Menakar Ulang Komitmen Bandung yang Mendaku Kota Ramah HAM
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia banyak terjadi di masyarakat akar rumput yang mencari keadilan. Terkait dengan kemiskinan dan ketidakmampuan.
Penulis Olivia A. Margareth30 Mei 2025
BandungBergerak.id - Sepuluh tahun telah berlalu sejak Bandung dinobatkan sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM) dan merumuskan Piagam HAM. Apakah semangat tersebut masih menyala dalam implementasi nyata di kehidupan sehari-hari warganya? Pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Pemenuhan HAM Menuju Bandung Inklusif” yang dilaksanakan di Perpustakaan Bunga di Tembok, Bandung, Senin, 26 Mei 2025.
Diskusi yang diselenggarakan Koalisi Pemenuhan Hak Asasi Manusia (KoPenHAM) menjadi tempat bertemu antara pemangku kebijakan dan masyarakat sipil untuk menelaah situasi HAM di Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat.
Dialog yang dipandu oleh Putri Nabila ini menghadirkan dua narasumber utama, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat Hasbullah Fudail, serta Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) Jawa Barat, Astro.
Hasbullah menekankan, Kanwil HAM memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam ranah administratif, tetapi juga substantif dalam menegakkan hak-hak warga. Ia menyebutkan beberapa kasus aktual yang ditangani lembaganya. Mulai dari pengeroyokan wartawan di Subang, kekerasan seksual oleh tenaga medis, hingga PHK massal pekerja pabrik sebagai gambaran situasi HAM yang menjadi perhatian.
Sementara itu, Astro dari PBHI menyampaikan potret realitas HAM dari perspektif masyarakat akar rumput. Ia menyoroti pentingnya memahami siapa yang paling terdampak dalam gagalnya pemenuhan HAM yang ia sebut sebagai pencari keadilan.
Menurut Astro, pencari keadilan adalah individu atau kelompok yang sedang menghadapi persoalan hukum dan berusaha mencari penyelesaian yang adil. Dalam hal ini erat kaitannya dengan kemiskinan dan ketidakmampuan.
“Masyarakat mungkin tidak miskin, tapi dia tidak mengetahui cara menyelesaikan persoalan,” ucap Astro.
Ketidakmampuan dalam konteks ini dikaitkan dengan ketidaktahuan untuk mendapatkan keadilan. Ia mengisahkan pengalamannya lima tahun terakhir dalam mendampingi berbagai kasus. Banyak warga yang tidak tahu bahwa mereka bisa menolak PHK sepihak, melaporkan pelecehan, atau menuntut hak atas pelayanan kesehatan dan pendidikan yang layak. Karena itu, PBHI memposisikan bantuan hukumnya bukan hanya sebagai layanan teknis, tetapi sebagai bentuk keberpihakan—menemani warga dalam upaya memperjuangkan hak mereka.
Upaya mencari keadilan ini kerap terbentur oleh kesalahpahaman mengenai hak asasi manusia yang dianggap sebagai ancaman. Astro secara tegas mengkritik cara sebagian institusi memaknai hak asasi sebagai sesuatu yang mengganggu. Ia menyebut bahwa dalam praktiknya, orang yang menuntut hak atau menyuarakan keluhan dianggap tidak dewasa bahkan dicap mengganggu ketertiban.
“Kalau ada warga yang menuntut haknya, itu dianggap enggak dewasa. Akhirnya (tuntutan) itu diabaikan. Karena hak asasi dianggap sebagai ancaman. Ini perspektif yang keliru,” tegas Astro.
Baca Juga: Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Kaum Marginal di Jawa Barat Belum Prioritas
Hak Asasi Manusia, Sebuah Hegemoni

Sebagai contoh, ia menceritakan pengalaman mendampingi petani hutan yang melakukan aksi di halaman Mapolres Bandung. Menurut Astro, melakukan aksi adalah bagian dari hak asasi berpendapat di muka umum yang dijamin secara konstitusional. Ketika suatu institusi berperspektif hak asasi sebagai gangguan, hal tersebut mencerminkan rendahnya kapasitas negara dalam menghormati hak warganya.
Melihat adanya kekeliruan cara pandang ini, Astro dengan berani menyebut cita-cita besar seperti “Indonesia Emas 2045” berpotensi hanya menjadi slogan. “Karena kemajuan bangsa sangat ditentukan oleh cara kita menghormati dan melindungi hak asasi manusia,” katanya.
Setelah pemaparan materi dari kedua narasumber, sesi tanya jawab juga mengangkat berbagai pertanyaan penting: Bagaimana menyatukan persepsi antar lembaga pemerintahan soal HAM? Bagaimana tindak lanjut konkret bagi korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat? Dan bagaimana memastikan kebebasan berekspresi tidak terus-menerus ditekan oleh dalih "ketertiban umum"?
Diskusi ini menunjukan bahwa masih ada kesenjangan antara deklarasi normatif dan realitas pelaksanaan HAM di lapangan. Kota Bandung, meski memiliki piagam HAM, masih harus berhadapan dengan fakta bahwa Jawa Barat adalah provinsi dengan kasus pelanggaran HAM terbanyak kedua secara nasional.
Pada akhirnya dialog ini membuka ruang refleksi dan percakapan antara warga dan negara. Sebab, seperti dikutip Astro dari Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, “Dalam sejarah bangsa Indonesia, upaya penegakan dan perlindungan HAM telah mengalami pasang surut. Pada suatu masa berhasil diperjuangkan, pada masa lain dikalahkan oleh kepentingan kekuasaan.”
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp BandungBergerak