GEDEBAGE BUKAN TEKNOPOLIS #1: Balada Banjir di Calon Pusat Kota
Gedebage pernah digadang sebagai lokasi baru calon pusat pemerintahan Kota Bandung, dan bahkan sebagai teknopolis. Dihantui banjir di setiap musim hujan.
Penulis Awla Rajul20 Maret 2024
BandungBergerak.id - Di Rancabolang, Gedebage, Kota Bandung, banjir selalu datang setiap kali hujan lebat. Sudah jadi semacam kepastian. Genangan air bisa setinggi lutut orang dewasa, sekitar 45 sentimeter. Sesekali bahkan mencapai ketinggian satu meter. Dari jalan utama, air melimpas masuk gang-gang kampung, lalu menyelinap ke rumah-rumah warga.
“Ada-lah dua minggu tiga minggu ke belakang banjir lagi. Kemarin teh, gede sakieu deui, gak segini,” tutur Aitini, 48 tahun, warga RT 04 RW 03 Rancabolang, Kecamatan Gedebage, sambil menujuk bawah lututnya.
BandungBergerak menemui Aitini di sebuah pos jaga. Dia tengah bersantai menghadap ke hamparan persawahan dan tiang-tiang beton Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), Sabtu, 17 Februari 2024.
Rancabolang terletak di simpang tiga Gedebage Selatan, Jalan Derwati, dan Jalan SOR GBLA. Dari arah Gedebage Selatan, kawasan ini terletak di sebelah kiri. Di salah satu gang di RT 02 di kampung ini, bekas-bekas banjir tergambar jelas di dinding-dinding luar rumah berupa garis gelap yang terbentuk oleh muka air dan lumut kering. Garis ini ibarat penanda waktu dan pengukur ketinggian air.
Posisi jalan gang itu lebih rendah dibandingkan dengan Jalan SOR GBLA. Di sisi kanan kirinya, got atau saluran drainase sangat kecil dan dangkal. Lebarnya tak lebih 15 sentimeter dengan kedalaman yang tak mencapai sejengkal jari tangan.
Setiap kali banjir menggenang Rancabolang, butuh waktu cukup lama untuk benar-benar surut dan kering. Tidak jarang sampai seminggu penuh, gang-gang kampung masih berlumpur. “Ngeceprek we nu, antepkeun we. Da hoream, capek,” kata Aitini.
Aitini, bersama warga lain, mengeluhkan banjir yang sudah menjadi biasa ini tidak kunjung tertangani. Perhatian dan tindakan pemerintah tidak segesit penanganan banjir di kawasan Braga, tak jauh dari Balai Kota Bandung, pada Kamis, 11 Januari 2024 lalu. Ketika itu, semua mata tertuju ke sana. Rancabolang, Gedebage, senyatanya ada di pinggiran.
Dari Agraris ke Teknopolis
Kecamatan Gedebage, yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah administratif Kabupaten Bandung, bergabung ke Kota Bandung pada tahun 1987. Lahan persawahan yang luas membuat mayoritas penduduknya ketika itu bermata pencaharian sebagai petani. Gedebage, salah satu titik terendah di Cekungan Bandung, adalah kawasan agraris.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, pada 2023 luas wilayah Gedebage tercatat 9,17 kilometer persegi. Cisaranten Kidul menjadi kelurahan dengan wilayah paling luas, yakni 4,26 kilometer persegi. Jumlah penduduk Gedebage diketahui sebanyak 42.549 jiwa.
Memiliki kekayaan berupa lahan terbuka membuat Gedebage, yang sudah sejak lama digadang sebagai lokasi baru pusat pemerintahan Kota Bandung, menjadi sasaran empuk pembangunan. Dalam 20 tahun terakhir, bergulir banyak wacana dan juga proyek-proyek raksasa. Era kepemimpinan wali kota Dada Rosada (2003-2013) ditandai dengan status Kawasan Pertumbuhan Primer yang dilekatkan ke Gedebage. Sebagai mercusuar-nya, proyek pembangunan GOR Bandung Lautan Api yang berlumur praktik korupsi.
