Komunitas Orang-orang Muda yang Bertani

Di tengah peliknya regenerasi petani di Kabupaten Bandung, ada komunitas yang digerakkan orang-orang muda. Mereka menggarap lahan untuk merawat tradisi agraria.

Komunitas Kebon Bagea, Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung, menanam padi huma, Senin, 27 Januari 2025 pagi. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam4 Maret 2025


BandungBergerak.idHawa dingin menusuk tulang saat Baris Pangebon bersiap melakukan prosesi ngaeseuk untuk menanam padi huma di mandala, tempat perkumpulan Kebon Bagea, Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Senin, 27 Januari 2025 pagi. Suhu pagi itu menyentuh angka 19 derajat celcius.

Di dapur rumah panggung tiga pemuda tengah menyiapkan sarapan pagi berupa jagung, kacang tanah, pisang tanduk, ubi Cilembu, dan ubi jalar ungu. Makanan tersebut dibawa oleh sejumlah komunitas petani muda dari hasil pertanian yang mereka garap.

Di pelataran rumah panggung bulir bibit padi huma dimasukkan ke sebuah bakul dan ditutupi kain putih. Sementara angklung buhun berukuran besar dibiarkan bersandar di tembok. Sejumlah sesajen tak ketinggalan yang menjadi bagian dari ritual doa sebelum bulir padi huma ditanam ke tanah.

Mereka akan menanam padi huma untuk pertama kalinya di tanah seluas  30 x 5 meter per segi. Tujuan dari penanam ini antara lain untuk memanfaatkan lahan pertanian semaksimal mungkin. Terlebih hasil dari pertanian tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dapur agar tidak bergantung pada komoditi di pasar.

Desa Rawabogo sendiri merupakan daerah perbukitan dengan tinggi 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl). Maka dari itu, tanah di dataran tinggi Ciwidey ini banyak ditanami kebun holtikultura.

Hal ini pula yang menarik komunitas Kebon Bagea mendirikan lingkaran petani orang muda. Selain itu, mereka bertekad untuk menjaga generasi muda di Rawabogo agar terus melanjutkan usaha pertanian.

Komunitas Kebon Bagea merupakan inisiasi dari pasangan suami-istri Arief dan Devi. Sejak tahun 2022 Arief membeli lahan di perbukitan Kampung Legok Kiara, RW 8 seluas 1.500 meter per segi. Ia memanfaatkan lahan ini untuk kebun hortikultura.

Di sana pula banyak orang muda yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat  berkumpul dengan tujuan yang sama, menjadi petani dan merawat tradisi.

Merawat Tradisi Buhun

Bagi orang muda di komunitas Kebon Bagea, bertani tidak sekadar menanam bibit lalu memanennya. Kumpulan orang muda yang berbeda latar belakang pengin menguatkan tradisi buhun, mempertahankan budaya yang kian tahun mulai ditinggalkan.

Arief meyakini sebelum menanam atau memanen  perlu ada ritual atau berdoa untuk meminta izin kepada Yang Maha Kuasa. Termasuk pada elemen yang menyimbolkan aspek kehidupan seperti, air, tanah, sinar matahari, angin, bahkan mikro organisme atau burung-burung. “Dan itu setiap kali mau nanam pasti ada ritual itu,” terang Arief.

Dalam prosesinya, bibit huma tersebut disimpan di atas tanah yang dikelilingi sesajen. Penanaman bibit huma dinamakan mitembeyan atau permulaan. Arief sendiri yang menjadi pemimpin prosesi. Belasan orang muda yang ikut serta dalam prosesi mitembeyan duduk bersila selama prosesi berlangsung. 

Arief mengingatkan selama prosesi doa tidak boleh ada seorang pun yang memotret atau bermain gawai. “Untuk menjaga kesakralan,” ujar Arief saat memberikan arahan sebelum mitembeyan berlangsung. Setelah melakukan arahan para pemuda menundukan kepala kurang lebih 10 menitan.

Padi huma yang disimpan dalam bakul sengaja dioles minyak goreng. “Simbol silih wangikeun antarmakhluk,” terang Arief

Setelah itu Arief menyomot bulir padi dengan kelima jarinya dan diberikan kepada sang istri yang berada di sampingnya. Lalu bibit padi huma tersebut disimpan kembali dan ditutup menggunakan kain putih. Penutupan bulir padi memiliki makna tersendiri sebagai bentuk ruwat atau penjagaan.

