• Berita
  • Aksi Solidaritas di Polresta Bandung, Menyerukan Penolakan Kriminalisasi Petani Hutan

Aksi Solidaritas di Polresta Bandung, Menyerukan Penolakan Kriminalisasi Petani Hutan

Fikri Khalid, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gambung yang dipanggil polisi, melakukan penyadapan getah pinus dengan persetujuan resmi dari KLHK.

Solidaritas Petani yang tergabung dalam Aliansi TAPAK melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi petani di Polresta Bandung. Kamis, 17 April 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 April 2025


BandungBergerak.id – Sejumlah petani dan berbagai elemen masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Tim Advokasi Areal Kawasan Hutan atau TAPAK Melawan menggelar aksi solidaritas di depan Mapolresta Bandung, Kamis, 17 April 2025. Aksi ini sebagai bentuk penolakan terhadap dugaan kriminalisasi yang dialami oleh Fikri Khalid, seorang petani asal Gambung, Ciwidey, Kabupaten Bandung.

Fikri Khalid, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Gambung, diduga melakukan tindak pidana karena memanen hasil hutan berupa getah pinus di kawasan hutan negara tanpa izin resmi. Ia dituding melanggar ketentuan hukum terkait pengambilan hasil hutan tanpa hak atau persetujuan dari pejabat berwenang.

Dalam aksi solidaritas tersebut, massa membawa spanduk dan poster bertuliskan pesan-pesan perlawanan. Di antaranya bertuliskan, "Solidaritas Petani Hutan, Stop Kriminalisasi Petani Hutan," dan "Aing nu melak, aing nu ditewak." Sebuah tulisan lain yang bernada doa juga tampak, “Semoga hari ini lancar, aamin.”

Fikri menegaskan bahwa aktivitas penyadapan getah pinus yang ia lakukan berada di kawasan hutan yang telah dikelola Gapoktan Gambung, dengan persetujuan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kelompoknya telah menjalankan program perhutanan sosial yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar melalui pengelolaan hasil hutan seperti kopi dan getah pinus.

“Gapoktan Gambung mengelola masyarakat sekitar petani hutan yang berbasis berkebun kopi. Biar menaikkan taraf hidup mereka, maka Gapoktan Gambung mengelola getah pinus. Tapi itu juga di lahan-lahan yang telah disetujui kementerian,” ujar Fikri kepada BandungBergerak, Kamis, 17 April 2025.

Ia juga menyampaikan bahwa pelaporan terhadap dirinya dilakukan oleh pihak perorangan, meski mengatasnamakan instansi resmi. Fikri menduga ada pihak yang tidak ingin petani hutan mengelola hasil hutannya sendiri.

“Terkait dengan getah pinus, mereka tidak ingin masyarakat mengelola getah pinus sendiri, tidak ingin masyarakat sejahtera. Mereka berstrategi melaporkan petani hutan ke Polresta Bandung,” lanjut Fikri.

Pemanggilan terhadap petani bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, lima petani lainnya juga dipanggil oleh kepolisian dengan dugaan pelanggaran serupa. Namun, hingga kini tidak ada kejelasan lebih lanjut terkait kasus tersebut.

“Kasus pertama belum tahu kejelasannya seperti apa, laporan selalu atas nama pribadi,” kata Fikri.

Baca Juga: Optimisme Panen Padi Jawa Barat Ketika Para Petani Sulit Mendapatkan Pupuk Murah
Data Jumlah Petani di Kota Bandung 2010-2021, Saat Ini Tersisa 706 Orang
Komunitas Orang-orang Muda yang Bertani

Solidaritas Petani yang tergabung dalam Aliansi TAPAK melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi petani di Polresta Bandung. Kamis, 17 April 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)
Solidaritas Petani yang tergabung dalam Aliansi TAPAK melakukan aksi solidaritas tolak kriminalisasi petani di Polresta Bandung. Kamis, 17 April 2025. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak)

Petani Hutan Menghidupkan Kawasan Hutan

Dedi Junaedi, perwakilan dari Asosiasi Pengelolaan Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) Jawa Barat, menilai bahwa para petani hutan kerap menjadi korban kriminalisasi meski mereka berkontribusi besar terhadap pelestarian hutan.

“Kalau dianalisa secara baik, mereka penghasilannya sangat jauh dari UMK dan UMR. Harusnya, pemerintah berterima kasih pada petani ini. Belum lagi mereka yang menghijaukan kawasan hutan. Mereka itu yang penting didampingi secara baik,” jelas Dedi.

Ia berharap, izin pengelolaan yang telah diberikan kepada masyarakat benar-benar direalisasikan secara penuh oleh pemerintah, bukan setengah hati.

“Ketika masyarakat dikasih izin pengelola, udah kasih semua. Saya melihat ini ada kriminalisasi terhadap petani hutan, karena petani hutan itu gak ngerti terkait hukum. Yang dimengerti kan bagaimana bisa hidup hari ini dan esok,” tambah Dedi.

Pelaporan Dinilai Sebagai Bentuk Pembungkaman

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Jawa Barat turut menyoroti persoalan ini. Deti, perwakilan dari PBHI Jabar, menilai pemanggilan terhadap Fikri masih berada dalam tahap penyelidikan, namun seharusnya bisa dihentikan karena tuduhan terhadapnya tidak berdasar.

"Tidak berdasar dan merupakan bentuk kriminalisasi, tidak hanya pada Fikri tapi pada petani hutan secara umum," kata Deti.

Padahal para petani hutan sudah lama menanam, merawat pohon pinus, dan hutan secara keseluruhan. Para petani hutan memanfaatkan hasil hutan untuk bertahan hidup sehari-sehari.

Deti menegaskan, para petani yang mengelola getah pinus bukanlah petani ilegal, melainkan petani legal yang telah memiliki surat keputusan (SK) pengelolaan kawasan hutan dan membayar pajak [Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)].

"Logikanya, dengan melihat kondisi di atas, apa pantas petani hutan dikenakan pidana, yaitu disebut penjahat atau pencuri? Sama sekali tidak layak dan ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap para petani hutan," ujar Deti.

Sementara itu, Kapolresta Bandung Kombes Pol Aldi Subartono menampik tudingan adanya kriminalisasi terhadap petani. Ia menyatakan bahwa proses penyelidikan masih berjalan sebagaimana mestinya.

"Tidak ada upaya kriminalisasi, semuanya aman terkendali," ujarnya singkat saat dihubungi BandungBergerak melalui pesan singkat, Jumat, 18 April 2025.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Muhammad Akmal Firmansyahatau artikel-artikel lain tentang Petani

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//