Di era kepemimpinan Ridwan Kamil (2013-2018), disematkan status baru untuk Gedebage, yang lebih modern dan lebih keren: teknopolis. Kawasan agraris ini hendak disulap menjadi kawasan bisnis berbasis teknologi informasi. Konsep teknopolis menguap setelah Ridwan Kamil selesai menjabat wali kota. Yang ditinggalkan adalah sebuah kompleks perumahan elite seluas ratusan hektare yang dulu disebut sang wali kota sebagai hanya bagian dari kawasan teknopolis.
Yang terkini, pembangunan Masjid Al Jabbar tuntas dikerjakan di Gedebage. Dimulai di era Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (2013-2018), proyek raksasa yang menelan 1 triliun rupiah dana APBD ini diselesaikan oleh Gubernur Ridwan Kamil (2018-2023).
Sayangnya, buah manis pembangunan di Gedebage tidak selamanya dinikmati warga. Yang kemudian mampir menghantui justru beragam persoalan yang tidak terselesaikan, mulai dari banjir hingga macet.
Ular, Penyakit, dan Kesulitan Beraktivitas
Aitini lahir di kawasan bawah persawahan Rancabolang. Sejak masa kecilnya, banjir tidak pernah mampir ke kampung. Yang jadi langganan adalah kawasan Sapan, bagian dari Kabupaten Bandung yang ada di selatan. Baru dalam beberapa tahun terakhir, setelah banyak infrastruktur besar dibangun, mulai dari kompleks GBLA hingga perumahan elite Summarecon, genangan air semakin parah.
Masih lekat diingatan Aitini, banjir yang paling besar terjadi di awal tahun 2020, tepat sebelum pandemi Covid-19. Waktu itu, Aitini sedang sakit dan harus “digotong” oleh petugas menggunakan perahu. Banyak petugas yang membantu dan memberi bantuan.
“Segini (sepahanya), pokona mah lah mun teu ditutupan rumah ku taneh, masuk we lah. Iya (ke semua rumah),” kenang Aitini. “Waktu dulu semuanya juga ada (yang membantu), dari desa, kecamatan, kepolisian, dan tentara ada. Kemarin mah enggak, padahal kemarin lama, seminggu leuwihnya kemarin teh. Sarua we nu ema, mun teu disedot mah nu ema dienteupkeun. Ah cape.”
Kampung Aitini kerap dilanda banjir lebih dari sekali dalam setahun, tergantung cuaca dan curah hujan. Warga Rancabolang harus meninggikan teras dan membuat pematang di persawahan agar air tak banyak masuk ke rumah. Jika tidak, bukan hanya air yang masuk melainkan binatang melata seperti ular bisa saja datang untuk bersembunyi di rumah-rumah warga. Hal ini pernah terjadi terutama pada musim banjir ketika persawahan dipenuhi eceng gondok.
“Kalau hujana mun dari sore sampai pagi-pagi pasti we banjir. Besoknya kalau hujan lagi, wah tambah lagi,” ungkapnya, dengan eksperisi cenderung kecewa.
Aitini menyebut, kesehatan menjadi persoalan utama yang dikeluhkan setiap banjir. Beberapa gejala penyakit seperti pusing, kedinginan, gatal-gatal, kutu air, hingga demam kerap dialami oleh masyarakat. Bagaimana tidak, warga harus terus “bebersihan” agar genangan air di dalam rumah segera surut.
Ketika banjir, beberapa kali memang mesin penyedot membantu mempercepat air surut. Sayangnya hal ini belum efektif karena tidak setiap kali banjir, ada mesin penyedotan. Aitini berharap persoalan banjir di kampung halamannya ini bisa diatasi, bagaimanapun solusinya. “Kumaha carana kitu, ulah banjir. Ah angger we, ai ku hujan mah banjir didieu,” kata Aitini.
“Bikin solokan yang gede, jadi air maju terus ke sini, terus ke sana. Selokan mah gak ada, cuma segede gitu. Maunya bikin selokan ke sana terus, mapay-mapay rumah di pinggir-pinggir. Maunya. Tapi gak ada. Jalan we diomehan terus. Ah, kumaha pemerintah teh, sok salah sasaran,” Aitini menggerutu.
