PROFIL GREAT UPI: Jalan Pedang Pendamping Kasus Kekerasan Seksual di Kampus
Great UPI Bandung terus bergerak melawan kekerasan seksual di kampus, sebelum ada regulasi dari negara. Pernah diminta tobat dengan dalih dogmatis.
Penulis Tofan Aditya2 Januari 2024
BandungBergerak.id - Kekerasan seksual menjadi isu yang belakangan ramai dibahas, utamanya di lingkup pendidikan tinggi. Perlahan, kasus-kasus yang lama bersembunyi di lorong gelap mulai berani muncul dan berjalan ke arah terang. Peran pendamping dalam memberikan advokasi kepada korban kian sentral.
Salah satu komunitas pendamping kasus kekerasan seksual yang eksis di Bandung adalah Gender Research Student Center (Great) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Meski lebih banyak bergerak di lingkup kampus, menangani kasus kekerasan seksual tentu bukan perkara mudah, seperti disampaikan Nida Nurhamidah (23 tahun), salah seorang pendamping yang kini menjabat sebagai ketua Great UPI.
Di kampus berlabel pendidikan tersebut, Nida bercerita bawa dirinya dan kawan-kawan pendamping lain di Great UPI berulang kali mendapatkan ancaman. Mulai dari teror, gangguan supranatural, hingga yang paling parah ancaman pembunuhan.
“Kemarin dilaporkan balik atas tuduhan pemerasan. Kita diancam, kita difitnah. Banyaknya difitnah sih,” terang Nida ketika ditemui BandungBergerak.id Jumat malam, 24 November 2023 di salah satu warung kopi di Terminal Ledeng. “Dipolisikan nggak (pernah), cuma sampe ancaman aja, belum sampe yang real gitu.”
Begitulah aktivitas harian dan bahaya yang menyertai kawan-kawan Great UPI. Organisasi ini memang masih terbilang baru, terhitung belum genap tiga tahun. Tapi, namanya sudah dikenal oleh semua civitas academica, utamanya ketika berbicara isu gender. Meski hanya diurus oleh 34 orang, sudah tidak terhitung berapa jumlah kasus yang ditangani oleh Great UPI baik yang dilaporkan ataupun tidak.
Nama Great merupakan akronim dari Gender Research Student Center. Bergiat di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia membuat label UPI tersemat di belakangnya. Artinya, bukan bergerak di ranah advokasi saja. Great UPI juga aktif melakukan edukasi dan riset. Great UPI meyakini, setiap kejadian yang terjadi di muka bumi dapat dilihat dari kacamata feminis.
“Kita ingin menjawab pengalaman ketertindasan perempuan itu menjadi sebuah isu utama untuk menyadarkan bahwa ternyata ada hal yang lebih besar daripada menyelesaikan isu permasalahan personal itu. Ternyata ada akar yang sama, (yakni) patriarki,” tandas Nida, semangatnya memecah udara dingin kawasan Bandung Utara.
Awal Mula Great UPI
Awal mula berdirinya Great tidak bisa lepas dari nama Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi (25 tahun). Elfa, begitu ia akrab disapa, memulai organisasi berbentuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ini dari pengalaman ketertindasan dirinya. Elfa ingin memiliki ruang aman untuk belajar dan berjuang di isu ini.
Ketertarikan Elfa terhadap isu gender bermula saat ia mendapatkan kampanye hitam ketika mencalonkan diri sebagai Presiden Mahasiswa BEM Rema UPI. Kala itu, pesan bahwa perempuan tidak layak memimpin, hasil kutipan dari salah satu pemuka agama, menyebar di platform-platform media sosial.
Dari sanalah ia mulai menyadari bahwa dunia masih tidak berpihak kepada perempuan. Bagi Elfa, kepemimpinan mestinya dilihat dari rekam jejak prestasi, bukan jenis kelamin. Menjadi perempuan adalah kodrat yang tidak bisa ia pilih sendiri. Narasi itu yang kemudian digaungkan sampai akhirnya ia terpilih menjadi presiden mahasiswa perempuan pertama dalam sejarah UPI.
“Gue (kemudian) memasukkan isu gender di isu selama satu tahun kepengurusan gue. Awalnya itu ditolak juga sama pengurus gitu, ‘ko tiba-tiba?’. Mungkin karena ada yang baru mengenal dan lain-lain,” ucap Elfa ketika diwawancarai oleh BandungBergerak.id lewat zoom meeting Rabu, 25 Oktober 2023.
