• Liputan Khusus
  • GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #3: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar

GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #3: Mengorbankan Pertanian Demi Mimpi Membangun Kota Pintar

Gedebage disiapkan menjadi kota pintar alias teknopolis. Lahan pertanian yang merupakan lumbung pangan cenderung dipinggirkan, mengalami alih fungsi luar biasa.

Lahan basah di Gedebage, Bandung berlatar belakang jalur kereta cepat, 21 Februari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah22 Maret 2024


BandungBergerak.id - Gedebage tak lagi menjadi lumbung pangan Kota Bandung. Julukan ini setidaknya pernah berlaku satu atau dua dekade lalu, ketika sawah masih terhampar luas, belum terlalu banyak lahan basah yang beralih fungsi menjadi bangunang, dan sebelum ada infrastruktur-infrastrukrur raksasa di kecamatan Bandung timur ini.

Dulu, Nani (43 tahun), salah seorang warga Rancapacing, Gedebage, masih ingat keluarganya menjadi petani penggarap. Bahkan ayahnya menggarap sawah di lahan yang kini menjadi Masjid Al Jabbar. Sekarang tentu jumlah petani dan sawah di Gedebahge semakin berkurang. Banyak sawah yang mengalami alih fungsi.

“Biasanya ibu-ibu ikut nandur, jadi sekarang mah engga ada dan sawahnya juga berkurang,” tutur Nani, Jumat sore, 15 Maret 2024.

Nani ditemui BandungBergerak saat berkumpul bersama tetangga. Mereka menghadapi sawah yang tersisa di Rancapacing. Menurutnya, sawah-sawah milik warga sudah banyak yang dijual dan beralih fungsi. Warga yang masih menjadi buruh tani bisa dihitung dengan jari, mereka antara lain menggarap lahan sawah milik Pemkot Bandung. “Aya 7 orang nu ngarapna,” ucap Nani.

Di masa Gedebage masih menjadi lumbung pangan, warga sekitar yang berprofesi sebagai petani tak pernah kekurangan beras meski harga beras melambung tinggi. Ketika harga beras meroket seperti yang terjadi sekarang, banyak warga yang mengeluh dan merindukan kehidupan di masa lalu.

Infografis Data Luas Sawah di Gedebage 2014 dan 2021. (Desain dan Foto: Reza Khoerul Iman dan Prima Mulia/BandungBererak.id )
Infografis Data Luas Sawah di Gedebage 2014 dan 2021. (Desain dan Foto: Reza Khoerul Iman dan Prima Mulia/BandungBererak.id )

“Dulu beras mahal, banyak lahan pesawahan dan pasti punya gabah. Untuk sekarang saya sendiri beli,” ujar Nani.

Rancapacing masuk ke dalam wilayah Cisaranten Kidul, salah satu kelurahan di Kecamatan Gedebage. Opendata Bandung menjelaskan, kecamatan ini memiliki luas 965,738 hektare, sekaligus menjadi kecamatan terluas di antara 30 kecamatan yang ada di Kota Bandung. Gedebage terdiri dari 4 kelurahan, yaitu Cisarantren Kidul, Rancabolang, Cimincring dan Rancaumpang. Cisarantren Kidul menjadi kelurahan yang paling luas yakni sebesar 413,141 hektare.

Pada 2023, jumlah penduduk Kecamatan Gedebage sebanyak 43.026 jiwa dengan kepadatan penduduk 44 Jiwa per hektare. Kepadatan ini masih sangat jauh dari rata-rata kepadatan penduduk Kota Bandung yang mencapai 157 jiwa per hektare.

Selain di Rancapacing, tempat lain di Kelurahan Cisaranten Kidul yang mengalami penyusutan jumlah sawah adalah Rancasagetan. Ketua RW 01 Vijay menuturkan, pembangunan yang massif menjadi penyebab hilangnya sawah-sawah di wilayahnya. Ia menyebut pembangunan Summarecon dan Masjid Al Jabbar yang memakan lahan sangat luas.

Vijay mengingat, pembangunan gencar di Gedebage terjadi sejak 2010 dan terus berlangsung sampai sekarang. “Dulu mah kiri kanan petani, beralih fungsi menjadi Sumarecon dan Al Jabbar,” kata Vijay, kepada BandungBergerak.id, Selasa, 20 Februari 2024.

Menurut Vijay, dulu 80 hektarean sawah di wilayahnya dibeli untuk kepentingan perumahan. Banyak warga termasuk petani yang kemudian beralih profesi. Ada yang berjualan da nada juga yang bekerja di lokasi pembangunan. “Diserap tenaga kerjanya, ada yang berjualan, bekerja, dan penjaga parkir,” ujar Vijay.

