PROFIL PIK POTADS JABAR: Sistem Pendukung dan Wadah Berbagi untuk Orang Tua dengan Anak Sindrom Down
Orang tua memegang peran utama agar Anak Down Syndrome bisa tumbuh secara maksimal dengan kemampuan dan kapasitasnya. PIK Potads wadah untuk menguatkan orang tua.
Penulis Awla Rajul14 Maret 2023
BandungBergerak.id – Anni Rochaeni (54) tidak memungkiri jika merasakan penolakan usai dikaruniai anak keduanya yang mengidap sindrom Down. Ia mempertanyakan takdirnya pada Tuhan. Ia menangisi takdir, marah dengan keadaan. Hingga di satu titik, ia tersadarkan bahwa anaknya butuh pertolongan dan harus ditangani sedini mungkin.
Saat anak keduanya itu berusia satu bulan, Anni mencoba membawa ke Yayasan Surya Kanti, sebuah yayasan yang khusus mendidik dan melatih anak berkebutuhan khusus. Namun karena usia anaknya masih belia, belum ada yang bisa dilakukan. Barulah ketika usia anaknya lewat tiga bulan, terapi bisa dilakukan.
Lantas kehidupan Anni bersama suami, tentunya juga si bungsu, dijalani dengan lika-liku terapi. Setiap tiga kali dalam seminggu terapi dilakukan. Usai terapi, ada “PR” yang wajib dikerjakan oleh orang tua untuk melatih otot-otot si bungsu. Sebab, anak Down Syndrome (ADS), pasti bisa berkembang seperti anak lainnya, namun memerlukan bantuan dan latihan khusus.
“Kehidupan kita penuh terapi, anak-anak itu. Karena duduk pasti bisa duduk, cuma cara duduknya harus dilatih mana dulu kakinya yang harus dilipat, mana dulu yang harus digerakkan,” ujar Anni kepada BandungBergerak.id usai konferensi pers menuju Peringatan Hari Down Sydrome Dunia (HDSD) 2023, di Eatboss Dago, Rabu (8/3/2023).
Anni juga mengaku menjalani pengobatan alternatif untuk anaknya selama beberapa bulan. Setelah merasa cukup, terapi medislah yang dilanjutkan dan dijalani dengan konsisten. Sepanjang 12 tahun, anak bungsunya itu hidup dengan “terapi”. Ia senang saat bungsunya bisa menaiki sepeda roda dua sebagai buah dari kerja keras menjalani bertahun-tahun terapi.
Saat masuk usia SD, Anni menyekolahkan anaknya ke sekolah inklusif. Dia meyakini, anak adalah pecontoh yang baik, peniru yang handal. Itulah mengapa ia menyekolahkan anaknya ke sekolah inklusif agar anaknya bisa melihat teman-temannya, lantas mencontohnya. Anni mengaku bukan sia-sia, sebab anaknya bisa berkomunikasi dengan anak-anak lain.
Lanjut jenjang pendidikan SMP dan SMA, Anni memutuskan memasukkan anaknya ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebab tuntutan pelajaran di sekolah biasa semakin sulit di ikuti, padahal banyak mata pelajaran yang tidak dibutuhkan anak dengan sindrom Down. Menurutnya, anaknya membutuhkan sekolah yang bisa memberikan pelajaran lifeskill.
“Belajar Algoritma, buat apa sih anak saya, makanya saya pindahin ke SLB. Dan saya lihat dia lebih berbahagia sama teman-temannya,” ujar Anni.
Adapun yang membedakan saat di sekolah inklusif dan SLB, adalah adanya pendamping. Ketika belajar di sekolah inklusif sang anak memiliki pendamping yang merupakan guru “bayangan” untuk membantu anak berkebutuhan khusus mengejar capaian kognisi seperti siswa-siswa lain.
Sambil bersekolah, terapi juga terus berlanjut. Terapi biasanya dilakukan sepulang sekolah.
Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS EDAN SEPUR: Mengabdikan Diri pada Transportasi Kereta
PROFIL LINGKAR LITERASI CICALENGKA: Menyalakan Semangat Literasi di Timur Bandung
PROFIL RAWS SYNDICATE: Upaya Menambal Ekosistem Fotografi yang Bolong
PROFIL RUMAH CEMARA: Berjuang untuk Indonesia Tanpa Stigma
Kuncinya Temukan Bakat Anak
Anak kedua Anni ini perempuan, kini berusia 21 tahun. Tamat SMA, Anni memutuskan agar anaknya melanjutkan kelas Karya. Sebab, ADS dewasa cenderung banyak yang tidak memiliki kegiatan, kelas Karya merupakan salah satu alternatif agar anak tetap memiliki kegiatan yang positif.
Beragam kelas diikuti oleh anaknya, seperti belajar Zimbe, memasak, keterampilan, les drum, hingga olahraga bowling. Beragam kegiatan diikutkan Anni selagi anaknya mau. Kelas Karya dilakukan setiap Senin-Jumat, ADS diajarkan keterampilan untuk membuat berbagai kerajinan. Karya-karya ini kemudian akan dijual melalui salah satu platform digital yaitu Puka.
“Dia udah dua kali ikut SOIna (Special Olympic Indonesia). Di Riau sekali 2018 main bowling, 2022 dia ikut seni, dia ikut Silat,” ujar Anni bangga.