Di tiga bulan pertama masa kepemimpinannya, laporan yang masuk telah mencapai 30 kasus. Elfa kewalahan sebab yang menangani kasus hanya tiga orang: dirinya sendiri, Sheila Rotsati Jasmine selaku rekan sejawat di BEM Rema UPI, dan Hani Yulindrasari dari kalangan dosen. Situasi kian parah karena saat itu belum ada regulasi yang melindungi. Waktu itu Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) belum jadi, apalagi Permendikbudristek PPKS yang mengharuskan kampus-kampus membentuk Satgas TPKS.
Waktu berjalan cepat hingga diujung tahun 2020, satu bulan lagi masa kepemimpinan Elfa selesai. Dia sadar bahwa organisasi yang dipimpinnya ini amat politis. Dirinya khawatir pemimpin selanjutnya tidak bisa melanjutkan perjuangan untuk mengawal isu gender.
“Nah, kalau ini selesai gimana nih gitu, apakah isu kita selesai juga? Apakah ini cuma sampai segini doang atau akan berlanjut?” tanya Elfa yang baru saja menyelesaikan studi magister di National Dong Hwa University, Taiwan, retoris.
Ide untuk membuat wadah baru berbentuk UKM yang independen kemudian dipilih. Ide tersebut sempat mendapat pertentangan juga dari berbagai pihak. Ada klaim bahwa menjadi bagian kampus (UKM) akan membuat organisasi nantinya “disetir” oleh birokrat. Ia juga sempat mendapat penolakkan lantaran enggan bergabung dengan organisasi di bawah naungan NGO internasional. Tapi itu tidak membuat Elfa bersama Sheila Rotsati Jasmine dan Agida Hafsyah Febriagivary, selaku inisiator, berubah pikiran.
Nama Great UPI kemudian ditetapkan. Embel-embel research dipilih agar UKM ini bisa segera disetujui oleh pihak kampus. Tapi penamaan itu tidak hanya sebagai alat saja, Elfa menyadari bahwa riset amat diperlukan dalam memperjuangan isu gender, apalagi di tataran kampus. Tanggung jawab pun diperluas, tidak hanya mengadvokasi tapi juga melakukan penelitian dan edukasi.
“Kalau nama nomenklaturnya pergerakan, pergerakan mahasiswalah, pergerakan gender UPI-lah misalkan, itu akan ditolak. Karena kampus akan takut dengan bentuk-bentuk atau diksi yang progresif gitu,” tutur Elfa yang kini menjadi Asisten Peneliti SPPKS UPI, menggebu-gebu.
Banyaknya mahasiswa yang resah akan isu kekerasan seksual membuat nama Great UPI cepat dikenal. Ketika momentum Masa Orientasi Kampus dan Kuliah Umum (MOKA-KU) 2021 yang merupakan tahun pertama Great UPI secara luas memperkenalkan diri, sebanyak 451 orang tertarik untuk mendaftar, jauh lebih banyak dibandingkan UKM-UKM lain yang biasanya kisaran puluhan orang saja.
Namun tidak semua orang yang mendaftar diterima begitu saja menjadi anggota Great UPI. Ada verifikasi dan mekanisme ketat. Hal ini dilakukan untuk menghindari kebocoran kasus untuk melindungi pelaku. Sampai hari ini Great UPI memiliki 34 pengurus, 63 anggota, 64 relawan, dan 116 calon anggota di tahun 2023.
Menjadi pendamping dan lantang bersuara di isu gender jelas jalan pedang, penuh tantangan. Elfa bercerita pengalaman pribadinya ketika menjadi pendamping, orang pertama yang harus mendapat sanksi dikeluarkan dari kampus adalah senior satu organisasinya sendiri.
Berulang kali kawan-kawan Great UPI mendapat sinisan dari, dalam bahasa Elfa, “kelompok-kelompok maskulin rapuh”. Elfa secara pribadi juga memiliki pengalaman tidak mengenakan bersama salah satu pejabat kampus.
“Gue dateng dan dipanggil bersama Cila (Sheila). Dan, dikasih Al Quran untuk dalih sebagai ‘tobatlah kalian ini, ini tuh salah, ini tuh penyimpangan seksual, peraturan ini tuh men-support zina’,” cerita Elfa yang kala itu banyak mengampanyekan pentingnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Bukan Hanya Perempuan
Belajar perspektif feminis adalah belajar untuk setara. Artinya, pemahaman terkait feminis tidak hanya untuk perempuan tapi juga laki-laki. Di dalam tubuh Great UPI, salah satu laki-laki yang aktif bergiat adalah Adam Firdyansyah (21 tahun).
