Catatan Seperempat Abad Reformasi
Euforia dan keberhasilan reformasi yang masih sering dielu-elukan hingga kini, masih menimbulkan kontroversi: benarkah reformasi berhasil?
Adrian Aulia Rahman
Penulis merupakan mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad)
21 Mei 2023
BandungBergerak.id - Mei adalah bulan reformasi. Fakta itulah yang terpatri dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia, paling tidak dalam dua setengah dekade terakhir. Suatu tonggak sejarah nasional yang menjadi semacam tapal batas temporal dan monumental bagi transformasi sistemik di segala lini kehidupan bangsa Indonesia. Transformasi yang paling mencolok sekaligus paling diagung-agungkan para ‘reformator’ namun juga paling sering diperdebatkan adalah, transformasi sistem politik dari otoritarianisme ke dalam sistem demokrasi yang lazim disebut era orde reformasi.
Euforia dan keberhasilan reformasi yang masih sering dielu-elukan hingga kini, masih menimbulkan kontroversi: benarkah reformasi berhasil? Apa indikatornya? Sebagai orang yang tidak mengalami kehidupan di bawah rezim Suharto, dengan berbagai kompleksitas problematikanya, saya merasa perlu untuk melakukan semacam penilaian dan pengamatan kritis. Tidak salah kemudian apabila timbul semacam skeptisisme terhadap klaim yang beredar bahwa reformasi telah membawa kehidupan rakyat Indonesia ke taraf yang lebih baik dan sejahtera. Dalam tulisan ini, beriringan dengan momentum memperingati 25 tahun reformasi, saya akan menuangkan dua catatan pribadi saya terhadap peristiwa yang sudah berjalan selama seperempat abad tersebut.
Catatan #1: Suharto: Bukan Iblis ataupun Malaikat, tapi Politikus
Pertanyaan yang selalu muncul dalam kepala saya adalah, bagaimana rakyat melihat figur Suharto pada saat ia berkuasa. Apakah hanya ada kebengisan dan kediktatoran yang mengguar dari sosok Suharto? Atau rakyat melihatnya sebagai presiden yang jenaka dan jawa-sentris secara budaya? Atau boleh jadi sebagai pemimpin kharismatik, berbudi luhur dan suci tanpa dosa? Untuk ketiga pertanyaan itu, semua bisa dijawab dengan YA dan TIDAK, bahkan dengan embel-embel ‘sangat’, sangat YA dan sangat TIDAK.
Pascalengsernya Suharto dari kursi kepresidenan, sosoknya difigurisasi sebagai seorang pemimpin otoriter, korup, pragmatis, dan pelanggar HAM ulung. Hal ini boleh jadi benar, namun tentu saja kita tidak bisa menelan bulat-bulat vonis yang diberikan kepada sosok yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun tersebut.
Saya selalu bertanya, sekaligus membangun semacam konstruksi historis imajiner di dalam benak dengan mengasumsikan bahwa saya hidup di masa kepresidenan Suharto. Apakah saya akan begitu terkekangnya hidup di masa orde baru, sebagaimana Winston Smith yang terkekang dalam kungkungan kediktatoran Bung Besar dan Partainya di Oceania dalam novel Nineteen Eighty-Four karya George Orwell? Adakah polisi pikiran saat itu, di mana pemikiran kita dikekang oleh doktrinasi rezim? Adakah teleskrin yang menatap kita setiap saat, yang sangat membatasi gerak kita? Apakah Pak Harto sediktator Bung Besar dalam novel Orwell?
Jika Pak Harto seburuk sebagaimana narasi politik yang berkembang yang sarat akan sentimen antisuhartoisme, bagaimana dengan suara rakyat yang tidak sedikit sesumbar bahwa “Lebih enak hidup di zaman Pak Harto ya”, “Rindu zaman Pak Harto”, “Suharto adalah presiden terbaik Indonesia”, dan berbagai ungkapan yang mengindikasikan kecintaan seseorang akan masa kepemimpinan Suharto. Dalam membaca hal itu, saya semakin yakin bahwasannya Suharto tidak bisa serta merta kita vonis secara nonkompromi sebagai presiden terburuk, terkorup, ataupun terkejam yang pernah dimiliki Indonesia.
Suharto, sebagaimana politiskus mana pun di dunia, memiliki pecinta dan pembenci yang tidak bisa dipungkiri. Siapa pun tahu bahwa tidak ada kesempurnaan dalam kepemimpinan Suharto, namun juga tidak mutlak keburukan dan kehancuran belaka yang ditinggalkannya untuk Indonesia. Sebagaimana Presiden keempat Republik Indonesia Gus Dur pernah berkata, Suharto berjasa besar bagi Indonesia, tetapi dosanya juga besar.