Lanskap dasar Cekungan Bandung di Gedebage dengan latar pegunungan Bandung Selatan dari dataran tinggi Cimenyan, Kabupaten Bandung, 21 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Lanskap dasar Cekungan Bandung di Gedebage dengan latar pegunungan Bandung Selatan dari dataran tinggi Cimenyan, Kabupaten Bandung, 21 Maret 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Tahun 2014, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mencatat, empat kelurahan di kecamatan Gedebagi masih memiliki area pesawahan cukup luas. Area sawah di Kelurahan Rancabolang 84,00 hektare, Kelurahan Rancanumpang 70,8 hektare, Kelurahan Cimincrang 90,00 hektare, dan kelurahan Cisaranten Kidul memiliki sawah paling luas 254,00 hektare sawah.

Namun BPS Kota Bandung juga mencatat, tahun 2021 terjadi penyusutan luasan sawah di empat kelurahan Gedebage sebesar 130,43 hektare. Sisa sawah di empat kelurahan ini tinggal 517,2 hektare.

Data sawah di Gedebage terkini sejauh ini belum dimutakhirkan lagi. Sekretaris Kecamatan Gedebage Asep Tamim mengatakan data tersebut ada di Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Bandung.

Kawasan yang sempat berjuluk lumbung pangan ini mengalami perubahan setelah Pemkot Bandung merencanakan pemidahan pusat pemerintahannya ke Gedebage, sebagaimana tertuang dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung No.18 Tahun 2011 yang menetapkan kawasan di Bandung timur ini menjadi kota berbasis teknologi (teknopolis).

Asep Tamim membenarkan, Gedebage tidak lagi menjadi pusat lumbung pangan bagi Kota Bandung. Namun begitu, beberapa masyarakatnya masih menggarap sawah yang dimiliki oleh Pemkot Bandung. “Sekarang berkurang yang menggaitkan hidupnya dengan pertanian (di Gedebage),” jelas Asep, kepada BandungBergerak.id, di kantor Kecamatan Gedebage, Senin, 18 Maret 2024.

Pemkot Bandung memang memiliki lahan sawah abadi seluas 32,4 hektare. Panen padi di lahan ini hanya bisa mencukupi 5 persen dari jumlah kebutuhan pangan warga Kota Bandung sebanyak 600 ton beras per hari. Lahan sawah abadi ini antara lain terdapat di Gedebage, tepatnya di sekitar Stadion Gelora Bandung Lautan Api.

“Yang agak luas milik pemerintah, di depan gerbang merah GBLA itu oleh masyarakat digarap,” kata Asep.

Menurutnya, saat ini posisi kepemilikan sawah di Gedebage 30 persen milik Pemkot Bandung dan 70 milik perorangan. Ia juga menyebut, alih fungsi lahan sawah secara besar-besaran terjadi ketika Summarecon dibangun. Kini di daerah Summarecon sudah tidak bisa ditemui lagi area persawahan.

“Sudah tidak ada sawahnya di Summarecon, paling di sini sedikit milik perseorangan dari arah sebelum Sumarecon, tinggal sedikit lagi sawah,” beber Asep.

Petani di kawasan Gedebage, Bandung, Jumat sore, 15 Maret 2024. (Foto:  Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)
Petani di kawasan Gedebage, Bandung, Jumat sore, 15 Maret 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

Baca Juga: GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #1: Balada Banjir di Calon Pusat Kota
GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #2: Berebut Jalan Menuju Masjid Al Jabbar
Melihat Megahnya Masjid Al Jabbar dari Setumpuk Soal di Gedebage
DATA PENDUDUK KECAMATAN GEDEBAGE 2008-2023: Jumlah Warga Terus Meningkat Seiring Menjamurnya Pembangunan

Benteng Alam dan Ketahanan Pangan Kota Bandung Terancam

Gedebage merupakan daerah rawa-rawa sisa-sisa peninggalan danau purba yang terbentuk di zaman Plestosen akhir. Daerah gedebage merupakan daerah terdalam dari danau purba yang kedalamannya mencapai 52 meter. Surutnya danau Bandung Purba, menyisakan banyak danau-danau kecil dan rawa-rawa payau di daerah Bandung. Sehingga di daerah Bandung banyak sekali daerah yang mengandung nama ci (cai), ranca, ujung, bojong dan lain-lain, yang menunjukan bahwa terdapat genangan di daerah tersebut.

Kawasan bagian Timur Bandung ini memiliki ketinggian tanah 672 meter dari permukaan laut. Topografi tersebut menjadikan Gedebage memiliki fungsi alami sebagai daerah tangkapan air, tak heran bila wilayah ini banyak persawahan. Daerah pesawahan yang beralihfungsi menjadi pemukiman akan menuai bencana seperti banjir, begitulah hukum alam.

