• Komunitas
  • PROFIL PERPUS ALAM MALABAR: Perpustakaan di Kaki Gunung, Memadukan Pertanian dan Literasi

PROFIL PERPUS ALAM MALABAR: Perpustakaan di Kaki Gunung, Memadukan Pertanian dan Literasi

Seperti namanya, Perpus Alam Malabar tumbuh di kaki Gunung Malabar. Perpustakaan komunitas ini berusaha meningkatkan minat baca dengan pendekatan alam.

Gerbang masuk Perpus Alam Malabar di Kampung Cibulakan, desa Mekarsari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, 2024. (Foto: Repi M Rizki/BandungBergerak.id)

Penulis Repi M Rizki28 Januari 2024


BandungBergerak.id - Perpus Alam Malabar tumbuh bukan hanya bergerak di bidang literasi atau perbukuan. Sebagaimana namanya, perpustakaaan ini aktif memberikan pendidikan tentang pertanian dan peternakan. Mengusung selogan “Dari Ladang ke Piring”, Perpus Alam Malabar memaknai membaca buku sebagai kegiatan menanam sesuatu.

Artinya, ketika kita sedang membaca buku maka kita sedang menanam atau menambah pemikiran dalam otak. Membaca juga perlu didukung suasana yang menyenangkan, seperti alam yang asri dan damai. Maka dari itu Perpus Alam Malabar mengemas konsep nuansa alam agar pegiat literasi bisa lebih santai ketika sedang membaca.

Untuk menarik minat masyarakat pada membaca, Perpus Alam Malabar punya acara yang terbilang unik, antara lain, festival rawat bumi berupa engan menanam pohon di lereng gunung Malabar dan menyusuri mata air.

Kegiatan lain yang diusung Perpus Alam Malabar adalah gerakan literasi dengan target utama anak-anak. Ada pula kegiatan bertani yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaraan masalah lingkungan dan kesadaran ketahanan pangan.

Perpus Alam Malabar diinisiasi oleh Iman Sulaeman Faruq (29 tahun), pemuda yang bermimpi mempunyai suatu komunitas penggerak literasi. Perpus Alam Malabar berdiri menjadi komunitas penggerak literasi sejak akhir 2018. Dengan memanfaatkan kandang ayam pedaging yang sudah tidak terpakai, komunitas ini membentuk tempat yang asri, nyaman, dan menyenangkan yang memadukan kegiatan literasi dan pertanian.

Perpus Alam Malabar beralamat di Kampung Cibulakan, desa Mekarsari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung di lahan seluas lahan 240 tumbak atau sekitar 3.800 meter persegi. Saat ini jumlah koleksi bukunya baru 500 judul, tetapi model membaca di perpustakaan ini mengadopsi konsep natural.

Nuansa alami begitu terasa ketika kita tiba di pintu masuk berupa gerbang sederhana dari pagar bambu beratapkan ijuk. Dari luar, perpustakaaan ini terlihat seperti peternakan atau kebun. Papan nama yang tertempel di bawah atap gapura ijuk menerangkan bahwa gerbang tersebut sebagai pintu masuk ke perpustakaan. 

Bagian dalam Perpus Alam Malabar di Kampung Cibulakan, desa Mekarsari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, 2024. (Foto: Repi M Rizki/BandungBergerak.id)
Bagian dalam Perpus Alam Malabar di Kampung Cibulakan, desa Mekarsari, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, 2024. (Foto: Repi M Rizki/BandungBergerak.id)

Iman Sulaeman Faruq lebih sering dikenal dengan nama panggilan “Dayak”. Lelaki yang memiliki latar belakang mahasiswa pecinta alam (mapala) ini menjadikan Perpus Alam Malabar berbeda dengan perpustakaan lainnya, lebih bernuansa alam. Hal itu bertujuan untuk menciptakan suasana dan pengalaman baru sehingga pegiat literasi bisa lebih leluasa melakukan eksplorasi ketika mengakses perpustakaan.

Berawal mengikuti ekspedisi NKRI ke tanah Papua selama lima bulan, Dayak merasa terbuka hati dan pikirannya. Melalui ekspedisi ini ia melihat langsung ketimpangan kehidupan dan sosial. Ketimpangan serupa juga terjadi di bidang pendidikan.

Dayak berpikir, mengapa tidak ada ruang kolektif atau belajar yang dapat meningkatkan pendidikan masyarakat setempat. Kegiatan merawat Papua menjadi salah satu motivasinya untuk ikut berkontribusi langsung dalam merawat dan meningkatkan kualitas pendidikan di tanah Papua.

Namun banyak kendala untuk merealisasikan hal itu, seperti jarak antara Bandung Papua yang sangat jauh, serta hambatan lainnya seperti pengelola perpustakaan di sana. Ia memakai hobi bersepeda untuk menunaikan niatnya. Melalui kolaborasi dengan kampus ia menghasilkan 5.000 buku.,Dayak kemudian bersepeda sambil membagi-bagikan buku.