Setelah prosesi, giliran sesepuh kampung Legok Kiara melanjutkan sesi berdoa. Upacara semakin khidmat tatkala sepuh yang dipanggil ustaz itu melantunkan doa, seraya berharap dilimpahkan keberkahan saat berkebun dan memanen.

Setelah prosesi selesai para pemuda langsung menanam bulir padi huma ke tanah yang diawali dengan menancapkan tongkat untuk memberi lubang. Para perempuan lalu memasukan bibit padi sebanyak 5-6 biji. Di samping itu, enam pemuda mengiringi penanaman dengan mengalunkan alat musik angklung dan berkeliling kebun.

Seluruh lahan sudah ditanami bibit padi huma saat matahari mencapai puncak. Mereka tinggal menunggu enam bulan ke depan untuk memanen hasil yang ditanam. 

Setelah prosesi tanam selesai, para pemuda melakukan kegiatan berikutnya: makan siang bersama. Nasi liwet, ikan asin, sambal, dan lalapan hasil berkebun menjadi menu utama. Makan bersama atau botram ini merupakan suka cita mereka setelah menanam huma.

Ritual menanam bibit sebetulnya bukan hal baru bagi petani Rawabogo. Oda Hariyanto dan Dame Afrina dalam jurnal berjudul ‘Tradisi Ritual Masyarakat Desa Rawabogo Ciwidey Sebagai Daya Tarik Desa Wisata’ menyebutkan, masyarakat Rawabogo sudah sering melakukan ritual adat.

Jurnal yang diterbitkan tahun 2019 itu menyebut Desa Rawabogo terpilih menjadi salah satu desa wisata dari 10 desa wisata di Kabupaten Bandung karena memiliki potensi yang sangat besar, antara lain; wisata alam, wisata spiritual, wisata budaya, dan wisata kuliner.

Setiap tahunnya masyarakat Rawabogo sering melaksanakan kegiatan tradisi yang dinamakan sawelas sasih atau bulan sebelas. Tradisi tersebut dilakukan dalam penanggalan kalender Sunda yang jatuh pada tanggal 11 Suklapaksa, bulan Badra atau tahun baru Sunda. 

Dalam kegiatan tradisi dan ritual sawelas asih masyarakat menampilkan musik, nyanyian, dan tarian, sebagai rasa syukur kepada Yang Maha Pencipta yang telah memberikan keindahan alam dan kemakmuran kepada masyarakat di Rawabogo Ciwidey. Ritual sawelas asih ini biasanya diadakan di Nagara Padang yang memiliki hamparan bebatuan yang merupakan peninggalan situs megalitik. 

Hal tersebut juga sekaligus upaya untuk melestarikan tradisi Sunda dalam mengungkapkan rasa bersyukur kepada Sang Maha Pencipta. “Desa Rawabogo telah memiliki keunikan dan daya tarik kegiatan perekonomian dan mempunyai potensi untuk dikembangkannya menjadi desa wisata,” papar Oda Hariyanto dan Dame Afrina, dikutip BandungBergerak, Rabu, 12 Februari 2025.

Baca Juga: Dilema Orang-orang Muda Bandung di Bentala Pertanian
Sektor Pertanian Jawa Barat Dianaktirikan Pembangunan, semakin Terpuruk karena Kekeringan
Optimisme Panen Padi Jawa Barat Ketika Para Petani Sulit Mendapatkan Pupuk Murah

Komunitas Kebon Bagea, Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung, menanam padi huma, Senin, 27 Januari 2025 pagi. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)
Komunitas Kebon Bagea, Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung, menanam padi huma, Senin, 27 Januari 2025 pagi. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Gaya Petani Kopi

Prosesi menghuma di Rawabogo diikuti komunitas Sword Stone Farmer (SSF), komunitas petani kopi dari kaki gunung Baros, Banjaran, Kabupaten Bandung. Mereka tidak sekadar berkebun tetapi juga menjadi wadah regenerasi petani muda yang mampu menarik perhatian orang muda di kampungnya.

