Lima Puluh Tahun Kelahiran Sex Pistols dan Revolusi Punk, Kita Artikan Apa?
Budaya tanding sejatinya telah amat lama ditinggalkan, dan berubah menjadi budaya mengonsumsi.

Anton Solihin
Penikmat sepak bola dan Persib, mengelola Perpustakaan Batu Api di Jatinangor
15 Juni 2025
BandungBergerak - Terpampang lusuh pada dinding beranda depan Perpustakaan Batu Api di Jatinangor selama puluhan tahun, poster konser Sex Pistols di tahun 1976 ini (lihat gambar) sebetulnya punya arti tidak ternilai sebagai artefak sejarah visual. Poster yang merupakan sisipan majalah Aktuil dari akhir 1970-an itu tanpa keraguan bisa penulis katakan merupakan poster “punk” pertama di Indonesia. Dan tahun 2025 ini diperingati di seluruh dunia sebagai 50 tahun kelahiran Sex Pistols.
The New Illustrated Rock Handbook menuliskan awal kemunculan Sex Pistols dengan menarik. Peristiwa itu dimaknai secara mendalam sebagai kelahiran band punk yang betul-betul radikal, yang mungkin diingat dari generasi ke generasi setelahnya karena anggapan sebagai awal lahirnya suatu gerakan counter-culture.
Kata punk yang diartikan “sampah” (barang yang tidak penting, tidak berharga…), kira-kira tergambar maksudnya dalam dokumenter Punk In Britain (BBC, 2012) episode pertama. Terekam bagaimana Sex Pistols, saat tampil pada suatu program live TV, membuat onar dengan sumpah serapah di depan layar dan ditonton secara nasional. Kegaduhan itu menempatkan mereka pada berita utama koran-koran harian keesokan harinya. Anak muda menyukainya, dan momen itu diproklamasikan sebagai awal suatu gerakan budaya tanding: revolusi punk.
Punk dengan begitu muncul sebagai counter-culture. Musik menjadi bagian penting untuk generasi punk sebagaimana generasi orangtua mereka di tahun 1960-an, generasi hippie atau diistilahkan flower generation. Tetapi karakter punk menjadi terejawantahkan dan terpelihara melalui berbagai bentuk corak musik, ditambah citra yang sangat berbeda dan mandiri, seperti misalnya fashion yang diusung.
Album Never Mind the Bollocks…Here’s the Sex Pistols (1977) dilukiskan majalah Rolling Stone dengan kata-kata, “dimainkan dengan energi dan rasa yakin yang positif, yang ditumpahkan lewat kegilaan Pistols!”
“Mereka didaulat sebagai manusia-manusia muda berpakaian betul-betul lain dan gila, lantas juga disebut sebagai penyebar paham kebencian dan keganasan”, begitu dikatakan Caroline Coon, seorang jurnalis di masa itu yang rajin menulis tentang fenomena punk di masanya, termasuk tulisan-tulisan provokatif dan kontroversial terkait Sex Pistols.
Tidaklah terbantahkan untuk dikatakan, karisma Sex Pistols memang lebih menonjol dibanding kontribusi bermusiknya. Meskipun begitu, generasi awal punk juga melahirkan banyak sosok yang penting dari sisi musikalitas. Kita bisa menyebut the Clash, Patti Smith, Ian Dury & the Blockheads, Talking Heads, Pere Ubu, Wire, the Stranglers, Suicide, atau the Television.
Apabila banyak orang mengidentikkan punk dengan banyak hal yang menakutkan (tampilan sangar, fashion yang dianggap tampak aneh atau tidak umum, atau corak tertentu musik rock yang amat bising), semuanya itu di awal kemunculannya memang ditunjukkan dan terekspresikan hingga taraf ekstrem.
Dikatakan oleh Dieter Mack (dalam Apresiasi Musik, Sesuai dengan Kurikulum 1994 (1995)), filosofi punk itu, “semakin kasar dan keras, semakin bagus”. Sama halnya dengan musik mereka yang sangat monoton, keras, bahkan bersifat “anti keterampilan alat musik”.