Sejak awal Adam memang tertaring dengan isu-isu kesetaraan dan keberagaman. Ketika bersekolah di Jakarta dulu, ia bergabung dengan Aliansi Remaja Independen (ARI) yang bergerak dalam advokasi terhadap kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Diterima di UPI membuat ia ingin mencari organisasi serupa, “biar ngga gabut,” katanya. Ketika Moka-KU UPI 2021 berlangsung ia paling tertarik pada Great UPI di antara deretan UKM yang ada.
“Aku langsung kayak (Great UPI) ini tuh mirip banget nih isunya sama, gitu. Ada beda-beda dikit sih. Kalau dulu tuh di ARI lebih ke remaja, tapi kalau di sini tuh lebih umum, gitu. Kan lebih ke sosial secara umum, gender sosial secara umum, gitu,” tutur mahasiswa semester 5 di program studi Pendidikan Bahasa Jerman tersebut, Kamis, 30 November 2023.
Namun ketertarikan Adam untuk bergabung dengan Great UPI harus tertunda terlebih dahulu. Baru pada semester 2 ia mendaftar sebagai peserta Sekolah Advokasi Gender Batch 2 yang digelar Great UPI dan SPPKS UPI pada 26-27 Maret 2022. Setelah dinyatakan lolos pendaftaran, ia berangkat dari Jakarta ke Bandung untuk mengikuti kelas menjadi pendamping.
Dalam kelas tersebut, ia kemudian bertemu dengan kawan-kawan Great UPI, mengobrol banyak dengan Sheila, ketua Great UPI kala itu. Sheila bercerita bahwa memang tidak banyak laki-laki yang tertarik dengan isu ini. Mengetahui hal tersebut Adam semakin memantapkan hati untuk terus mengawal isu kekerasan seksual. Adam kemudian aktif di berbagai agenda yang digelar Great UPI.
“Pas aku sudah mulai aktif gitu, temen-temen aku khususnya laki laki tuh ngeliat kayak ‘Ini ngapain sih si Adam’, gitu kan, kayak tidak seperti laki laki pada umumnya, gitu kan,” lanjut Adam yang kini duduk di semester lima. “Terlebih aku lumayan frontal gitu untuk isu gender dan orientasi seksual minoritas. Jadi ada saja sih pandangan-pandangan sinis ketika aku memasuki Great dari temen-temen aku.”
Kini sudah belasan Adam menangani kasus kekerasan seksual, angka yang cukup banyak meskipun ia mengaku tidak sebanyak teman-teman yang lain. Dari sekian banyak kasus yang ditangani, Adam bercerita bahwa yang paling berkesan adalah ketika harus mengonseling tiga temannya yang menjadi korban. Kala itu, Adam baru bergabung dengan Great UPI.
Masing-masing dari korban itu mengalami pelecehan seksual, doxing, dan diskriminasi sosial. Adam kemudian meminta banyak pendapat dalam menangani kasus. Ia harus belajar banyak. Dia tahu, bahwa kesembuhan korban harus menjadi fokus utama. Ia senang karena bisa membantu teman-teman di sekitarnya.
Hampir dua tahun Adam bergiat di Great UPI. Laki-laki yang tertarik dengan topik sexual orientation, gender identity, and sexual characteristic dan disabilitas ini mulai melihat bahwa UPI tidak baik-baik saja, tidak seperti ketika banyangannya ketika awal-awal berkuliah. Ia melihat bahwa mahasiswa-mahasiswa UPI sudah seharusnya peka dan keluar dari kehidupan yang kuliah sekadar masuk ke ruang kelas.
“Aku berharap temen-temen mahasiswa yang lainnya, khususnya temen-temen laki-laki gitu ya, karena mereka yang paling susah di-advokasi untuk isu-isu minor seperti ini, penginnya sih lebih banyak lagi laki-laki yang masuk Great dan lebih paham isu-isu ini,” tutup Adam.
Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS LIRIKSEKITAR: Para Pemuda yang Menebar Kebaikan
PROFIL KOMUNITAS PENDAKI GUNUNG BANDUNG (KPGB): Mendaki Gunung, Melestarikan Alam, dan Mencatatnya
PROFIL KOMUNITAS SOLGEN BANDUNG: Menolak Batu Bara, Mengkampanyekan Solar Panel
Data Kasus Kekerasan Seksual di UPI
Akhir Agustus lalu, Satuan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SPPKS) dan Great UPI merilis risalah tahunan yang berisikan data kasus kekerasan seksual yang terjadi di UPI dalam rentang tahun 2020-2022. Dengan nama “Berani Terbuka”, risalah ini menjadi gambaran bagaimana keterbukaan jumlah aduan dan kasus dapat menjadi strategi untuk mengurangi kekerasan seksual yang terjadi.