Keluhan serupa juga diungkapkan oleh warga RT02 RW03 Rancabolang, Ayu Nurhayati (28 tahun). RT Ayu dan Aitini bersebelahan. Saat banjir, kedua kawasan ini kondisinya sama parahnya. Rumah Ayu berada tak jauh dari pintu masuk gang. Saat BandungBergerak.id mendatanginya pada Senin, 26 Februari 2024, air masih menggenang di jalan itu sisa hujan semalaman.
“Ada lima tahunan banjir di sini. Sebelumnya belum pernah. Semenjak ada bangunan kayak Summarecon, kereta cepat, ke sini dampaknya banjir gede,” beber Ayu yang tengah menunggui pelanggan membeli dagangan seblaknya.
Seingat Ayu, banjir pertama kali datang pada tahun 2019, ketinggian airnya hampir satu meter. Adapun banjir terparah terjadi di tahun 2020, air masuk ke dalam rumah. Ayu menyebut, setiap diguyur hujan kawasan itu pasti banjir. Karena kondisi itu, sejak dua bulan lalu ia baru saja meninggikan teras rumahnya, agar ketika banjir air tak masuk ke dalam rumah.
“Was-was kalau musim hujan gini, sudah harus siap-siap aja. Kayak baju yang di lemari bawah itu dipindah-pindahin ke atas, berkas-berkas yang ada di bawah pindah-pindahin semuanya, takut banjir gede,” tutur Ayu.
Menurut Ayu, salah satu penyebab banjir karena absennya got. Tak ada “jalan” yang mengarahkan aliran air. Makanya ketika banjir besar 2020 lalu, air bisa cepat surut berkat bantuan mesin penyedot. Sedangkan saat banjir Januari kemarin, air dibiarkan dan bertahan sampai seminggu lamanya.
“Penginnya ada penanganan yang lebih serius lagilah. Capek kalau banjir, ngantar anak sekolah susah. Harus digendong dulu sampai ke depan, terus disepatuin. Motor gak bisa masuk kalau banjir gede, kadang gak dikeluarin motornya dari rumah, nunggu banjir surut baru dikeluarin,” keluh Ayu.
Baca Juga: Mendengar Bukit Algoritma Sukabumi, Teringat Bandung Teknopolis
Mengurai Kemacetan Gedebage tidak Cukup dengan Exit Tol KM 149
Lima Poin Kunci Pengelolaan Stadion GBLA Gedebage
Menyergap juga Kompleks Perumahan Lama
Jika ditelisik secara historis, banjir tak hanya menyergap kampung-kampung penduduk lokal Rancabolang. Perumahan elite Komplek Adipura pun tak luput dari bencana air bah. Setidaknya komplek ini pernah diserang banjir besar pada tahun 2016 dan 2020. Saat itu, ketinggian air mencapai satu meter lebih.
Banjir menyergap tiga cluster di Perumahan Adipura, Cluster Pinus RW 8, Cluster Palem RW 9, dan Cluster Tulip RW 10. Satpam Cluster Tulip, Heri (49 tahun) menyebutkan, ketika banjir terparah di tahun 2016, ketinggian air mencapai pinggang Ayu, sekitar satu meter lebih. Usai beberapa kali mengalami banjir, pengembang komplek menaruh dua rumah pompa di ujung komplek yang langsung mengaliri air ke Sungai Cinambo.
“Kalau hujan dulu menggenang sampai sehari atau dua hari. Kalau ada pompa ini paling hitungan jam surut. Paling lama satu jamlah (surutnya),” ungkap Heri saat ditemui di pos satpam Cluster Tulip, Rabu, 11 Januari 2023.
Evy Damayanti, salah seorang warga yang pernah tinggal di Komplek Adipura dan mengalami kejadian banjir pada 2016 juga bercerita hal serupa. Saat banjir, ketinggian air di depan rumahnya hampir satu meter. Evy termasuk yang beruntung, sebab air yang masuk ke rumahnya hanya sampai ke garasi.