Glenn Matlock, anggota awal Sex Pistols, mengatakan begini untuk mengilustrasikan pernyataan soal taraf ekstrem itu: “You’ve created somebody who has nothing. And out of nothing, I'm going to build a whole new suit of clothes. Out of nothing, I'm going to look great. Out of nothing, I'm going to terrify your children!”
Bahkan Caroline Coon menyatakan dengan gamblang: “the great idealistic issues of the hippie era, gender politics, issues of race, issues of authority, we're not listened to. In fact, I had gone to the Home Office and said,"We have arguing with you, and if you don't listened to me, my generation, the next generation is going to come with you with knives."
Fashion Punk yang Spontan dan Penuh Gairah
Taraf ekstrem lain kaum punk pun tergambar pada dandanan. Selain musik, fashion juga menjadi penanda punk yang khas dan unik, atau malah barangkali ciri utamanya. Bahkan kini sudah menjadi bagian atau rujukan penting jagat mode. Uraian itu ditulis James Laver dalam Costume & Fashion (1982: 272-273): “One of the most interesting fashion fenomena in the Seventies was the voyage of punk clothes and hair-styles from gang fashion to high fashion.” Lalu ditambahkannya, dengan begitu: “Punk, as an expression of violence at a time of severe youth unemployment, influenced the music world.”
Helen Reynolds pada Mode dalam Sejarah (KPG 2010) mengatakan begini: “Model fashion punk pada 1970-an dibawa oleh kelompok punk yang membawa seni rias wajah ke gaya terbaru yang menggunakan semua jenis dekorasi, dari tato sampai tindikan (halaman 13)”. Tradisi tato yang biasa kita lihat dalam masyarakat Jepang, Indian di Amerika, Polynesia, Maori, dan juga Mentawai, Dayak, atau Bali, dengan mudah tergambar pada mode anak muda yang berkeliaran di kota-kota besar dunia saat itu. Termasuk rambut aneh berujung runcing yang disebut 'mohican' atau ‘mohawk.’
Fashion punk di awal kemunculannya terefleksikan dalam laporan berbahasa Indonesia oleh A. Djohari dari London tahun 1977 (Aktuil No. 224: 27, 38, 39): “sepatu sandal plastik warna rose, orange atau apa saja atau sepatu berujung lancip dari kulit, penggunaan bot kerja yang timbul tenggelam dalam dunia mode sejak 1960an hingga sekarang, plus kaus kaki kanan kiri gak perlu sama warnanya, atau sepatu plastik yang dulu pernah musim di Indonesia pada 1965an; Ujung celana sempit terbuat dari plastik untuk buang sampah, atau celana dari bahan mohoi; t-shirts dari plastik hitam pembungkus sampah, jas tua kedodoran atau jaket plastik dengan tempelan selotape; Kaos sobek beneran atau disengaja; Swastika, gunting kecil, silet, paku buat kalung atau sekedar gantungan; Dasi tipis sebesar pita; Rambut pendek a la Everly Brothers, anti sisir, lipstick warna menyala atau hitam sama sekali. Rambut dengan cat warna merah, hijau, violet atau biru; Hiasan sesukanya di sudut mata; Peniti dipasang di kaos atau pipi ala Rawe Rontek (kala itu merupakan band lokal yang sering tampil nyeleneh dengan pertunjukan debus dan beringas di panggung); Cincin dipasang ‘nembus hidung; Anting-anting disambung ke hidung plus hiasan-hiasan pisau kecil, gunting kecil dan rantai anjing.”
“Ketika punk menindik telinga atau hidung mereka dengan anting-anting, mereka menghidupkan kembali kebiasaan yang berdasarkan bukti-bukti arkeologis telah dilakukan sejak 4.000 tahun lalu,” kata Reynolds (2011: 17).
Namun saat ini “tren fashion yang sekarang ngetren, sebenarnya sudah jauh dari bentuk awalnya, meski semangat DIY (do it yourself) khas punk, tetap terasa di proses perkembangan fashion punk” (‘Tren “Fashion Punk” dari Sex ke Glam’, dalam harian Kompas, 31 Januari 2003). Berikutnya ditambahkan dalam artikel itu: ”Pada dasarnya sekarang ini punk hanya sebagai inspirasi dalam fashion. Karena kalau tetap dipertahankan dalam bentuk aslinya, ya enggak ada keindahannya. Bentuk kasar, apa adanya, dan serba anti-kemapanan dari fashion punk, dipoles serta dimodifikasi hingga menjadi sebuah barang produksi industri.”
