• Komunitas
  • PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong

PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong

Raws Syndicate mencoba memadukan model bisnis mandiri dengan gerakan kolektif untuk membentuk ekosistem fotografi.

Pegiat Raws Syndicate di Red Raws Center di lantai tiga Gedung Pasar Antik Cikapundung, Braga, Bandung. (Foto: Dokumentasi Raws Syndicate)

Penulis Delpedro Marhaen25 Januari 2023


BandungBergerak.id—Sebuah kios bercat merah tampak mencolok di antara kios-kios yang menjajakan barang antik di lantai tiga Gedung Pasar Antik Cikapundung, Braga. Dinding di sisi kiri kios itu dipenuhi berbagai poster propaganda mengenai fotografi, salah satunya bertuliskan “Lawan Kolonialisme Fotografi”. Di bagian tengah menyuguhkan berbagai foto yang dicetak di kertas berukuran A3, sementara belasan zine foto tersusun pada rak yang menempel pada salah satu dindingnya.

Kios merah berukuran tak lebih dari 5x5 meter persegi itu dikenal sebagai Red Raws Center. Sebuah toko buku foto dan kopi, sekaligus menjadi ruang terbuka bagi para fotografer dan komunitas fotografi di kota Bandung berkumpul. Berbagai pameran foto, diskusi hingga kelas fotografi rutin di adakan di sana setiap bulannya.

Ruang tersebut diinisiasi oleh Raws Syndicate. Sebuah perkumpulan fotografi di kota Bandung yang sudah berdiri sejak tahun 2012. Perkumpulan yang memadukan model bisnis mandiri dengan gerakan kolektif untuk membentuk ekosistem fotografi, sekaligus sebagai tempat pengembangan dan penelitian di bidang fotografi.

“Yang kita buat sebenarnya bukan komunitas. Susah mencari kata yang tepatnya, tapi kurang lebih bisa dibilang sebagai fasilitator di bidang fotografi. Ada berbagai movement yang dilakukan untuk memfasilitasi bidang fotografi,” kata Baskara Puraga, Editor Foto Raws Syndicate, kepada BandungBergerak.id, Senin, 16 Januari 2023.

Kegiatan Raws Attack Class, misalnya, sebuah kegiatan kelas fotografi non-teknis yang terbuka untuk umum dan gratis. Kelas tersebut diadakan selama tiga bulan dengan mentornya para fasilitator Raws. Setelah mengikuti rangkaian kelas, peserta diminta membuat pameran fotonya sendiri.

Kemudian ada Raws Publisher, inisiatif lain untuk mendukung ekosistem fotografi. Sebuah penerbit yang berfokus pada publikasi buku foto atau zine foto dari berbagai aliran fotografi, bahkan karya foto yang sangat personal sekalipun. Berbagai buku foto sudah diterbitkan Raws Publisher, antara lain Merajut Halaman karya Kolektif Kelas Selasar, Urban Forest karya Dendy Firmansyah, Three Photos Left karya Yoese Mariam dan zine foto bertajuk “MakePhotoZineGreatAgain”.

Raws juga menggagas perpustakaan fotografi keliling. Di mana para fasilitator Raws berkeliling untuk menjajakan koleksi buku foto di berbagai kesempatan acara, sekolah, maupun tempat umum lainnya. Tujuannya untuk memperkenalkan literasi visual, khususnya buku fotografi pada masyarakat umum.

“Kita ingin mendukung ekosistem fotografi di Indonesia biar lengkap karena yang kita lihat dan sadari ekosistem fotografi Indonesia, khususnya di fotografi yang sifatnya karya masih sangat lemah. Banyak sisi-sisi yang tidak digarap, banyak sisi yang bolong. Jumlah fotografernya sangat banyak dan memiliki karya tetapi bingung untuk diapakan,” kata Puraga.

Raws juga mengadakan festival fotografi tahunan bertajuk “Bandung Photography Month” yang sudah berjalan tujuh tahun. Festival yang diadakan saban Oktober setiap tahunnya ini diupayakan sebagai cara untuk menguatkan ekosistem fotografi. Festival ini juga ditujukan sebagai kritik pada ruang publik di kota Bandung yang kian terbatas dan sulit diakses oleh semua orang.

Poster yang terpasang di depan Red Raws Center. Toko buku foto, kopi, dan tempat berbagai kegiatan fotografi diselenggarakan. (Foto: Delpedro Marhaen/BandungBergerak.id)
Poster yang terpasang di depan Red Raws Center. Toko buku foto, kopi, dan tempat berbagai kegiatan fotografi diselenggarakan. (Foto: Delpedro Marhaen/BandungBergerak.id)

Baca Juga: PROFIL RUMAH CEMARA: Berjuang untuk Indonesia Tanpa Stigma
PROFIL TRANSPORTFORBANDUNG: Sukarela Membenahi Transportasi Publik
PROFIL BIKE TO WORK BANDUNG: Menggerakkan Warga Bersepeda
PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan

Mengisi Peran Lain

Editor Foto Raws Syndicate, Baskara Puraga mengatakan, ekosistem fotografi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Kebutuhan akan editor foto, misalnya, yang jumlahnya masih terbilang sedikit. Disusul dengan terbatasnya penerbit dan toko buku foto yang jumlahnya bisa dihitung jari.

