• Komunitas
  • PROFIL KOMUNITAS CELAH CELAH LANGIT: Menyuarakan Kritik lewat Teater

PROFIL KOMUNITAS CELAH CELAH LANGIT: Menyuarakan Kritik lewat Teater

Komunitas seni Celah Celah Langit awalnya bernama Serikat Kesenian Bandung. Kelompok ini resmi berdiri 22 Mei 1998, sehari setelah jatuhnya Suharto.

Pertunjukan teater Bedol Desa: Ode Tanah II di Celah Celah Langit, Gg. Bapak Eni No.8/169A Bandung, Jumat (20/05/23). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Penulis Dini Putri24 Mei 2023


BandungBergerak.idKomunitas Celah Celah Langit (CCL) adalah potret aktivitas seni kota urban. Sekretariat sekaligus ruang pertunjukkan CCL beralamat di belakang Terminal Ledeng, terhimpit rapatnya permukiman penduduk. Cikal bakal komunitas ini sempat dibungkam pada masa Orde Baru, eksis hingga hari ini menyuarakan kritik lewat pentas teater.

Untuk mengakses CCL, kita harus masuk melalui gang sempit bernama Gg. Bapak Eni No.8/169A. Setelah melewati lorong yang kiri kanannya rumah-rumah warga Ledeng, kita akan menemukan lembah yang di tengah-tengahnya berdiri panggung pertunjukkan sebagai pusat CCL.

Kita mungkin tidak mengira di tengah padatnya rumah warga itu ada ruang pertunjukan yang cukup lapang bernama Celah Celah Langit. Apa lagi posisinya di sekitar terminal yang kerap dikonotasikan dengan kehidupannya yang keras dan rawan.

Meski demikian konotasi itu pupus dengan adanya aktivitas kesenian, seperti yang terjadi pada Jumat (20/05/23) lalu, saat CCL mementaskan teater “Bedol Desa: Ode Tanah II”.

Jerami padi terurai memenuhi area panggung CCL. Penonton yang mayoritas mahasiswa, antusias menunggu pertunjukan dimulai. Beberapa dari mereka sudah siap dengan gawainya untuk mendokumentasikan ode tersebut.

Dua pemain perempuan memasuki area panggung. Mereka berdiri di atas jerami sambil melontarkan kritik terhadap perilaku konsumtif manusia. Konsumerisme bukan hanya menimbulkan pemborosan materi, melainkan turut memacu kerusakan lingkungan.

Para pemain lain menyusul masuk ke panggung. Masing-masing membawa sebilah bambu yang cukup panjang. Bambu dan jerami ini menjadi simbol yang kuat bagi pertanian yang terancam tergerus pemodal.

Pertunjukan teater “Bedol Desa: Ode Tanah II” diperankan oleh 16 orang pemain. Mereka diiringi musik yang dimainkan 5 orang pemain.

Pendiri komunitas CCL Iman Soleh mengatakan, suatu pertujukan seni atau teater harus selalu terhubung dengan keadaan dan situasi masyarakatnya. Dalam teater “Bedol Desa: Ode Tanah II”, gagasan yang diolah dalam seni pertunjukan adalah ketahanan pangan yang buruk.

Melalui pertunjukan “Bedol Desa: Ode Tanah II”, penonton khususnya anak muda diajak untuk mencintai para petani dan lahan pertanian, serta menghormati dan memuliakannya. Ode ini sekaligus mengingatkan bahwa masyarakat kita awalnya agraris, hidup dari hasil bumi atau pertanian. Bahkan kawasan Ledeng dulunya adalah hamparan sawah, seperti diceritakan musikus balada Adew Habtsa dalam buku semi otobiografinya “Oh Ledeng, Oh Bandung: Sejauh Mata Memandang adalah Tembok” (2022).

Dalam penggarapannya, pertunjukan “Bedol Desa: Ode Tanah II” melibatkan anak muda juga. Mereka berasal dari berbagai latar belakang untuk bekerja sama menggarap pertunjukan mulai dari penggarapan naskah sampai pementasannya.