Ia mentargetkan bisa membagikan 10.000 buku ke 150 tempat mulai dari Bandung sampai ke Papua. Saat melewati wilayah Sumbawa, Dayak merintis suatu kelompok literasi bernama Perpus Alam Semesta.

Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS EARTH HOUR BANDUNG: Gaya Hidup Hemat Listrik Demi Bumi
PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
PROFIL KOMUNITAS LIRIKSEKITAR: Para Pemuda yang Menebar Kebaikan

Berbagai Rintangan yang Dihadapi

Sejak berdirinya Perpus Alam Malabar tentu saja banyak rintangan yang harus dihadapi, seperti kurangnya SDM dalam mengelola Perpus Alam Malabar sehingga kegiatan yang ada terhambat karena kurang terorganisir. Di sisi lain, Dayak harus berhadapan dengan orang tuanya yang kurang mendukung, mereka berdalih kegiatan Dayak akan mengganggu waktu kuliah.

Diawal berdirinya Perpus Alam Malabar sedikit kebingungan dalam merencanakan program kegiatan. Mereka juga menghadapi realitas bahwa minat masyarakat dalam membaca buku masih sangat rendah.

Selain itu, akses masyarakat ke Perpus Alam Malabar cukup jauh dari perkotaan. Hal ini berdampak pada kurangnya jumlah pengunjung perpustakaan. Tidak ada angkutan umum yang menghubungkan perpustakaan ini.

Kendati demikian, berbagai program untuk menggaet pengunjung tetap di laksanakan, di antaranya kegiatan tubingan, yaitu kegiatan menyusuri sungai dari hulu ke hilir menggunakan ban sebagai media tumpangan. Kegiatan itu mendapatkan perhatian dari masyarakat khususnya kalangan anak-anak yang berkeinginan ikut serta melakukan tubingan.

"Awalnya emang bingung mau ada kegiatan apa saja yang bisa narik perhatian masyarakat, terus kebetulan waktu itu sedang ada kegiatan tubingan (mengendari ban dalam diatas air) dan banyak anak-anak yang ingin ikutan. Lalu saya tawarkan kalau mau ikut tubingan harus membaca buku dulu di Perpus Alam Malabar," ungkap Dayak, kepada BandungBergerak.id.

Tak lupa, Perpus Alam Malabar juga mengadakan pelatihan peternakan ayam dan bertani atau berkebun. Kegiatan beternak dan bertani bertujuan untuk menumbuhkan jiwa tani pada anak muda. Dewasa ini, semangat bertani di kalangan generasi muda cenderung hilang, begitupun dengan beternak ayam.

Perpus Alam Malabar tidak hanya berfokus pada kalangan anak-anak saja, tetapi juga menyasar kalangan masyarakat yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Perpustakaan ini berusaha menggaet Mapala, komunitas literasi, bahkan keluarga.

Festival Merawat Bumi di Perpus Alam Malabar yang berisi kegiatan penanaman pohon di lereng gunung Malabar. (Foto: Perpus Alam Malabar)
Festival Merawat Bumi di Perpus Alam Malabar yang berisi kegiatan penanaman pohon di lereng gunung Malabar. (Foto: Perpus Alam Malabar)

Baiq Laelia (21 tahun) menjadi salah satu pengunjung Perpus Alam Malabar. Perempuan yang saat ini masih menempuh kuliah ini merasa banyak mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru selama bergabung dengan kegiatan di Perpus Alam Malabar.

Ketika pertama kali Baiq mendengar Perpus Alam Malabar, ia menyangka komunitas ini sama seperti halnya perpustakaan lain tetapi menyediakan buku-buku tentang alam. Setelah mendatangi Perpus Alam secara langsung, dugaannya meleset. Ia takjub dengan suasana dan keadaan Perpus Alam Malabar dengan lanskap persawahan dan Gunung Malabar.

"Perpus Alam Malabar ternyata memang benar kampus yang bernuansa alam," ujar Baiq.

Baiq merasa senang dan tenang ketika berada di Perpus Alam Malabar. Baginya, ini merupakan hal baru yang bisa mengatasi rasa bosan. Jika ia mau menyajikan suatu hidangan, ia tidak perlu repot untuk berbelanja ke pasar. Perpus Alam Malabar menyajikan berbagai bahan pokok mulai dari ikan, ayam, dan bumbu-bumbu yang diperlukan.

“Banyak juga tanaman yang bisa dijadikan lauk pauk, sehingga ketika akan masak bahannya langsung ngambil di area kebun Perpus Alam Malabar,” ucapnya.

Baiq melihat Perpus Alam Malabar sebagai tempat yang tidak hanya memberikan ruang bagi pegiat literasi, tetapi juga sebagai wadah bagi masyarakat luas yang mempunyai ketertarikan dalam bidang pertanian dan peternakan.

Di sampung itu, ia juga bisa bertemu dengan pengunjung lain yang berbeda latar belakang, bisa tahu bagaimana proses bertani yang baik dan benar, juga senantiasa menjaga kelestarian alam.

 *Kawan-kawan dapat membaca lebih lanjut tulisan Repi M Rizki atau artikel-artikel lainnya tentang Profil Komunitas

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//