Dilema Orang-orang Muda Bandung di Bentala Pertanian
Banyak faktor yang mencegah orang-orang muda di Kabupaten Bandung terjun ke pertanian, dari keterbatasan lahan hingga kebijakan pemerintah yang kurang mendukung.
Penulis Yopi Muharam4 Maret 2025
BandungBergerak.id - Jarum jam dinding menunjuk ke angka 6. Pagi itu Anang Hidayat (55 tahun) bersiap menuju kebun di kampung sebelah. Bersama sang istri, Anang menaiki sepeda motor tuanya menuju kebun yang sedang ditanam cabai, pecay, dan seledri.
Beberapa hari ke depan mereka akan segera panen. Tanamannya sudah ditanam sejak dua-empat bulan lalu. Di tanah milik negara, Perhutanan Sosial (Perhutsos), Anang menggarap lahan pertanian seluas 2.800 meter per segi. Tanah yang berada di perbukitan daerah Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung itu digarap bersama dengan petani lainnya.
Sejak umur 15 tahun, Anang sudah bertani mengikuti jejak orang tuanya. Kini dia melanjutkan bekal yang diberikan orang tuanya itu untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Setelah lulus sekolah dasar, Anang sudah berkeyakinan untuk menjadi petani.
“Kan biasa kalo di kampung mah, tamat SD paling, langsung bertani,” ujarnya kepada BandungBergerak setelah dia membersihkan diri dari berkebun, Senin, 27 Januari 2025 petang.
Di perbukitan yang ditanam banyak tumbuhan itu, terdapat tanaman kopi juga mengingat kebutuhan pasar akan biji hitam sangat besar.
Menggarap di tanah milik Perhutanan Sosial tentu tidak gratis. Setiap tahunnya Anang harus merogoh kocek 200 ribu rupiah untuk berbagi keuntungan. Akan tetapi pembagian itu hanya dikhususkan untuk perkebunan kopi saja.
Saat ini, Anang dan beberapa petani juga sedang gencar menanam cabai. Harga cabai di pasaran sedang melambung tinggi. Satu kilogram cabai bisa mencapai 70 ribu rupiah; harga yang menguntungkan bagi para petani. Anang menanam cabai sejak empat bulan lalu dan kini sudah memasuki masa panen. Dalam sebulan dia akan memanen cabai sebanyak empat kali.
Setiap harinya Anang bertani sejak pagi dan pulang paling awal saat bedug ashar atau paling telat sebelum bedug maghrib. Di kalangan pertanian istilah bedug digunakan sebagai pertanda jam istirahat dan waktu untuk pulang.
Hal berbeda dirasakan oleh petani lainnya, seperti Ikah yang selalu pulang setelah bedug ashar. Di rumahnya yang berhadapan dengan kebun teh, Ikah sudah terlihat rapi dengan daster motif bunganya. Ikah bertani di tanah milik warisan orang tuanya seluas kurang lebih 2.000 meter per segi.
Ikah tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Sejak kecil dia mengikuti jejak orang tuanya yang sudah lama bertani. “Kan ibu mah dulu enggak sekolah jadi langsung aja ke kebun,” ungkapnya, ditemani sang anak.
Sejak tahun lalu, Ikah bertani seorang diri. Suaminya telah meninggal. Sesekali anaknya yang bungsu membantu. Ikah sudah tidak seproduktif dulu, usianya saat ini hampir 61 tahun.
Di tanah yang ditanami berbagai tumbuhan itu, Ikah tidak sendiri. Dia juga sering dibantu buruh tani. Setiap kali panen Ikah harus memberi upah pada buruh kepada para petani yang membantu menggarap kebunnya.

Kurang Diminati Orang Muda
Pengalaman Anang dan Ikah mewakili cerita generasi petani yang sudah bertani sejak kecil di Rawabogo, Ciwidey, Kabupaten Bandung. Sebaliknya, anak-anak mereka tidak semuanya mengikuti jejak orang tua mereka.
Misalnya, Kiki Riandi (22 tahun), anak kedua Anang. Setelah lulus dari sekolah menengah kejuruan, dia masih bersikukuh mencari pekerjaan di luar bertani. Dia sempat menjajal kerja di pabrik konveksi serta teh dan kopi. Saat menjalani pekerjaan formal tersebut, Kiki bekerja selama 12 jam. Akibat jam kerja penjang akhirnya dia mundur karena kelelahan.
Saat di konveksi, Kiki bekerja selama lima bulan lamanya. Sementara saat bekerja di pabrik teh dan kopi, Kiki hanya kuat bertahan satu minggu saja. “Kabur saya enggak kuat kerjanya,” ujarnya saat dihubungi BandungBergerak.