“Karena bahan teater itu manusia dan dia datang dari disiplin ilmu yan berbeda karena pemainnya banyak adalah bagaimana teman-teman itu saling terhubung karena pertunjukan ini ditulis naskahnya bersama-sama,” katanya Iman Soleh, kepada Bandungergerak.id.

Iman Soleh menyoroti anak-anak muda yang kehilangan minatnya terhadap profesi petani. Ia merasa prihatin mengingat petani memiliki peran penting dalam menghidupi bangsa Indonesia lewat kebutuhan pangan. Pertunjukan teatrikal ini merupakan salah satu upaya untuk menyuarakan posisi petani.

Pesan lain dari teater “Bedol Desa: Ode Tanah II” ditujukkan kepada pemerintah pusat maupun daerah. “Siapapun dia, baik di nasional maupun di daerah. Nah, kewenangan itulah yang mudah-mudahan bisa dieksekusi menjadi strategi negeri agraris,” lanjutnya.

Iman Soleh menutup pertunjukan teatrikal Bedol Desa: Ode Tanah II di Celah Celah Langit, Gg. Bapak Eni No.8/169A Bandung, Jumat (20/05/23). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)
Iman Soleh menutup pertunjukan teatrikal Bedol Desa: Ode Tanah II di Celah Celah Langit, Gg. Bapak Eni No.8/169A Bandung, Jumat (20/05/23). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Keberagaman Kultur

Pertunjukan teater “Bedol Desa: Ode Tanah II” dilararbelakangi keberagaman kultural nusantara. Keberagaman ini disatukan dalam tujuan yang sama, yaitu membangun kepedulian terhadap lingkungan.

“Dalam pertunjukan ini semuanya mejadi satu keutuhan yang tidak bisa terpisahkan bagaimana kebudayaan itu juga menjadi landasan untuk manusia mencintai lingkungannya dan begitupun sebaliknya,” terang Harry Koi, salah satu anggota CCL.

Susanti, mahasiswa yang menonton pertunjukan, melayangkan apresiasinya terhadap pentas “Bedol Desa: Ode Tanah II”. Menurutnya pentas ini menyampaikan pesan dan kritik terhadap kebijakan pemerintah.

“Syahdu, para pemain mampu menyuarakan pesannya tidak hanya melalui ucapan, gerakan, atau alunan musik saja. Sebuah penolakan kepada pemerintah yang disampaikan dengan karya yang indah,” ungkap Susanti.

Komunitas Celah-Celah Langit

Komunitas seni Celah-Celah Langit resmi berdiri 22 Mei 1998, tepat sehari setelah jatuhnya Suharto sebagai penguasa Orde Baru. Kendati demikian, cikal bakal kelompok ini sudah berkegiatan seni jauh sebelum reformasi 1998.

Mahesa EL Gasani, salah satu pegiat CCL, dalam jurnal Umbara: Indonesian Journal of Anthropology Juli 2019 menceritakan pada 1980-1985, Tisna Sanjaya, seorang seniman asli Ledeng, merintis aktivitas kesenian bersama rekan-rekannya di lahan berukuran 12x7 meter yang awalnya adalah kebun dan kandang ayam. Kegiatan seni yang dilakukan adalah seni rupa.

Kelompok kesenian tersebut dikenal dengan nama Komunitas “Gang Bapa Eni” karena kegiatan kesenian tersebut berlokasi di Gang Bapa Eni. Saat itu, tulis Mahesa EL Gasani, aktivitas kesenian mereka belum terorganisir.

Pada 1986, Iman Soleh, kakak dari Tisna Sanjaya, bergabung ke dalam Komunitas Seni Gang Bapa Eni. Sebagai orang teater, lanjut Mahesa EL Gasani, Iman Soleh membawa warna baru bagi kelompok seni ini. Kegiatan kesenian mereka diperluas. Iman Soleh kemudian mengusulkan nama baru bagi komunitas itu menjadi “Komunitas Serikat Kesenian Bandung”.