Dalam rentang tahun 2020-2022, sebanyak 135 aduan dilaporkan: 43 aduan pada tahun 2020, 24 aduan pada tahun 2021, dan 68 aduan pada tahun 2022. Dari sekian banyak aduan yang masuk, hampir semua korbannya adalah mahasiswa UPI. Sementara pelakunya beragam, ada dari kalangan dosen, tenaga kependidikan, sesama mahasiswa, atau bahkan pihak eksternal UPI.
Tidak hanya perempuan, laki-laki juga bisa menjadi korban. Dari seluruh aduan yang masuk, sebanyak 16 korban atau 11,9 persen merupakan laki-laki. Hal tersebut disinyalir karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban.
“Sedikitnya korban kekerasan seksual laki-laki ini tidak berarti bahwa laki-laki imun terhadap kekerasan seksual,” mengutip penggalan kalimat dalam risalah Berani Terbuka. “Ketakutan tidak percaya sebagai korban, dianggap lemah, dan dianggap tidak berdaya menjadi beberapa alasan laki-laki korban kekerasan seksual enggan untuk melaporkan.”
Ditinjau dari jenisnya, pelecehan seksual adalah jenis kekerasan seksual yang paling banyak diadukan, yakni mencapai 81 kasus. Kemudian diikuti oleh Kekerasan Berbasis Gender Online dengan 18 kasus, flirting/grooming 8 kasus, kekerasan dalam pacaran 7 kasus, kekerasan fisik 5 kasus, kekerasan akademik 4 kasus, kekerasan dalam rumah tangga 1 kasus, dan kasus lainnya (tidak terkategorikan) 11 kasus.
Meski angka-angka tersebut terbilang fantastis, bagi SPPKS dan Great UPI, data ini sebuah pencapaian. Artinya, banyak orang yang semakin peduli dan berani untuk speak up. Risalah ini menjadi alarm bahwa menjaga “nama baik kampus” bukan berarti harus menyembunyikan jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi.
“Nama baik kampus, sekarang ini, dijaga dengan menunjukkan bahwa kampus berani memberikan sanksi kepada pelaku sesuai dengan wewenang, hukum, dan aturan yang berlaku,” tulis Hani Yulindrasari, Ketua Satuan Tugas SPKKS UPI yang juga dosen pembina Great UPI dalam risalah.
Terus dan Seterusnya
Great UPI memang masih belia, masih belajar untuk merangkak, masih mencari pola pengelolaan organisasi yang tepat. Namun demikian, di tengah dunia yang patriarki dan sumber daya yang terbatas, Great UPI tetap berupaya untuk terus memberikan dampak sekecil apa pun.
Lewat kerja-kerja advokasi, riset, dan edukasi yang dilakukan, Great UPI ingin mencoba membangun dunia yang adil dan setara untuk semua orang, setidaknya untuk orang-orang di sekitar. Great UPI ingin terus menyuarakan suara-suara yang selama ini kurang didengar dan tidak tersuarakan.
“Kalau misalkan kita melihat sejarah, salah satu hal yang melemahkan perempuan adalah bagaimana perempuan itu dipisah-pisahkan,” terang Nida sambil menghembuskan napas panjang, nada suaranya memelan. “Kita ingin menyatukan di sini. Berkumpul lagi, melawan sistem (patriarki) ini.”
Ancaman di mana-mana, tekanan di mana-mana. Baik Nida, Elfa, dan Adam berharap semuanya bisa saling kuat dan menguatkan. Mereka semua meyakini apa yang telah dilakukan Great UPI masih belum seberapa, masih banyak hal yang harus dikerjakan. Namun, bersama kawan-kawan solidaritas dari gerakan lain, mereka yakin itu semua menjadi mungkin untuk dilakukan.
“Setidaknya hal kecil dari cara kita bertindaklah, cara kita berpikir, dan menentukan apakah memang kita sudah bebas, tidak terlepas lagi dari ‘saya perempuan, saya tidak bisa’ gitu,” tutup Nida.
* Kawan-kawan dapat membaca reportase lain Tofan Aditya dan tulisan-tulisan lainnya tentang Gender Research Student Center (Great) UPI