Apakah dengan begitu fashion punk dianggap norak? Untuk soal ini, Malcolm McLaren, manager Sex Pistols dan pemilik toko Sex di King’s Road London, yang dianggap sebagai pencetus fashion punk, bilang pada (majalah) Aktuil bahwa mereka (anak-anak punk) yang datang ke tokonya adalah orang-orang yang up-to-minute (mengacu pada sesuatu yang paling baru atau paling mutakhir) dalam memeragakan ‘seragamnya’. Bisa diartikan bahwa fashion punk itu muncul secara spontan, dipenuhi gagasan baru dan visi, serta dilakoni dengan penuh gairah.
Baca Juga: Berhentilah Membangun Wisata Alam Buatan di Priangan!
Sejarawan Akademis, Amateur Historicus, Pengrajin Sejarah, dan Historicrat
Salah Dimengerti
Dalam berita-berita di masa itu pada majalah musik seperti Aktuil yang terbit di Bandung dan menjadi acuan gaya hidup anak muda di Indonesia tahun 1970-an, punk sebetulnya terekam seolah sayup-sayup, timbul-tenggelam, atau kadang salah dimengerti. Berikut adalah beberapa fenomena atau berita di majalah Aktuil terkait punk antara 1977-1980: artikel tentang band the Boomtown Rats, Sex Pistols mark II, Ramones (201), EMI membatalkan kontrak Sex Pistols (214, 226), The Damned, the Jam, Iggy Pop, Sex Pistols, Johnny Thunder, Dr. Feelgood, Eddie & the Hot Rods, Ian Dury & the Killburn, New York Dolls (217), Utopia menganggap punk musik amatiran (219), Johnny Rotten, Mengenal blantika punk (228), the Television (230), Boomtown Rats (231, Oktober 1977), the Clash (No. 238 Januari 1978), dan mengenai Devo (251), juga Ramones & the Police (No. I Tahun XIII 10 November 1980).
Penulis tidak menemukan catatan apakah rezim Orde Baru yang begitu berkuasa di akhir 1970-an punya ketakutan atau ngeri akan anggapan pengaruh buruk fenomena “budaya tandingan global” semacam punk ini, sebagaimana phobia berlebihan dan akut terhadap komunisme. Namun faktanya, punk baru berkembang di Indonesia satu dekade kemudian (1990-an). Meskipun demikian, sedemikian mengkhawatirkannya fenomena punk ini sampai-sampai diberitakan bahaya terkait punk di negara tetangga dekat kita, Singapura pada tahun 1977.
Begini ceritanya: “SOS buat punk. Belum lagi beres urusan rambut gondrong (yang hingga saat itu) tidak diizinkan masuk ke Singapura, Menteri Kebudayaan Singapura dikatakan sedang menelaah seluruh produk punk dalam bentuk rekaman termasuk ph dari Sex Pistols, yang disebutnya “loud spluttering and brutal”. Perhatian khusus ditujukan pada lirik-lirik yang dikhawatirkan akan memberikan pengaruh buruk pada kaum muda Singapura.” Berikutnya disebutkan dalam berita pendek itu: “Gerakan punk dikhawatirkan akan juga merusak kepribadian generasi muda “negri suci” tersebut. Soal rambut punk barangkali mereka tidak pusing tapi atribut lain seperti pakaian rombeng, peniti, atau pisau silet cukup mengganggu mata para pemuka di sana.”
Di akhir era 1970-an itu sendiri, “revolusi punk” nun jauh di sana jelas sekali dilihat dengan cenderung salah di negeri ini. Tulisan pendek di majalah Aktuil (halaman 32 No. 218, 4 April 1977) mengatakan begini: “Abang-abangnya boleh saja mencak-mencak dengar musik jreng jreng satu dua jurus itu - mereka takkan peduli. Perasaan satu generasi, satu kelompok melebihi pertimbangan-pertimbangan lain bahkan musiknya itu sendiri. Mereka yang merasa tidak mempunyai pahlawan atau bintang pujaan diantara sebayanya setidaknya terpuasi dengan munculnya kelompok-kelompok musik "new wave" (istilah keren bagi musik punk) yang menampilkan idola-idola baru usia belasan tahun, macam Johnny Rotten, Sid Vicious, Joey Ramone, dll.”