“Nama tersebut terinspirasi dari nama Serikat Dagang Islam dan Serikat Islam,” tulis Mahesa EL Gasani, diakses Rabu (24/5/2023).

Corak kegiatan Komunitas Serikat Kesenian Bandung kemudian lebih kental dengan unsur teater. Banyak rekan-rekan Iman Soleh yang notabene adalah para seniman teater bergabung; di antaranya Tony Broer, Didin Sirojudin, Tatang Abdulah, Kristiawan, Kodrat, Gumilar, Setiawan, Asep Budiman, dan Gaus Firdaus.

Mahesa EL Gasani mencatat, sekitar 1994- 1995 terjadi ketegangan politik di Kota Bandung. Pada masa itu pemerintah mencurigai banyak organisasi atau komunitas melawan pemerintah Orde Baru, atau dianggap sebagai organisasi kekirian. Komunitas-komunitas tersebut dicap sebagai “komunitas tanpa bentuk”. Komunitas dengan cap ini terancam dibubarkan. Danb Komunitas Serikat Kesenian Bandung salah satu komunitas yang dicap pemerintah.

Mahesa menuturkan, pemberian label “komunitas tanpa bentuk” bermula saat Komunitas Serikat Kesenian Bandung mementaskan sebuah pertunjukan berjudul “Ruang Tunggu Bapak-Bapak”. Lakon ini mengisahkan situasi politik pada masa orde baru. Naskah lakon dibuat oleh Ging Ginanjar (almarhum), jurnalis sekaligus pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

“Ruang Tunggu Bapak-Bapak” merupakan lakon yang mengkritik pemerintah saat itu yang cenderung represif dan otoriter. “Bapak-bapak” sebagai simbol dari orang-orang yang diam dan tidak berdaya terhadap situasi pada zaman-nya.

Lakon tersebut, catat Mahesa, dipentaskan di Bandung dan TIM Jakarta bertepatan dengan situasi politik yang memanas. “Saat  pertunjukan berlangsung, tempat pertunjukkan dijaga ketat oleh aparat keamanan. Pertunjukan ini juga dianggap salah satu kegiatan gerakan ke kiri-kirian. Padahal, sebenarnya pertunjukan itu bermaksud mengkritisi para politisi dan juga pemerintah yang cenderung tidak memiliki keberanian pada kekuatan besar dari rezim Orde Baru,” terang Mahesa.

Menurut Mahesa, dampak dari pementasan teater “Ruang Tunggu Bapak-Bapak” adalah penangkapan beberapa anggota Komunitas Serikat Kesenian Bandung pada tahun 1996. Alasan yang dikemukakan oleh aparat adalah karena komunitas ini sering mementaskan naskah-naskah Eropa Timur. Padahal menurut Iman Soleh, isi  naskah-naskah tersebut tidak ada kaitannya dengan angenda kekirian atau  komunisme.

“Iman Soleh dan beberapa anggota Komunitas Serikat Kesenian Bandung dilepaskan kembali karena tidak terbukti bersalah. Namun, mereka  sempat  mengalami intimidasi dan kekerasan fisik oleh aparat yang menangkapnya. Kejadian tersebut, membuat aktivitas Komunitas Serikat Kesenian Bandung terhenti,” papar Mahesa. 

Jatuhnya rezim Orde Baru 21 Mei 1998 menjadi momentum bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi, termasuk bagi para seniman. Iman Soleh berinisiatif untuk mengadakan pertunjukan teater di halaman rumah pada 22 Mei 1998 sebagai bentuk perayaan jatuhnya rezim. Di saat yang sama, mereka memiliki menggagas komunitas baru bernama Komunitas Centre Culture of Ledeng.

Pada akhir 1998, lanjut Mahesa, atas usul Sawung Jabo, salah seorang musisi ternama dari grup Kantata, nama Centre Culture of Ledeng diubah menjadi Komunitas Celah Celah Langit yang resmi berdiri 22 Mei 1998.

