarianisme, kondisi di mana sistem memaksakan kepatuhan mutlak secara sistematik melalui hierarki dan represi –seperti rezim diktator, korporasi eksploitatif, atau kebijakan diskriminatif.

Menjadi punk artinya peka akan tanda-tanda otoriarianisme gaya baru di mana ada gejala saat pemilu hadir namun rakyat tidak berdaulat, ada elemen progresif namun diam terhadap penindasan, kultus personal yang sangat kuat, emansipasi diselubungi budaya misogini, atau meritokrasi terhalang dinasti. Menjadi punk artinya harus menyuarakan setiap fenomena otoritarianisme yang artinya menghindari sikap anti politik yang bergejala sinis, feodal, seksis, dan apatis.

Punk Sebagai Medium Aksi Langsung

“Di pasar ini, setiap orang bebas mengambil sembari berbagi kebutuhannya,” kata seorang kawan penggerak pasar bebas uang, yang baru saja saya kenal dari media sosial Instagram. Jika kita searching komunitas pasar bebas uang mirip seperti perpustakaan jalanan, dan food not boom yang sangat organik, spontan, dan tidak ada yang mengatur.

Tentunya gerakan kolektif seperti ini sekilas seperti kegiatan amal namun sebenarnya melampaui sebatas amal, meskipun ada nilai pahala baik di dalamnya yang hanya Tuhan saya tahu. Ada kegelisahan terhadap yang multidimensi yang menghadirkan gerakan-gerakan seperti ini di tengah masyarakat.

Yang menariknya, campur tangan komunitas dan individu yang teridentifikasi sebagai punk sangat kuat dalam gerakan-gerakan seperti ini. Dari perspektif punk yang sebenarnya berkelindan dengan anarkisme yang definisi dan manifestasinya kita sempitkan hanya pada persoalan kehancurann dan kekerasan itu. Gerakan seperti pasar bebas uang, food not boombs, dan perpustakaan jalanan merupakan praktik  dari  tindakan langsung yang tidak terpisahkan dari etika DIY (Do It Yourself) yang menolak ketergantungan pada struktur hierarkis untuk melakukan segala sesuatu yang dirasa perlu sekarang juga.

Oleh karena itu dalam konteks musik, punk selalu identik dengan produksi mandiri, bukan hanya membuat lagu mereka juga meluaskannya ke medium zine dan berbagai asesoris lainnya. Sering kali karya-karya mereka menerapkan prinsip penolakan terhadap hak cipta, yang artinya bebas untuk disebar luaskan semata-mata untuk memperluas nyala perlawanan. 

Kalau ditelaah secara kritis, tindakan langsung bukan hanya ekspresi budaya, tetapi juga praktik politik prefiguratif: membangun dunia otonom di tengah sistem kapitalis dari alternatif yang paling kecil. Pada akhirnya kontribusi punk berpuncak pada Attitude sebagaimana lirik lagu MCPR “PUNK IS ATTITUDE”.

Bukan tentang apa yang ada di hidupmu
Tapi tentang jalan pikiranmu
Bukan tentang apa yang kita kenakan
Tapi apa yang kita banggakan
Punk mengajarkan kita 'tuk mandiri
Bekerja keras di atas kaki sendiri
Punk mengajarkan kita 'tuk setara

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//