Sementara itu kerabat Kiki, Rival Nurdian (22 tahun) saat ini tengah bekerja di sebuah pabrik tekstil di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Orang tuanya sudah lama bertani. Dulu, setelah lulus sekolah, dia turut membantu orang tuanya ke kebun, seperti membawakan pupuk, sampai membersihkan kebun dari rumput liar. Akan tetapi itu tidak lama.
Alasan Rival bekerja sebagai buruh di perkotaan antara lain adalah minimnya pengakuan dan apresiasi dari pemerintah. Profesi petani sering kali tidak dihargai, bahkan tidak diakui secara luas.
Lebih dari itu, tidak menentunya pendapatan sebagai petani menjadi alasan kuat Rival bekerja sebagai buruh. “Jadi petani sering kali menghadapi kesulitan ekonomi dan pendapatan yang tidak stabil,” tuturnya.
Rival juga tidak dituntut orang tuanya untuk bertani. Bahkan dia direkomendasikan orang tuanya untuk bekerja dulu di kota ketimbang langsung bertani. “Harus mencoba kerja yang lain dulu gitu, nggak stuck jadi petani terus,” lanjutnya.
Ben White dalam bukunya The New Enclosures: Critical Perspectives on Corporate Land Deals yang dikutip Akatiga menjelaskan alasan di balik ketidaktertarikan anak muda untuk bertani. White menyebut ada tiga hal yang memengaruhi regenerasi petani.
Pertama, sistem pendidikan yang menanamkan ide bahwa bertani bukan sebagai usaha atau pekerjaan yang menarik. Kedua, adanya pengabaian dalam jangka panjang oleh pemerintah terhadap pertanian skala kecil. Ketiga, keterbatasan akses generasi muda terhadap lahan yang disebabkan oleh pencaplokan lahan dan konsentrasi kepemilikan lahan.
Di sisi lain, Akatiga, lembaga penelitian nonprofit yang fokus pada isu sosial, melakukan riset di lima kabupaten penghasil padi di Indonesia dalam rentang waktu 2013-2015. Hasilnya, banyak orang muda tidak tertarik masuk sektor pertanian namun ini tidak berarti mereka akan meninggalkan sektor pertanian selamanya.
“Adanya warga desa yang bermigrasi untuk sementara waktu sambil menunggu akses terhadap lahan dan dalam rangka mengumpulkan uang untuk kemudian digunakan untuk membeli atau mengakses lahan pertanian,” kata Akatiga, dikutip BandungBergerak, Rabu, 12 Februari 2025.
Baca Juga: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar
Mahasiswa UPI KKN di Bidang Pertanian, IPB Luncurkan 22 Website UMKM
Perpustakaan di Kaki Gunung, Memadukan Pertanian dan Literasi
Perubahan Budaya
Rival punya pandangan berbeda. Menurut dia, orang muda tidak bertani lantaran gengsi. Stereotip yang menempel pada profesi tani membuat anak muda lebih memilih bekerja di sektor formal.
Tidak hanya itu, kebanyakan orang muda di daerahnya terbawa arus oleh konten media sosial. Hal ini juga yang membawa pengaruh orang muda enggan betani melanjutkan para orang tuanya. “Atau enggak memenuhi standar tiktok kalau zaman sekarang mah,” ujarnya sembari tertawa.
Anang juga sepakat dengan Rival, menurutnya generasi orang muda sekarang sangat minim untuk langsung terjun menjadi petani. Kiki menjadi salah satu contoh yang lebih memilih bekerja di sektor formal terlebih dahulu. “Paling ka kebon mah pami tos laki rabi, kakarek ngarebon weh [nanti ke kebun setelah berkeluarga],” katanya.
Selain itu adanya perubahan sosial juga berpengaruh. Anang menyebut semasa mudanya anak-anak tidak banyak nongkrong. Sedangkan orang muda sekarang lebih mementingkan nongkrong sembari bermain gawai. “Jadi nya tepengaruh kanu pergaulan,” jelasnya.
Salman Yoga dalam jurnal berjudul “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Indonesia Dan Perkembangan Teknologi Komunikasi” menyatakan, perkembangan teknologi komunikasi berkaitan langsung dengan masyarakat. Ketika teknologi semakin maju maka akan memunculkan masalah baru terhadap kebudayaan daerah.
Tidak hanya itu, kebudayaan daerah akan semakin terkikis sebab masyarakatnya melupakan atau tidak mengembangkan budaya yang ada.