Visi-misi Komunitas Celah Celah Langit mengutamakan pada nilai di mana warga Ledeng dan anggota Komunitas Celah Celah Langit memiliki hak yang sama dalam berkesenian.

“Kesenian yang diupayakan adalah kesenian dengan kualitas yang bagus, kesenian yang kritis, dan juga kesenian yang beragam, serta berdampak memberdayakan Bagi Komunitas Celah-Celah Langit, kesenian adalah pintu masuk pemberdayaan,” terang Mahesa.

Baca Juga: PROFIL PIK POTADS JABAR: Sistem Pendukung dan Wadah Berbagi untuk Orang Tua dengan Anak Sindrom Down
PROFIL KOMUNITAS EDAN SEPUR: Mengabdikan Diri pada Transportasi Kereta
PROFIL LINGKAR LITERASI CICALENGKA: Menyalakan Semangat Literasi di Timur Bandung

Iman Soleh membuka pertunjukan teatrikal Bedol Desa: Ode Tanah II di Celah Celah Langit, Gg. Bapak Eni No.8/169A Bandung, Jumat (20/05/23). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)
Iman Soleh membuka pertunjukan teatrikal Bedol Desa: Ode Tanah II di Celah Celah Langit, Gg. Bapak Eni No.8/169A Bandung, Jumat (20/05/23). (Foto: Dini Putri/BandungBergerak.id)

Teater sebagai Lokomotif

Seni teater dipilih menjadi lokomotif dari CCL karena di dalamnya mengandung keberagaman unsur seni yang beragam, misalnya seni rupa menjadi bagian artistik, seni sastra sebagai naskah, seni musik bisa menjadi penata musik, seni tari menjadi penata gerak. Seni teater bisa menyatukan keberagaman tersebut menjadi satu hal yang indah dan bermakna.

Para anggota komunitas CCL memiliki latar belakang budaya dan tempat yang berbeda-beda, bahkan ada beberapa warga negara asing (WNA). Luigi Monteanni, misalnya, warga negara Italia ini merupakan peneliti etnomusikolog yang menjadi musisi dan pemain ansambel di komunitas CCL.

Luigi mengatakan, komunitas CCL unik karena di dalamnya terjalin kolaborasi yang harmonis antara orang dan perkembangan seni sehingga terbentuk jaringan bagi seniman dan pemikir.

Mengenai pertunjukan “Bedol Desa: Ode Tanah II”, Luigi menilai lakon ini mengandung topik-topik yang krusial dan sangat penting untuk bisa didiskusikan. Ode ini memuat kritik terhadap perkembangan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini terutama berkaitan dengan budaya agraris yang terdesak kapitalisme.

Luigi berharap seni khususnya teater bisa menjelaskan masalah dan kritik masyarakat kontemporer dengan bahasanya. Sehingga kesenian bisa mempengaruhi dan menginspirasi masyarakat.

Di sisi lain, Iman Soleh mengatakan, ruang-ruang berekspresi dan berkesenian seperti CCL sangat diperlukan di Kota Bandung. Ruang-ruang publik ini menjadi wadah dalam bereskspresi, berkarya, dan membangun strategi untuk melestarikan kebudayaan. Lebih dari itu, ruang publik bisa menjadi tempat berkembang dan bertumbuhnya potensi anak-anak muda.

“Strategi kebudayaan di Kota Bandung mestinya ruang-ruang kesenian seperti ini juga harus dibangun, harus diciptakan. Strategi kebudayaan bukan membuat taman budaya, strategi kebudayaan bukan itu, meskipun saya juga setuju, tapi ada yang jauh lebih elok adalah bagaimana Kota Bandung ini menjadi kota kebudayaan,” terang Iman Soleh.

Informasi terkait aktivitas dan kegiatan komunitas Celah Celah Langit bisa diikuti lewat kanal sosial media mereka di Instagram @komunitasccl.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//