• Berita
  • Pameran Red RAWS Center Pasar Antik Cikapundung: Mengkritik Estetika Kolonial lewat Lensa Punk dan Zine, Berani Jelek adalah Pemberani

Pameran Red RAWS Center Pasar Antik Cikapundung: Mengkritik Estetika Kolonial lewat Lensa Punk dan Zine, Berani Jelek adalah Pemberani

Salah satu lorong Pasar Antik Cikapundung menjadi ruang ekspresi visual yang liar, kritis, dan membongkar definisi estetika yang dipaksakan pasar seni selama ini.

Penampilan Pantomim Wanggi Hoed dalam Acara Peluncuran Foto Zine Karya Wahyu Dian di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 12 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)

Penulis Selsha Septifanie Gunawan16 Mei 2025


BandungBergerak.idDi antara deretan kios tua dan tembok yang mulai kusam Pasar Antik Cikapundung, Bandung, Red RAWS Center menggelar showcase dan peluncuran foto zine karya Wahyu Dhian. Menempati sudut lantai tiga dengan warna dinding merah mencolok, Red RAWS Center memamerkan gagasan bahwa zine dan fotografi sebagai medium perlawanan terhadap definisi estetika kolonial yang berlaku sampai saat ini.

Dinding lorong dilukis ilustrasi dan tulisan tangan tak beraturan, dominan warna kuning dan hitam. Pameran dibuka dengan diskusi bertajuk "Foto Zine: Punk, Fotografi, dan Resistensi", dengan narasumber Wahyu Dhian sebagai seniman zine dan fotografer, bersama penulis Adam Sudewo, seniman visual Yadi Suryadi, dan Andy Waluya Wartja sebagai pemantik.

Adam, melalui tulisannya yang turut dimuat dalam zine, melihat bahwa zine adalah bentuk protes terhadap rezim estetika kolonial yang menetapkan batasan antara “baik” dan “buruk” dalam seni visual. Pakem ini justru menjauhkan seniman dari kebebasan berkarya.

Ia menyebut karya Wahyu Dian membuka kemungkinan baru dalam memaknai visual: membebaskan pembuat maupun penikmatnya dari pakem formalistik yang selama ini diwariskan melalui pendidikan dan pasar seni.

Zine karya Wahyu memuat foto-foto yang tidak mengikuti kaidah visual arus utama. Dicetak di atas kertas HVS kuning ukuran A5 tanpa penjilidan, zine ini tidak memiliki nomor halaman atau paragraf yang rapi. Semua itu disengaja untuk membuka kemungkinan pembacaan yang tidak linier dan lebih interpretatif. Di salah satu halamannya tertulis slogan yang menggetarkan: “Berani jelek adalah pemberani.”

“Karena bacanya juga tidak seperti buku-buku biasanya, kamu bisa mulai dari halaman awal atau akhir. Bentuknya memang memungkinkan pembacaan yang bebas. Dari penglihatan aku, RAWS menjawantahkan itu semua supaya kita bisa membaca secara lebih kritis dan mendalam,” ujar Andy Waluya Wartja, seniman visual dan pemantik diskusi, tentang pendekatan format zine ini.

Andy juga menjelaskan bahwa "punk photography", istilah yang digunakan untuk pendekatan seperti ini, merupakan upaya mengolah kembali tatanan fotografi yang baku. “Pada akhirnya tatanan-tatanan baku di dunia fotografi bukan diselewengkan, tapi diolah menjadi sesuatu yang baru. Sesuatu yang sederhana tapi menarik,” ujarnya.

Menurutnya, prinsip-prinsip punk photography mendorong siapa pun untuk berkarya tanpa tunduk pada standar estetik kolonial yang mapan, yang kerap tak disadari masih kita konsumsi hari ini.

Rangkaian acara tak berhenti pada diskusi. Wanggi Hoed, seniman pantomim, menyuguhkan penampilan interaktif di lorong pasar. Tubuhnya menjadi kanvas yang terbuka bagi kamera pengunjung. Penonton diminta memotretnya saat ia bergerak, menangkap tubuh sebagai objek yang dapat ditafsir dan didokumentasikan secara bebas. Performans ini menggambarkan relasi terbuka antara subjek dan penonton, serta menjadi metafora tentang siapa yang berhak mendefinisikan nilai estetis dalam seni.

Baca Juga: PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong
Merayakan Kemenangan ala Riverside Forest, Klub Sepak Bola Punk Bandung
Transparansi Keuangan ala Klub Sepak Bola Punk Football Riverside Forest FC

Acara Peluncuran Foto Zine Karya Wahyu Dian di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 12 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)
Acara Peluncuran Foto Zine Karya Wahyu Dian di Pasar Antik Cikapundung, Bandung, 12 Mei 2025. (Foto: Selsha Gunawan/BandungBergerak)

Zine ini tidak lahir dari ruang hampa. Red RAWS Center, yang menjadi penyelenggara acara, adalah bagian dari Raws Syndicate—kolektif fotografi yang berdiri di Bandung sejak 2012. Raws Syndicate adalah ruang kolektif yang memadukan kerja fotografi dengan riset dan pengembangan gagasan visual di luar arus utama. Mereka bukan hanya mendokumentasikan, tetapi menciptakan sistem baru dalam memproduksi pengetahuan visual.

Punk photography yang ditawarkan Wahyu Dhian lewat zinenya, menurut Andy, adalah bentuk perlawanan yang relevan. “Bayangkan kalau di dunia ini tidak ada gerakan yang melawan. Kita akan terus saja mengonsumsi sesuatu yang kita sendiri tidak tahu arahnya akan dibawa ke mana oleh pasar,” kata Andy.

Ia menekankan bahwa keberanian untuk berkarya, terutama di luar sistem yang mapan, adalah hal esensial. Karya visual tidak perlu dibebani oleh standar teknis atau estetika yang dibentuk oleh sejarah kolonial dan dominasi pasar.

Showcase dan peluncuran zine di Red RAWS Center membuktikan bahwa seni bisa hadir di mana saja termasuk di lorong pasar, dari warna mencolok dan bentuk yang tak rapi serta menjebol batasan-batasan formal. Namun justru di sanalah ia membebaskan: menciptakan ruang tanding terhadap tatanan estetika yang telah lama membungkam keberagaman bentuk dan suara.

Melalui zine ini, punk photography hadir bukan sebagai gaya, tapi sebagai sikap, serta menentang sistem. Kredo ‘berani jelek’ maupun ‘make ugly great again’ yang tersemat di dalam zine merupakan buah pikiran dari punk photography itu sendiri.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lainnya tentang KOMUNITAS DI BANDUNG dalam tautan tersebut

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//