Bahkan istilah punk kemudian dipakai tanpa ada sangkut paut sama sekali dengan realitas yang ada saat itu. Coba perhatikan cara kita menyikapi punk antara antara 1976-1984 berikut ini: Adjie Bandie bersama band-nya merilis album Contrapunk (1976) mengiringi penyanyi seperti Grace Simon dan Titiek Puspa (lihat Aktuil Nomor 200, 24 Juni 1976), lalu Yockie Soeryoprayogo meluncurkan album berjudul Punk Eksklusif (Musica, 1983). Remy Sylado menyebut bahwa majalah Vista pada tahun 1984 menyelenggarakan lomba dandanan punk rock, dan yang menang sebagai "ratu" adalah Renny Djajusman (di masa keemasannya sebagai penyanyi atau lady rocker, Renny dikenal luas karena menikah dengan tokoh teater dan sastrawan Putu Wijaya). Sebelum itu, pada tahun 1982 Bonny Rollies membuat rekaman dengan biaya sendiri di Bandung yang disebutnya 'punk reog', paduan antara punk rock dan reog khas Sunda. (Ensiklopedia Musik, 1992: 170).
Memasuki era 1980-an, kita bisa membuka-buka majalah mingguan Hai yang jadi acuan bacaan remaja atau kaum muda secara umum di kala itu. Penulis tulisan ini di masa itu adalah satu dari pelanggan majalah Hai dimaksud. Bisa penulis gambarkan bahwa catatan mengenai fenomena punk bertebaran dalam bentuk resensi album rekaman band punk, sosok atau profil musisi terkait punk, serta komik history of rock yang dibuat berseri dengan sedikit memuat riwayat punk pada beberapa bagiannya.
Sebagaimana tercermin pada isi ulasan atau artikel-artikel umumnya dalam Mingguan Hai, apa yang disebut genre New Wave ataupun Heavy Metal saat itu lebih mendominasi penulisan musik. Barangkali itu pula yang menjelaskan atau salah satu alasan, mengapa apa yang disebut punk baru berkembang memasuki medio 1990-an.
Kelompok-kelompok kecil komunitas punk memang mulai terlihat di Indonesia, misalnya di Bandung dan Jakarta sebagaimana yang penulis saksikan sendiri keberadaannya. Kelompok-kelompok kecil punk muncul di sekitar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan kawasan Cihapit serta GOR Saparua Bandung di awal 1990-an. Ideologi punk kemudian menyelusup melalui fanzine dan berikutnya lagi, seperti jamur di musim hujan, bermunculanlah band-band beraliran punk.
Jauh setelah kelahiran Sex Pistols, terbukti punk telah melewati semua kesulitan itu, bertumbuh dan terus-menerus berproses, memodifikasi diri, bertransformasi, berevolusi, atau apapun istilah yang (suka-suka) ingin disematkan. Semangat yang diusung: independen dan antikemapanan, dikenal dengan “do it yourself” (DIY), umumnya dipegang teguh. Banyak istilah terkait fenomena punk pun dengan mudah bisa kita kaitkan: post punk, skinny ties, Amerindie, Haircuts, grunge, independent record label, zines khusus punk, distro khusus punk, straight edge, Street Punk, Punx, dst.
Fakta sesungguhnya tentang punk sebetulnya tidaklah seburuk yang sering disangkakan.
Sejak awal 1990-an itu, tanpa bisa dibendung gegap gempita punk menyebar ke seluruh pelosok negeri. Soal ini misalnya bisa dibaca pada Intermezo: Energi Anarki (Majalah Tempo 19 Februari 2012), Perlawanan Diam dalam Tradisi Global (Harian Kompas, 28 November 2005), atau tulisan penuh detail: Punk and the City - A History of Punk In Bandung, pada Jurnal Punk & Post Punk Vol. 6 Number 2 (2017).