“Gak pernah banjir (sebelumnya), mungkin juga karena tanggul jebol dan ada pembangunan perumahan baru jadi komplekku ikut kena banjir hampir setinggi lutut orang dewasa,” beber Evy melalui pesan WhatsApp, 17 Februari 2024.
Hasil riset BandungBergerak.id, banjir pernah menyergap Komplek Adipura pada 13 Maret 2016, 25 Januari 2020, dan 31 Maret 2020. Dugaan penyebab banjir 2016 beragam, misalnya karena tidak optimalnya aliran air Sungai Cinambo. Dugaan lain, penyebab banjir berkaitan erat dengan proyek pembangunan infrastruktur di Gedebage waktu itu, yaitu penuntasan tahapan akhir jalan layang exit tol KM 149 dan pembangunan komplek perumahan Summarecon.
Ketika banjir 2020 lalu, RW 03 kediaman Aitini dan Ayu, beserta Kompleks Adipura sama-sama didatangi banjir. Di Adipura, ketinggian air dilaporkan mencapai 70 centimeter yang berdampak kepada ratusan rumah di komplek itu. Warga menduga banjir disebabkan akibat pembangunan kereta cepat dan komplek elite.
Untuk menyelesaikan persoalan banjir di kawasan Gedebage, pemerintah sudah banyak menggelontorkan dana dan program. Misalnya, di era Wali Kota Ridwan Kamil dibangun infrastruktur Tol Air sepanjang 150 meter dengan dua mesin pompa yang berfungsi untuk menyerap genangan air.
Banyak pembangunan infrastruktur lainnya, seperti pembangunan Rumah Pompa Rancabolang yang dibangun oleh Pemkot Bandung pada 2022 lalu, Rumah Pompa Saluran Adipura yang telah dibangun lebih dulu, Kolam Retensi Gedebage, hingga pelebaran cross drain dan gorong-gorong di Jalan Soekarno Hatta pada akhir 2023.
Pj. Wali Kota Bandung Bambang Tirtoyuliono mengakui upaya penanganan banjir di Gedebage belum optimal. Namun, ia optimis upaya yang dilakukan Pemkot Bandung bisa membuahkan hasil, salah satunya dengan kehadiran kolam retensi Gedebage.
“Memang belum optimal, tapi sudah bisa menurunkan debit airnya. Intensitas, frekuensi, dan volumenya sudah bisa kita turunkan,” kata Bambang, dikutip dari laman resmi, Jumat, 15 Desember 2023.
Bambang juga menyebutkan, usai memperbaiki dan memperlebar crossing drain dan gorong-gorong di Jalan Soekarno Hatta, Pemkot Bandung akan menambah satu kolam retensi baru di segmen Jalan Soekarno Hatta ke arah Jalan Rumah Sakit. Ia mengklaim, pembangunan kolam retensi signifikan menurunkan potensi banjir di kawasan tersebut.
Namun begitu, setiap kali musim hujan datang dengan intensitas tinggi dan lebat, banjir di Gedebage sudah dianggap biasa, saking seringnya bencana ini terjadi. Berbeda dengan saat kawasan Braga yang diterjang banjir tempo hari, semuanya bergerak sigap mengingat lokasinya hanya sepelemparan batu dari pusat pemerintahan kota Bandung.
Warga Gedebage sudah lama berharap tidak ada lagi banjir sebagaimana dulu. Ayu tak muluk-muluk meminta solusi seperti apa kepada pemerintah. Ia tegas menyebutkan, penanganan banjir harus dilakukan lebih optimal dan lebih serius. Sama halnya dengan Aitini, apa pun solusi yang dilakukan pemerintah, hendaknya membuat kawasan itu tidak harus disergap banjir.
“Pinginnya embung banjir we, apa pun, mbung banjir, yang enak we kitu. Kumaha carana kitu, ulah banjir,” tegas Aitini.
*Kawan-kawan dapat membaca karya-karya lain Awla Rajul, atau artikel-artiikel lain tentang Gedebage Bukan Teknopolis