Setelah September Hitam, Ingatan tentang Pelanggaran HAM tidak Boleh Padam
Aksi teatrikal di peringatan September Hitam di Tugu Makalangan Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor.
Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 3 Oktober 2025
BandungBergerak - Rombongan orang muda mengenakan pakaian hitam dan berpayung hitam bergerak dari arah Bale Santika menuju Tugu Makalangan Universitas Padjadjaran (Unpad), Jatinangor, Selasa malam, 30 September 2025. Mereka membawa lilin yang menyala sebagai simbolis menuju ruang ingatan dan luka. Setiap kali lilin padam mereka berhenti sejenak untuk menyalakannya.
Di tengah perjalanan, sebuah adegan mengejutkan muncul. Seorang pemuda tampak berdiri dengan mata tertutup kain hitam, tubuhnya diam, mulutnya bersuara. Tiba-tiba, seorang pria berperan sebagai aparat muncul, teriakannya memecah udara.
“Sini kamu, jangan melawan!” tangannya menarik tubuh pemuda itu, menyeret paksa di hadapan semua orang. Adegan itu memperkeruh suasana. Sorak protes penonton tidak ada di sini, yang ada hanya detak jantung yang semakin tinggi temponya.
Rombongan akhirnya tiba di pekarangan Tugu Makalangan. Payung-payung hitam itu tetap dibuka, lalu diletakkan rapi seakan menjadi pagar simbolis di tepi ruang. Di tengah, telah berdiri sebuah replika kuburan, lengkap dengan nisan-nisan kecil yang bertuliskan nama-nama yang pernah direnggut aparat negara. Munir. Affan Kurniawan. Tragedi Kanjuruhan. Tragedi Semanggi. Pendeta Yeremia, dan masih banyak nama korban-korban pelanggaran HAM yang hingga hari ini tidak pernah mendapatkan keadilan.
Satu per satu lilin dinyalakan di atas nisan. Cahaya kecil berkelip dalam gelap di Tugu Makalangan.
Dari barisan depan, seorang perempuan melangkah maju. Wajahnya termenung lesu, sorot matanya kosong seperti menyimpan nestapa. Ia mulai berteriak, suaranya serak sembari memecah keheningan.
“Di mana anak saya?! Di mana anak saya?!”
Tangannya gemetar, matanya mencari-cari. Ia mendekati penonton, satu per satu wajah disapunya dengan tatapan putus asa. Bahkan ia berhenti tepat di depan seorang penonton, menatap tajam, lalu bertanya dengan suara yang bergetar.
“Apakah kamu melihat anak saya?”
Adegan itu membuat batas antara panggung teatrikal dan penonton lenyap. Semua yang hadir seolah ditarik masuk menjadi bagian dari kehilangan yang tak pernah usai.
Dalam suasana mencekam, seorang laki-laki maju untuk berorasi. Kata-katanya penuh amarah, menyebut keadilan yang dirampas, menyebut kekuasaan yang membungkam. Namun suaranya tidak dibiarkan lama.

Dari sisi lain, seorang aparat mendekat, menutup mulutnya dengan tangan kasar, lalu menyekap tubuhnya. Laki-laki itu berusaha meronta, tetapi suaranya hanya menjadi gumaman tercekik. Tidak cukup di situ, tubuhnya disiram air, entah apa air. Penonton terdiam, keheningan penonton justru membesarkan bunyi kekerasan di teatrikal ini.
Dari arah lain, seorang perempuan muncul dengan gerakan berbeda. Ia tidak berbicara, tubuhnya yang berbicara. Ia menari dalam gaya eksperimental, gerakannya liar, penuh hentakan, lalu berubah lambat dan lunglai.
Dengan tubuhnya perempuan itu menyapu, menendang, dan mengacak-ngacak payung-payung hitam yang sebelumnya tersusun rapi. Suara payung jatuh berserakan menambah dramatis. Simbol keteraturan yang telah dijaga, kini berantakan, seakan mencerminkan betapa rapuhnya perlindungan rakyat di bawah negara. Gerakan tari malam itu adalah ledakan perasaan, marah, sedih, putus asa, sekaligus perlawanan yang tak bisa dibungkam.
Seluruh rangkaian teatrikal itu membangun satu kesadaran kolektif. Bahwa pembungkaman, penculikan, dan pembunuhan atas nama negara bukan cerita masa lalu, melainkan ingatan yang terus menghantui hingga kini. Setiap lilin yang menyala di atas nisan, setiap teriakan ibu yang kehilangan anaknya, setiap mulut yang disekap, dan setiap payung hitam yang berserakan adalah simbol yang berbicara lebih keras dari kata-kata.
Baca Juga: Membangun Kesadaran HAM di Kalangan Pelajar Bandung
Menakar Ulang Komitmen Bandung yang Mendaku Kota Ramah HAM

Ingatan tidak Padam
Raka Ananta, Ketua Bidang Dinamisasi Kampus dan Kebijakan Publik (DKKP) BEM Unpad mengatakan, aksi ini merupakan bentuk akumulasi dari peringatan September Hitam yang selalu dikaitkan dengan berbagai pelanggaran HAM.
“September itu selalu penuh dengan kehitamannya. Dari awal sampai akhir, tercatat banyak pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan hingga hari ini,” ujarnya.
Raka menegaskan, meski bulan berganti, ingatan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM tidak boleh padam. Negara dinilai masih abai dalam memberikan kejelasan dan masih melindungi pelaku pelanggaran HAM. Melalui aksi ini, BEM Unpad berharap pesan perlawanan dapat meluas dari lingkungan kampus hingga ke seluruh negeri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp BandungBergerak