Sword Stone Farmer baru berdiri sejak tahun 2023. Penggagasnya berjumlah 10 orang. Chandra, salah satu penggagas SSF, menjelaskan cara mereka untuk menarik orang muda terjun menjadi petani kopi ialah dengan pendekatan hobi motor-motoran. 

Dari sana pula gagasan motor-motoran untuk berkebun menjadi salah satu daya tarik bagi orang muda di kampungnya. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar stigma petani yang acap dinilai tidak keren dapat dihilangkan.

Matak ku barudak, khususna [Oleh orang muda khususnya] di FSS jadi si petani teh kudu keren. Kudu gaya weh. Da sarua gawe. Tapi gawena di kebon, tapi angger kudu gaya tong cacaludihan [petani agar dipandang gaya, tidak kotor],” terangnya.

Upaya SSF terbilang berhasil. Sebanyak 10 pemuda sudah ikut serta berkebun di puncak Baros.

"Adi-adi abi ge tertarikna didinya (momotoran). Kanu motor kolot ngarabring ka kebon teh [Adik-adik saya tertarik motor. Suka konvoi ke kebun]," ujar Chandra sambil tersenyum. Mereka membuktikan bahwa bertani bisa menjadi kegiatan yang keren dan tidak kalah menarik dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Chandra juga menjelaskan salah satu alasan terbentuknya SSF karena mereka memiliki kesamaan, yakni bertani kopi. “Alasan dari pendirian ini karena anak-anak itu resep kekebonan atau pepelakan,” jelasnya.

Chandra menyebut program dari terbentuknya SSF ialah untuk mengelola hutan menjadi lahan pertanian kopi. Awal mula terbentuk komunitas ini lantaran ada saudara yang menawarkan lahan pertanian yang tidak terurus di puncak Gunung Baros. Lahan tersebut atas nama kepemilikan bersama Warga Kasepuluhan Cibéong.

Dengan tinggi 1.500 MDPL, menurut Chandra tempat tersebut cocok untuk lahan berkebun. Para petani di sana memang kebanyakan menanam kopi. Akan tetapi kebunnya tidak sampai ke puncak. Maka dari itu, setelah ditawari untuk menggarap lahan seluas enam hektare tersebut, mereka menyanggupi.

Namun, tantangan yang harus dilalui sebelum menanam bibit kopi ialah membabat tumbuhan liar terlebih dahulu. Saat ini SSF sudah berhasil menanam 340 pohon kopi, serta pohon buah-buahan dan tanaman endemik lainnya seperti mala, kihujan, kipancer, kimunding, surian, dan lain-lain. Perkebunan tersebut baru tergarap satu setengah hektar. “Soalnya luas pisan sih,” ujarnya. Bahkan bibit kopinya sudah tumbuh setinggi satu meteran.

Selepas penanaman, tanaman kopi butuh 3-5 tahun untuk siap dipanen. “Tapi kalau misalnya sudah sekali panen bakal cepat. Jadi tiap tahun bakal terus panen,” terangnya.

Saudara Chandra yang menawarkan perkebunan kepada SSF sudah mampu menghasilkan 60-100 kilogram biji kopi dari 300-500 pohon kopi berjenis ceri per sekali panen, dengan masa panen setiap tahunnya tiga bulan. Harga kopi per kilogramnya sebesar 16 ribu rupiah. “Kalau ditotal berarti 160 jutaanlah (rupiah) kalau sekali panen,” ujarnya.

Hasil tersebut diharapkan bisa menarik para petani muda untuk terjun ke dunia pertanian. Selain itu, Chandra dan komunitas Sword Stone Farmer membuktikan bahwa bertani bukanlah pekerjaan ketinggalan zaman. Mereka menunjukkan bahwa pertanian bisa menjadi profesi menjanjikan, keren, dan penuh gaya.

Kendati demikian, mereka juga belajar banyak dari kebun kopi milik saudara Chandra yang berada di bawah bukit. Mereka terus berguru mulai dari pembibitan, merawat, hingga memetik kopi. Seiring berjalannya waktu, Chandra yakin, menjadi petani kopi akan banyak keuntungan setelah memanen.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharamatau artikel-artikel lain tentang Krisis Petani Muda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//