Punk dan Anarkisme
Lalu bagaimana cara kita menyikapi punk kini? Dalam caption film Fakk the System (2023), tentang tur band Anti Cimex di Bandung, Frans Ari Prasetyo menggambarkan dengan singkat posisi punk di negeri ini : “Punk in Indonesia has often been described as a spectacular performance of disorder and resistance, a youthful style that posed a disruptive challenge to the authoritarian hierarchy and discipline of the New Order regime. The punk scene in Bandung has developed in the context of what is often referred to as ‘post-authoritarian’ Indonesia. Punk gives another historical narrative of the development of urban communities, and while remaining a minority, is highly visible among urban Indonesian youth lifestyle.”
Umumnya komunitas punk memang berupaya mandiri. Anarkisme sebagai ideologi (bukan kekacauan, tapi menolak tunduk kepada sistem), disadari ataupun tidak adalah energi untuk melakukan segala aktivitas dan kreativitas mereka.
“Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, dan mereka bisa menciptakan sendiri aturan itu sesuai keinginan mereka. Punk etik semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself atau lakukan sendiri),” kata Dyah Mahasasi Swastantika, dalam artikel Seni Pemberontakan – Bukan Hanya “Spikes” dan Rambut Runcing, pada Harian Kompas, 10 Desember 2005.
Dijelaskan oleh Dieter Mack, bila mula-mula “estetika punk” dapat ditafsirkan sebagai reaksi terhadap masalah sosial (punk tidak hanya tercermin dari musik yang diusung dan fashion, tapi juga dari semangat perlawanan terhadap ketidakadilan), maka kemudian industri musik justru mengkomersialkan penampilan demikian sehingga “punk” menjadi sebuah mode. Bukan lagi suatu ekspresi yang utuh dan murni.
Terkait ‘anarkisme’ tadi, soal reaksi terhadap permasalahan sosial ini pun dengan bagus dijelaskan Geger Riyanto berikut ini: “Punk kerap dipandang tidak berdaya untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Pendiriannya untuk melawan kelas pemodal, serta terlindungi oleh apparatus negara, memang dapat dianggap terlampau utopis. Namun, sebagai sebuah gerakan counter-culture, logika perlawanan punk tidak berupaya menjungkirbalikkan kelas yang berkuasa dengan strategi revolusi ala revolusi proletar” (Harian Kompas, 1 Agustus 2007).
Dalam masyarakat yang melihat sesuatu secara serba formal, punk (tentunya akan) dianggap gagal berperan dalam dinamika kebudayaan. Dikatakan oleh Bre Redana (harian Kompas, 8 Juli 2007): “yang dianggap penting dalam dinamika kebudayaan tetap para ilmuwan, dosen, manusia bertitel, yang banyak di antaranya barangkali tidak faham fenomena di dunia urban (kita ambil contoh budaya tandingan global seperti punk ini).” Itu sebab punk sering dilihat dengan mata nyinyir.
Punk sebagai musik patut diapresiasi. Sebagai subkultur, ia harus kita terima sekarang sebagai realitas dunia, yang di saat yang sama menjadi bagian atau hadir di tengah-tengah masyarakat.
Punk tidak akan bisa dipahami secara gampangan dengan cara berpikir lembaga atau instansi semacam Departemen Kebudayaan yang melihat Kebudayaan Nasional sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah” atau semata pengembangan tradisi lokal. Punk juga tidak akan bisa dipahami bila orang mengidentifikasinya semata sebagai aliran musik dalam rock ‘n roll. Perubahan dalam penyikapan untuk sungguh-sungguh memahami fenomena punk tampaknya memang wajib dilakukan.
Kita bisa melihat itu pada contoh terbaik terakhir terkait kekeliruan memahami persoalan pada kasus menyangkut polemik “Band Sukatani versus polisi” beberapa waktu yang lalu misalnya. Budaya tanding sejatinya telah amat lama ditinggalkan, dan berubah menjadi budaya mengonsumsi.
Pada situasi dunia seperti saat ini, poster Sex Pistols lusuh dengan wajah Johnny Rotten yang sangar di pinggir jalan raya Jatinangor di awal tulisan menjadi saksi bisu bahwa “yang dia saksikan” sekarang bukan lagi counter-culture, melainkan consumer culture.
Jatinangor, 4 Juni 2025
...
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB