• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS SOLGEN BANDUNG: Menolak Batu Bara, Mengkampanyekan Solar Panel

PROFIL KOMUNITAS SOLGEN BANDUNG: Menolak Batu Bara, Mengkampanyekan Solar Panel

Solgen Bandung berawal dari kumpul-kumpul anak muda Mapala dari berbagai kampus. Mereka tak henti mengkampanyekan krisis iklim yang terjadi Indonesia.

Kegiatan kawan-kawan Solargeneration.id sedang melakukan pemasangan part soral panel. (Foto: Dokumentasi Solargeneration.id)

Penulis Daffa Primadya Maheswara24 Juli 2023


BandungBergerak.id“Seribu orang tua bisa bermimpi, satu orang pemuda bisa mengubah dunia,” ucap Sukarno, untuk menggambarkan betapa pentingnya peran anak muda. Peran mereka juga dibutuhkan dalam mengkampanyekan gaya hidup ramah lingkungan di saat dunia sedang menghadapi perubahan iklim, pemanasan global, dan berbagai bencana yang ditimbulkannya.

Salah satu komunitas anak muda yang akhir mengkampanyekan bahaya perubahan iklim di Bandung adalah Solargenaration.id atau biasa disingkat Solgen. Solargeneration.id lahir 2007 dan sempat vakum pada tahun 2012 meski akhirnya kembali aktif di tahun 2019.

Mereka aktif menggaungkan aksi-aksi nyata melawan perilaku pencemaran lingkungan, seperti memproduksi emisi yang memicu pemanasan global. Tema yang mereka usung dalam kampanye ini adalah Energi Terbarukan dari Solar Panel.

Solar panel adalah konversi cahaya sinar matahari menjadi listrik, baik secara langsung dengan menggunakan photovoltaic atau tidak langsung dengan menggunakan tenaga surya terkonsentrasi sehingga menghasilkan tenaga listrik untuk rumah atau perusahaan.

Solar panel tidak hanya digunakan di rumah-rumah saja melainkan bisa dipakai dalam satu kawasan dan daerah terpencil, misalnya untuk sekolah-sekolah di pedalaman  yang kekurangan listrik.

Di sela-sela kampanye mereka menggunakan solar panel, mereka menyelipkan edukasi tentang bahaya emisi gas rumah kaca terhadap lingkungan dan mengancam kehidupan.

Saya mendapatkan kesempatan berbincang dengan beberapa kawan dari Solgen Bandung, Rakha Naufal Sutrisno (25 tahun), Dadio Dzaky Damaringtyas (20), Aiman M. Alfaridho (22) dalam obrolan santai di sebuah rumah yang dulunya warung kopi di Jalan Bangbayang No.20, Dago, Kota Bandung, Kamis (20/07/2023).

Rakha menyebutkan, sebetulnya pusat dari Solgen ada di Jakarta. Saat ini Solgen ingin membuka cabang di Cianjur dan Malang. Awal mula terbentuknya Solgen di Kota Bandung berawal dari kumpul-kumpul EarthCamp atau camping ground yang lebih banyak diisi oleh Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) dari berbagai kampus.

“Awalnya aku dikontak sama teman-teman dari GreenPeace untuk ikut pelatihan Solar Panel, akhirnya aku ngajak teman-teman ikut di pelatihan itu,” cerita Rakha.

Pada pelatihan tersebut, Rakha dan kawan-kawan tidak tahu bahwa nantinya akan dibentuk Solgen Bandung. Peserta yang ikut pelatihan EarthCamp terutama dari Jabodetabek termasuk juga Bandung. Peserta kemudian diajak mengikuti pelatihan berikutnya di Bali melalui event SummerFest .

SummerFest merupakan festival komunitas yang bergerak di bidang lingkungan. Festival ini mendapat suplai energi dari tenaga matahari. “Sampai akhirnya dari beberapa perlatihan tersebut terbentuklah generasi SolarGeneration yang baru,” tutur Rakha.

SolarGeneration sejauh ini masih berfokus di Jakarta dan Bandung. Dalam perjalanannya, komunitas anak muda melek isu lingkungan ini tak selalu mulus. Aktivitas kegiatan sempat vakum bagi untuk SolarGeneration Jakarta maupun Bandung. Tetapi akhirnya mereka bisa bangkit kembali termasuk memperluas aktivitas ke anak-anak sekolah.

Kawan-kawan SolarGeneration melihat siswa SMA memiliki potensi besar dalam mempraktikan gaya hidup ramah lingkungan. Mereka juga dikenalkan pada teknologi sumber energi terbarukan solar panel. Contohnya di Jakarta, dinas pendidikan setempat sudah mengeluarkan kebijakan setiap sekolah harus memakai solar panel. Kebijakan ini kemudian disambut dengan membuat kegiatan khusus untuk murid-murid sekolah di Jakarta berupa Green Camp dan pelatihan solar panel, krisis iklim, kampanye digital, serta energi terbarukan.

“Saya harap Solgen ini tidak hanya di Bandung dan Jakarta. Kalau bisa sih seluruh Indonesia punya chapter-nya, karena saya ingin anak muda itu tahu dari bahayanya batu bara ataupun energi panas bumi dan baiknya dari energi terbarukan,” tambah Aiman.

Aksi Solgen Bandung

Di Bandung, Solgen Bandung aktif melakukan kampanye energi terbarukan baik di ranah digital maupun terjun ke lapangan. Sejak 2019 mereka memberikan pemahaman pentingnya hidup ramah lingkungan kepada anak-anak sekolah sampai SMA, juga masyarakat umum.

Beberapa kali Solgen Bandung dipanggil oleh beberapa pegiat festival. Mereka misalnya mengikuti Joylandfest untuk membantu kegiatan festival yang bersih dari emisi yang berdampak buruk terhadap lingkungan. Terakhir mereka turut mensuplai acara gigs di Cianjur. Saat ini Solgen Bandung sedang fokus menggalang donasi untuk membangun solar panel di beberapa desa dan musala.

Solgen Bandung terlibat membantu menyediakan air bersih di Desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah. Desa Timbulsloko terendam air laut karena abrasi. Air tanah di sana tercemar juga air laut sampai tidak bisa dikonsumsi. Solgen Bandung menyumbang mesin pompa dengan energi tenaga matahari.

Sampai hari ini komunitas SolarGenartion mempunyai sekitar 60 anggota, tetapi yang masih aktif ada sekitar di 15 orang. Semua anggota tidak fokus di komunitas. Aktivitas mereka bersifat sukarela. Ada anggota yang bekerja, sekolah, kuliah, dll.

Selain itu, komunitas ini juga tidak memiliki seorang pemimpin. Jalannya organisasi berasaskan prinsip egaliter. Semua tergerak berdasarkan kesepakatan bersama dan kerelawanan.

Bahaya Batu Bara dan Geothermal

Beberapa isu yang menjadi perhatian Solgen Bandung di antarnaya pemanfaatan energi batu bara yang biasa dipakai dalam PLTU-PLTU. Menurut mereka, batu bara ini berbahaya bagi kehidupan dan lingkungan.

Batu bara akan menimbulkan krisis iklim yang disebabkan pelepasan emisinya. Krisis iklim membuat suhu bumi tidak stabil dan cenderung memanas. Dampak yang mengkhawatirkan dari krisis iklim ini akan langsung menyentuh kehidupan manusia, seperti menurunnya produksi pertanian di Indonesia.

Tak hanya itu, SolarGeneration merespons kampanye yang di layangkan pemerintah tentang geothermal dan energi nuklir. Kedua sumber energi ini menurut mereka tidaklah bersih dibandingkan solar panel.

SolarGeneration pernah melakukan riset di pegunungan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Energi geothermal di sana hanya berlansung 5 tahun dan mesti berpindah tempat jika panas buminya sudah habis. Akibatnya, teknologi geothermal membutuhkan pembukaan lahan hijau. Dalam prosesnya, teknologi ini juga mengganggu kualitas air dan berdampak buruk terhadap mahluk hidup.

SolarGenaration berpendapat sebetulnya banyak potensi sumber-sumber energi terbarukan di Indonesia. Selain energi matahari, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan energi yang bersumber dari angin.

Dalam risetnya pula SolarGeneration menunjukkan wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki potensi besar untuk memanfaatkan tenaga angin dan matahari. Namun kenyataannya NTT sering mengalami krisis air bersih dan listrik.

SolarGeneration juga siap menerima keluhan warga Bandung yang membutuhkan listrik dan pompa air tenaga surya. Selama ini dua kebutuhan tersebut lebih banyak disalurkan ke daerah luar Bandung, Bali, dan Lombok.

SolarGeneration sangat membuka lebar terkait kawan-kawan muda yang mau ikut andil berkontribusi maupun berdonasi terkait aktivitas mereka. Dalam waktu dekat, Solargeneration akan membuat sekolah darurat di Cianjur yang dimulai Juli ini sampai 3 bulan ke depan.

Donasi pemasangan solar panel di musala. (Foto: Dokumentasi Solargeneration.id)
Donasi pemasangan solar panel di musala. (Foto: Dokumentasi Solargeneration.id)

Komponen Solar Panel

Teknologi solar panel yang berkembang saat ini terbuat dari bahan dasar silicon polycrystalline, bahan padatan yang terdiri dari banyak kristal silikon (butiran) dengan ukuran bervariasi mulai dari nanometer hingga milimeter sehingga disebut sebagai panel surya multikristal. Butiran ini memiliki orientasi kristalografi acak.

Teknik produksi polycrystalline dilakukan dengan melelehkan dan mencampur beberapa fragmen mentah silikon bersama-sama dalam cetakan persegi dan mendinginkannya untuk membentuk wafer. Karena sel terbuat dari banyak kristal, elektron memiliki ruang yang relatif lebih sedikit untuk mengalir. Pencampuran beberapa lapisan silikon dituangkan ke dalam cetakan hingga mengeras. Setelah dicetak, silikon akan dipotong-potong menjadi wafer panel surya.

Dalam catatan SolarGeneration, panel surya yang mereka sedang kampanyekan pula bisa didaur ulang. Teknologi daur ulang itu bisa memisahkan silicon berkualitas tinggi, perak, dan tembaga dari panel surya. Komponen-komponen itu nantinya dapat digunakan untuk produksi industrial lagi.

Dalam hal ini, pemerintah perlu mendorong riset untuk meningkatkan kemampuan daur ulang panel surya. Selain itu perlu adanya kebijakan yang mewajibkan produsen panel surya untuk mendaur ulang limbah mereka, seperti yang dilakukan di Uni Eropa.

Solar panel yang dikenalkan oleh kawan SolarGeneration ini mempunyai dua inverter dari yang 2.000 watt hingga 5.000 watt, dan kapasitas kekuatan baterai mencapai 20.000 watt juga tergantung kebutuhan dalam kategori on grid (hybrid) atau off grid.

Sistem On Grid (disebut juga Grid Tie/ Grid Interactive), menggunakan solar panel untuk menghasilkan listrik yang ramah lingkungan dan bebas emisi. Sesuai namanya, rangkaian sistem ini tetap terhubung dengan jaringan PLN dengan mengoptimalkan pemanfaatan energi dari panel surya untuk menghasilkan energi semaksimal mungkin.

Dalam sistem On Grid, baterai merupakan hal yang tidak wajib, mengingat tenaga surya bukanlah sumber energi utama. Sesuai namanya, On Grid berarti bekerja sama dengan arus listrik dari PLN. Yakni arus PLN menjadi penghubung atau penyalur arus listrik dari panel surya kepada beban. Sehingga seluruh penggunaan listrik pada waktu siang hari dihasilkan dari energi listrik panel surya. Sedangkan untuk malam hari menggunakan PLN.

Off Grid atau disebut juga stand alone PV (photovoltaic) system atau sistem pembangkit listrik yang hanya mengandalkan energi matahari sebagai satu-satunya sumber energi utama dengan menggunakan rangkaian panel surya untuk menghasilkan energi listrik sesuai kebutuhan. Dengan menginstalasi sistem ini Anda tidak perlu lagi menggunakan listrik dari PLN ataupun backup lainnya seperti genset. Off Grid bersifat mandiri, adapun tipe solar sistem untuk hunian yang menggunakan baterai hanyalah sebagai media penyimpanan atau bank energi.

Pada sistem Off Grid, kapasistas baterai harus memperhitungkan cadangan jika kondisi cuaca buruk yang berakibat pada produksi energi sinar matahari kurang optimal. Untuk Indonesia, kementrian ESDM menyarankan masyarakat yang menggunakan sistem ini untuk menggunakan baterai dengan kapasitas cadangan minimal 3 hari sebagai patokan (autonomous days).

Meskipun dalam teknisi pemasangan amat sulit dilakukan karena banyaknya part solar panel dan dalam tahapan perangkaiannya pun butuh beberapa kali dalam pemasangannya, namun antusias dari anak muda Bandung amat senang dalam belajar energy solar panel.

Baca Juga: PROFIL BIKE TO WORK BANDUNG: Menggerakkan Warga Bersepeda
PROFIL KOMUNITAS CELAH CELAH LANGIT: Menyuarakan Kritik lewat Teater
PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong

Kritik Nikel

Sistem solar panel tersebut bukannya tanpa kelemahan. SolarGeneration dalam penelitiannya menyampaikan kritik tehadap penggunaan nikel yang digunakan untuk baterai. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pembangunan tambang nikel yang ada saat ini hanya memberikan fungsi pada bateraiberkisar 3 persen saja.

Walhi menyatakan bahwa industri nikel dan rantai pasoknya telah menyebabkan kerusakan lingkungan dalam skala besar dan sistemik. Hal tersebut juga meliputi ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat lokal dan aktivis lingkungan di Indonesia yang melindungi lahan dari pertambangan nikel.

Terdapat sejumlah ancaman lingkungan dan sosial dari pertambangan nikel. Pertama, ancaman deforestasi meningkat karena banyaknya izin konsesi tambang yang dilakukan di kawasan hutan. Kedua, kriminalisasi terhadap masyarakat yang menolak tambang. Ketiga, penurunan pendapatan masyarakat setempat sebagai konsekuensi dari kerusakan lingkungan khususnya nelayan.

Belum lagi dampak pertambangan batu bara. SolarGeneration menyatakan pertambangan ini sangat merusak alam, seperti yang terjadi pada kerusakan alam yang terjadi di cagar alam Karimunjawa.

“Kita benar-benar menolak dengan perluasannya tambang batu bara, apalagi si tongkang batu bara ini bersandar dengan merusak karang laut, banyak sekali terumbu karang hancur akibat tongkang batu bara,” kata Rakha.

Menurutnya, banyak kasus tenggelamnya kapal tongkang batu bara yang akhirnya mencemari laut di Indonesia. Pada 2019, SolarGeneration bekerja sama dengan warga sekitar Karimun Jawa untuk memasang CCTV. Dari pengintaian ini diketahui banyak kasus tongkang tersebut melakukan penjualan solar (BBM) secara gelap.

Rakha juga menyoroti PLTU-PLTU Batu Bara yang berdiri di Jawa Barat, salah satunya PLTU Indramayu. PLTU ini dibangun di sekitar lingkungan warga. Pembangunan PLTU berdampak pada hancurnya pertanian milik warga karena tercemar limbah.

“Lalu warganya terkena penyakit paru-paru. Masa sih kita nyaman di sini dan sementara warga di sana harus berdampingan dengan hal seperti itu. Saya jadi tergerak saja sih dari pribadi,” lanjut Rakha.

Solar Panel Menjadi Andalan

Berdasarkan sumber-sumber energi yang ada, bagi SolarGeneration solar panel adalah pilihan paling ideal. Menurut Rakha, ketahanan atau keawetan solar panel bisa bertahan hingga 30 tahun lebih. “Dengan adanya solar panel ini kita mengurangi perusakan lingkungan,” ucap Rakha.

Ia awalnya mengira permasalahan lingkungan selalu terkait dengan penebangan liar sampah dan sampah. Namun maslah lingkungan lebih dari itu jika dikaitkan denga krisis iklim, pertambangan, pencemaran darat, laut, udara. “Sayangnya pemerintah seakan menutupi itu,” ucap Rakha sambil menutup perbincangan.

Semua pihak harus bergerak menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Gerakan ini bisa dimulai dari lingkup terkecil, dari pribadi-pribadi yang berhimpun ke dalam komunitas.

“Kalau gak ada yang gerak, siapa yang mau menjadi penggerak? Jadi lebih baik dimulai dari kita gerak sendiri. Soalnya lihat kasus warga-warga sekitaran PLTU kalau enggak warga-warga sekitaran tambang karena resiko dampaknya amat besar, entah dari lingkungan maupun ke ekonominya itu dampaknya kerasa banget kalau main ke daerah sana. Makannya cuma iba doang ngeliatin lebih baik kita ikut menyuarakan,” tambah Dadio.

Aiman, mahasiswa IPB yang basisnya pertanian juga ikut bersuara. Menurutnya, krisis iklim berdampak langsung pada para petani. Ia menyimpulkan bahwa krisis iklim adalah musuh bersama.

“Mari kita coba sebagai anak muda yang baru dan paham akan lingkungan terus membuat untuk mengurangi krisis iklim ini, meskipun efeknya tidak besar, tapi akan amat membantu dan kita juga akan terus berfokus pada tempat-tempat yang belum mendapatkan listrik juga, dan biasanya kan di desa-desa kebanyak petani,” kata Aiman.

Respons Warga

Keberadaan solar panel sendiri belum begitu populer di Indonesia. Seperti disampaikan Agus (47 tahun) yang berprofesi sebagai dosen dari fakultas perhotelan di salah satu kampus swasta di Bandung. Ia mengaku sangat mendukung penerapan solar panel dan energi terbarukan.

“Apalagi sumber matahari kan tidak akan pernah habis, rasanya bisa jadi alternatif baru untuk Indonesia. Apalagi belum cukup popular di Indonesia, tapi ini mesti disosialisasikan kembali akan pentingnya solar panel ini digunakan,” ucap Agus.

Warga Bandung lainnya, Hertanto, mengaku menunggu-nunggu penerapan teknologi surya. Apalagi sumber-sumber energi yang ada seperti minyak bumi dan batu bara bersifat terbatas.

“Jika ada teknologi terkait hal energy terbarukan saya sangat mendukung apalagi jika melihat energy yang sekarang seperti batu bara akan habis. Berarti dengan adanya panel surya sangat menunggu hal tersebut,” tegas Hertanto.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//