Koordinator Dewan Pakar Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) Sobirin mengatakan, sawah-sawah di Gedebage sebenarnya memiliki fungsi ekologis karena bisa menjadi daerah resapan air sehingga menjadi benteng alami dari ancaman banjir di musim hujan atau kekeringan di musim kemarau.

“Dulu itu tidak pernah ada banjir, karena sawah-sawah ada, belum ada perumahan,” kata Sobirin kepada BandungBergerak, Rabu, 20 Maret 2024.

Gedebage dengan area pesawahannya merupakan bagian kawasan dari cekungan Bandung yang perlu dilindungi dengan relugasi ketat. “Relugasi perundangan-undangan Cekungan Bandung yang dilindungi tempat parkir air gimana, sekarang tidak mau banjir digelontorkan ke bawah, di bawah banjir. Dulu ada sawah karena orangnya sedikit,” papar Sobirin.

Perizinan pada dunia swasta perlu disaring betul-betul, kata Sobirin, jangan sampai merusak lingkungan Gedebage yang termasuk dalam kawasan biru. “Relugasi harus ketat, Gedebage dilindungi untuk ketahanan pangan dan kawasan biru untuk parkir air,” tutur Sobirin.

Partisipasi masyarakat perlu didorong untuk menjaga lingkungan Gedebage ini. Akan tetapi sinergitas antar intansi pemerintah juga paling utama mengingat Gedebage berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung. Karena perlu diingat, area persawahan selain memiliki fungsi ekologis juga berperan sebagai sistem ketahanan pangan.

“Sinergitas antara pemerintah baik Kota Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada di kawasan Cekungan Bandung harus ada sinergi. Cekungan yang sangat bersejarah dalam rangka ketahan pangan,” jelas Sobirin.

Salah satu area komplek mewah Summarecon dengan latar belakang Kampung Blekok dan Rancanumpang di Gedebage, Bandung, 13 September 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Salah satu area komplek mewah Summarecon dengan latar belakang Kampung Blekok dan Rancanumpang di Gedebage, Bandung, 13 September 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Sayangnya, pembangunan yang menyasar Gedebage cenderung melupakan pertanian yang sudah lebih dulu ada di sana. Arya Cakrapravastha dan Lely Syiddatul Akliyah dalam artikel ilmiah “Analisis Pengaruh Perubahan Pola Penggunaan Lahan terhadap Bencana Banjir di Kecamatan Gedebage” menganalisis bahwa pertanian tidak masuk dalam peta pola ruang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Sub wilayah kota (SWK) SWK Gedebage 2015-2035.  

“Bahkan peta  pola ruang RDTR menunjukkan bahwa segala jenis pertanian tidak masuk dalam rencana pola ruang RDTR di Kecamatan Gedebage, sedangkan pada kondisi eksistingnya masih ada penggunaan lahan pertanian di Kecamatan Gedebage,” ungkap Arya Cakrapravastha dan Lely Syiddatul Akliyah, diakses Jumat, 22 Maret 2024.

Kedua peneliti dari Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung (Unisba) tersebut menyatakan, faktor penyebab terjadinya ketidaksinkronan penggunaan lahan eksisting dengan pola ruang RDTR salah satunya karena Kecamatan Gedebage yang akan dijadikan pusat pengembangan teknologi Kota Bandung (teknopolis) yang tertulis dalam RTRW Kota Bandung 2011-2031.

Kedua peneliti juga menemukan terdapat dua pola perubahan besar dalam penggunaan lahan di Gedebage, yakni pertanian menjadi pemukiman dan pertanian menjadi perdagangan dan jasa. Akibatnya, lahan pertanian di empat kelurahan Gedebage terus menyusut. Pertanian di Cisaranten Kidul tahun 2018 sebesar 60,66 persen, berkurang tinggal 35,96 pada 2022. Begitu juga di Cimincrang, Rancanumpang, dan Rancabolang yang dalam kurun 5 tahun pertaniannya berkurang antara 10-29 persen.

Dampak negatif dari berkurangnya lahan pertanian di Gedebage adalah terjadinya bencana alam, kerusakan lingkungan, dan menurun atau hilangnya hasil produksi pertanian di Kecamatan Gedebage. Hal ini yang dirasakan Nani, warga Rancapacing yang merasa kewalahan ketika harga beras melambung tinggi seperti yang terjadi sekarang.

*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau artikel-artiikel lain tentang Liputan Khusus Gedebage Bukan Teknopolis

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//