Ketiadaan ekosistem fotografi itulah yang membuat publikasi seperti buku foto menjadi terbatas, dan minimnya pengetahuan literasi visual masyarakat. Kemudian berdampak pada akses pada karya-karya foto, utamanya buku foto yang terhitung mahal dan tidak bisa dijangkau oleh semua orang.

Raws mencoba mengambil peran itu. Salah satunya dengan ‘membumikan’ buku foto tersebut pada semua kalangan masyarakat agar literasi terkait visual bisa dinikmati oleh semua orang.

“Kita coba sebarkan literasi visual itu ke semua orang. Kita anggap semua orang berhak menikmati. Hal-hal semacam itu yang coba kita lakukan. Jadi kita sadar kalau yang berkarya itu banyak, tetapi setelah berkarya mau diapakan dan peran-peran lain yang mendukung itu yang tidak ada. Kita merasa ekosistem di fotografi masih lemah dan kita coba menambal itu,” ungkapnya.

Puraga mengatakan, fotografer di Indonesia kerap kesulitan untuk memamerkan karyanya karena keterbatasan profesi dan peran pendukung lainnya. Fotografer cenderung melakukan sendiri segala hal mulai dari persiapan hingga pelaksanaan pameran. Padahal ekosistem fotografi yang baik seperti di Amerika Serikat, Prancis dan Jepang sudah memiliki peran pendukung yang lengkap sehingga fotografer hanya tinggal berkarya.

“Kadang kita membutuhkan masukan dan pandangan dari profesi lain. Selain udah capek berkarya, dan harus terus melakukan itu sendiri. Kita rasa itulah kelemahan ekosistem fotografi,” ungkapnya.

Suasana kegiatan workshop di Red Raws Center. Workshop ini diadakan oleh Raws Syndicate (Foto: Dokumentasi Raws Syndicate).
Suasana kegiatan workshop di Red Raws Center. Workshop ini diadakan oleh Raws Syndicate (Foto: Dokumentasi Raws Syndicate).

Isu yang Diangkat

Tidak ada isu khusus yang diangkat dalam karya foto yang diterbitkan Raws Syndicate. Mulai dari tema yang umum dan menyangkut persoalan publik, hingga yang sangat personal sekali. Intinya, setiap karya foto yang disajikan dapat dirangkai dan menjadi sebuah cerita, berat ataupun ringan cerita tersebut tidak jadi masalah.

“Kita pasti kerjakan dan dukung dengan segala kemampuan yang kita punya. Kekuatan fotografi itu kekuatan yang nyata dan punya potensi yang besar,” ungkap Puraga.

Persoalan personal antara hubungan pengkarya dengan ayahnya yang sudah meninggal, misalnya, pernah diterbitkan oleh Raws Syndicate. Cerita fotonya mengenai keinginan dirinya untuk berdamai dengan sang ayah yang sudah meninggal. Karya tersebut dipergunakan sebagai sarana menyalurkan isi hati, sekaligus terapi.

Persoalan yang mengangkat isu lingkungan pun pernah diterbitkan Raws Syndicate. Salah satu mahasiswa magang dari ISI Bali membuat sebuah buku foto mengenai isu lingkungan di Tabanan, Bali. Ceritanya mengenai sebuah kawasan pertanian yang semakin tergerus pembangunan resor, vila, dan pariwisata lainnya.

Fotografi sebagai Terapi

Raws Syndicate menyediakan sebuah layanan ‘curhat’ melalui medium fotografi yang nantinya dituangkan dalam sebuah karya foto. Kegiatan menjadikan fotografi sebagai terapi untuk bercerita itu dikenal sebagai photo therapeutic. Terapi ini berawal dari kelas fotografi ketika masa pandemi Covid-19 berlangsung.

“Banyak dari peserta kelas yang sulit berkomunikasi mengenai masalah yang dihadapinya, kemudian dapat berkomunikasi melalui visual, salah satunya dengan fotografi,” kata Fasilitator Raws Syndicate, Grace Ananta.

Grace sendiri mengaku menggunakan medium fotografi untuk terapi. Ia menggunakannya untuk menceritakan hal-hal yang sulit untuk dibagikan secara verbal, sehingga menggunakan fotografi untuk mengekspresikan. Ia meyakini setiap orang punya metode tersendiri dalam mengekspresikan diri untuk menceritakan hal yang sulit.

“Jadi kita punya inisiasi mengadakan kegiatan Walking with Raws ketika masa pandemi diperbolehkan keluar. Kita mengajak teman-teman Raws untuk memotret sekitar rumah. Ternyata kegiatan itu merupakan bagian dari photo therapeutic. Kemudian setelah diwawancarai satu-satu, mereka merasakan hal yang baik,” kata Grace.

Aktivitas itu kemudian digarap serius dengan membentuk satu divisi yang secara khusus mengkaji photo therapeutic. Divisi ini membantu siapa pun dengan bercerita melalui kegiatan Talking with Raws setiap Selasa dan Kamis. Kemudian apabila membutuhkan pendampingan khusus akan diarahkan ke psikolog.

Dengan semangat yang terus diusung Raws Syndicate, harapannya ekosistem fotografi di Indonesia terus membaik. Tugas menambal ekosistem tersebut bukan hanya semata-mata mengisi yang kosong atau belum tergarap, lebih dari itu mereka memaknai pesan bahwa ‘Fotografi Tidak Hanya Sekedar Memotret’.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//