“Pengaruh lain dari perkembangan teknologi yang cukup pesat ini dikhawatirkan berdampak buruk terhadap perilaku kehidupan bermasyarakat,” tulis Yoga dikutip BandungBergerak, Selasa, 11 Februari 2025.
Pengaruh tersebut juga berdampak pada budaya pertanian di mana jumlah petani terus menyusut. Badan Pusat Statistik Jawa Barat (2023) membeberkan klasifikasi empat generasi petani di Kabupaten Bandung mengalami penurunan yang signifikan. Generasi boomer kelahiran 1946-1964 (48.154 orang), generasi X kelahiran 1965-1980 (66.401 orang), milenial kelahiran 1981-1996 (36.579 orang), hingga generasi Z yang lahir pada rentang 1997-2012 (4.056 orang).
Menurut Anang, solusi agar orang muda mau terjun bertani harus ada kelompok penggerak. Anang menyebutnya sebagai pemantik. Sebab jika bertani menunggu kemauan sendiri akan susah bergeraknya. “Pami digabungkan mah kan aya ketua pemudana aya nu ngarahken. Jadi babaerengan bertani na [kalau ada ketuanya jadi bergerak bersama],” tuturnya.

Upaya Meregenerasi Petani
Desa Rawabogo sendiri merupakan daerah perbukitan dengan tinggi rata-rata 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut (MDPL). Di atas sebuah bukit, terdapat satu rumah panggung berdiri sendiri. Rumah tersebut kerap dijadikan tempat berkumpul komunitas Kebon Bagea.
Arief dan Devi merupakan penggagas dari komunitas Kebon Bagea. Sepasang suami istri itu merupakan pendatang. Sebelumnya mereka tinggal di Kopo, Kota Bandung. Keresahan terkait regenerasi petani muda menjadi alasan kuat mereka untuk mendirikan Kebon Bagea.
Kebon Bagea sudah berdiri sejak tahun 2022. Awal mula berdirinya Kebon Bagea karena pertanian di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banyak orang muda yang tidak mau menjadi petani. “Dari situ juga saya berkeyakinan bahwa saya harus berjalan di isu pertanian,” ujar Arief, kepada BandungBergerak.
Tujuan Kebon Bagea ialah menghimpun para pemuda di Rawabogo untuk malanjutkan bertani. Salah satu caranya ialah mengadakan kelas Sekolah Alam Bagea. Ketika para orang tua bertani, Arief membuka ruang aman untuk belajar bagi anak-anak yang orang tuanya pergi ke ladang.
“Ketika orang tuanya pergi ke ladang atau ke kebun, anak-anaknya main di sini,” ungkapnya.
Sekolah alam Kebon Bagea dimulai sejak pagi hingga sore. Arief mempraktikkan pembelajaran berbasis projek dengan materi bervariasi, kendati belum ada kurikulum yang pasti. “Jadi langsung praktik tidak hanya teori aja,” jelasnya.
Sudah ada 40an anak-anak yang tercatat mengikuti Sekolah Alam Bagea, dari jenjang SD, SMP, hingga, SMA. Menurut Arief hal dasar yang perlu diketahui anak-anak adalah bagaimana cara menanam. Dengan pendekatan ala lokakarya anak-anak menjadi lebih senang. Model pendekatan ini mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat Legok Kiara.
Sekolah ini juga menjadi alteratif anak-anak untuk belajar lebih banyak mengenai pertanian dan pangan. “Di mana pembelajarannya itu berdasarkan kebutuhan kampung ini,” jelasnya.
Apakah yakin dengan berdirinya Sekolah Alam Bagea anak-anak akan menjadi petani?
“Kami meyakini kalo konsistensi itu kuat, pada akhirnya anak-anak itu akan tersadarkan. Maksudnya secara tidak langsung pun bakal ada regenerasi meskipun tidak semuanya,” terang Arief.
Arief juga menyadari, ada pengaruh yang kuat dari media sosial yang sangat berdampak pada para pemuda di kampung Legok Kiara. “Dalam artian di media sosial kan yang memperlihatkan standar hidup itu kerja di kota dengan gaji sekian punya mobil atau rumah,” terangnya.
Sekolah formal pun tidak memiliki kurikulum khusus yang melayani kebutuhan anak-anak petani. Arief menduga anak-anak petani didesain untuk hidup susah sebagai petani.
“Jadi anak-anak tuh berpikiran untuk bekerja di kota aja untuk mengejar standar-standar yang dibikin di pengaruh media sosial,” lanjutnya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Yopi Muharam, atau artikel-artikel lain tentang Pertanian