Saya dapat dipastikan bukan salah satu orang yang memuja rezim orde baru termasuk Suharto-nya, tetapi dalam tulisan ini saya berusaha untuk menuangkan opini saya bahwasannya pandangan kita terhadap Suharto perlu diluruskan, terlebih setelah 25 tahun berlalunya reformasi. Kita sudah seharusnya berhenti memandang Suharto sebagai malaikat yang suci tanpa dosa ataupun iblis yang sangat berdosa juga terkutuk yang sukar untuk diampuni. Kita harus memandang Suharto sebagai politikus yang kadang berperilaku sebagai malaikat ataupun berperilaku sebagai iblis. Dengan memandang figur Suharto sebagai politikus, maka tidak akan ada kecintaan ataupun kebencian yang berlebih kepada mantan presiden kedua Republik Indonesia tersebut.
Baca Juga: Manuver Diplomasi Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia, Antara Kegagalan dan Keberhasilan
Thomas Jefferson, Pejuang Kesetaraan dan Kebebasan Universal
Catatan 24 Tahun Reformasi
Catatan #2: Demokrasi sudah Dimiliki, mau Diapakan?
Pascalengsernya Suharto dari kursi yang sudah 32 tahun didudukinya, Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi. Para aktor reformasi saat itu tenggelam dalam suatu euforia bahwa demokrasi telah dimiliki. Hal ini dapat dipahami, mengingat perjuangan untuk meraih demokrasi tersebut adalah suatu perjuangan dengan jalan yang terjal dan jauh dari kata mudah. Para pionir reformasi, sebut saja Amien Rais, Adnan Buyung Nasution, Rizal Ramli, Gus Dur, dan tokoh lainnya, serta ratusan hingga ribuan mahasiswa, turut serta berjuang melahirkan era orde reformasi yang konon lebih demokratis.
Salah satu amanat reformasi paling krusial adalah penerapan demokrasi. Demokrasi yang dinanti-nantikan itu diperoleh tepat pascalengsernya Suharto. Katakanlah demokrasi sudah diperoleh, dengan jalan yang dibuka lebar oleh perjuangan para aktivis reformasi dan kebesaran hati Suharto untuk lengser, lantas jika sudah diperoleh mau diapakan kemudian? Demokrasi yang kini dimiliki mau diapakan? Dan apakah memang benar yang kita dapatkan ini demokrasi, atau hanya cangkangnya saja?
Dalam mengevaluasi demokrasi tentu ada beragam indikator dengan berbagai variabel yang bisa digunakan. Indeks demokrasi dari berbagai lembaga independen terpercaya pun bisa menjadi acuan dan sarana untuk mengevaluasi demokrasi. Namun dalam tulisan ini, saya akan melakukan evaluasi terhadap demokrasi Indonesia dengan pendapat atau teori yang dikemukakan Schumpeter tentang elitisme demokrasi.
Mengevaluasi demokrasi ini penting selain dalam rangka memperingati seperempat abad reformasi, juga proses menuju pesta demokrasi Indonesia pada 2024 mendatang. Akademikus dan pengamat politik Universitas Indonesia Chusnul Mar’iyah mengutip pendapatnya Schumpeter bahwasannya demokrasi yang ada sekarang ini adalah demokrasi elitis atau elitism democracy. Dalam konteks perkembangan politik Indonesia dewasa kini, elitisme dalam demokrasi ini begitu nyata terlihat di saat peranan elite lebih menentukan daripada suara dan peranan rakyat.
Ironi dari demokrasi elitis adalah pragmatisme para elite lebih mengemuka dan diutamakan daripada suara dan aspirasi rakyat. Rakyat hanya dimanfaatkan sebagai objek yang digunakan untuk memilih lima tahun sekali dari pos satu ke pos yang lain. Partisipasi rakyat hanya sampai ke bilik pemilihan yang hanya memerlukan waktu paling lama dua sampai tiga menit. Contoh nyatanya, proses penentuan calon presiden tidak lebih dari proses permainan para elite di mana rakyat teralienasikan dari proses tersebut. Rakyat adalah penonton yang hanya bisa melihat, dan sebisa mungkin dilarang terlibat dalam serunya permainan. Seperempat abad reformasi, Indonesia masih terjerat oleh sistem demokrasi yang elitis, entah sampai kapan.