Anni menegaskan bahwa ADS tetap bisa berprestasi seperti anak-anak lainnya. Namun peran orang tua cukup besar. Sebab belum tentu setiap orang tua punya waktu dan kesempatan untuk mengantar dan melakukan terapi untuk anaknya.
Anni yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Bandung mengaku menguasai bidang keilmuannya. Namun ia tidak memahami seutuhnya tahap tumbuh-kembang anaknya yang spesial. Itulah mengapa, secara bergantian, ia dan suaminya meluangkan waktu untuk melakukan terapi dan melakukan setiap “PR” yang diberikan oleh terapis untuk anaknya.
“Ibu tolong nanti setiap pagi dan sore kerjakan yang seperti ini, saya kerjakan. Alhamdulillah anak saya baca bisa, nulis bisa, WA-an bisa, lifeskill-nya lumayanlah, dia mandiri. Itu sebuah bukti bahwa anak itu bisa kok,” ujar Ani.
Anni menyampaikan, orang tua harus menikmati setiap proses yang dijalani. Ia mengaku kini sedang menuai hasil dari proses. Ia sudah di tahap saat bercerita tentang anaknya tidak lagi bersedih, melainkan bisa tertawa bahagia.
Ia juga tidak mendorong dan memaksakan kehendaknya kepada anaknya. Seperti saat beralih dari sekolah inklusif ke SLB, Anni mengajak anak bungsunya berkeliling ke sekolah-sekolah untuk perbandingan dan memberikan pilihan kepada anaknya. Hal yang sama juga ia terapkan ketika ada suatu kegiatan yang hendak diikuti oleh anaknya.
“Saya selalu tanya, dek ini ada pelatihan ini, mau ikut? Mau bunda. Tapi kalau dia bilang enggak mau aku enggak suka, saya gak ikutkan. Karena dia sudah memilih,” ujar Anni.
Adapun ketika anaknya sudah memilih, Anni menjelaskan konsekuensi yang harus dilakukan oleh anaknya akan pilihannya. Misal harus konsisten, paham dengan konsekuensi dari pilihan dan semacamnya.
“Kemudian yang saya lihat dia enjoy, senang aja melihat anak itu bahagia mengerjakan sesuatu. Kalau sudah bahagia insya Allah hasilnya bagus,” ujar Anni.
Anni berpesan kepada orang tua yang memiliki ADS dan sedang galau, yang harus dilakukan adalah jangan menyembunyikan anak. Ia melihat fenomena ibu menyembunyikan anaknya yang ADS, padahal seharusnya tidak demikian. Anni sejak dulu percaya diri membawa anaknya dalam kegiatan dan memperkenalkannya ke teman dan orang-orang dengan segala kekurangan yang dimiliki anaknya.
“Bersabarlah dengan terapi yang dijalani. Temukan bakat anak, anak itu bakatnya apa, ya kuatkan saja di situ,” pesan Anni.
Wadah Saling Menguatkan bagi Orang Tua
Sindrom Down adalah kondisi kelainan genetik yang membuat penderitanya mengalami keterbatasan intelektual maupun fisik. Peringatan HDSD selalu diperingati setiap 21 Maret. Tanggal 21 mengacu pada tambahan kromosom di kromosom 21 yang membelah diri menjadi tiga kromosom pada penderita sindrom Down.
Kasus sindrom Down di Indonesia mengalami peningkatan. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, kasus sindrom Down pada anak usia 24-59 bulan sebesar 0,12 persen. Riskesdas tahun 2013 meningkat menjadi 0,13 persen dan meningkat lagi menjadi 0,21 persen di tahun 2018.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan ada 300.000 kasus sindrom Down yang terjadi di Indonesia. Secara global diperkirakan terdapat empat juta penderita.
Dengan kondisi anak yang mengidap sindrom Down, orang tua biasanya terpukul pasca melahirkan. Sehingga, wadah saling berbagi informasi dan memberikan dukungan sangat diperlukan bagi orang tua untuk saling menguatkan.
Orang tua memegang peran utama pada tumbuh kembang anak. Orang tua perlu segera sadar akan upaya yang harus dilakukan kepada anaknya, karena ADS harus mendapatkan stimulasi dan terapi khusus sedini mungkin.
Kebutuhan akan wadah inilah yang menjadi cikal-bakal lahirnya Pusat Informasi dan Kegiatan Perkumpulan Orang tua dengan Anak Down Syndrome (PIK Potads) Jawa Barat (Jabar). PIK Potads Jabar awalnya komunitas bagi orang tua untuk saling berbagi, agar tidak merasa sendiri.
PIK Potads kemudian berdiri menjadi yayasan di tahun 2013 sebagai Potads Bandung. Lantas di tahun 2021 menjadi Potads Jawa Barat karena ruang lingkupnya yang meluas. Anggotanya tidak hanya dari Bandung, melainkan juga dari daerah Cirebon, Garut, Sukabumi, dan daerah lainnya.
Ketua PIK Potads Jabar, Mira Widiastuti menyebutkan ada sekitar 600 orang tua yang menjadi anggota. Artinya, meski belum terdata secara rinci, diperkirakan ada sekitar 600 ADS di Jawa Barat. Biasanya pasangan suami istri “memiliki” satu anak dengan dengan sindrom Down.
“Dari awalnya saling menguatkan akhirnya berkelanjutanlah harus bagaimana caranya memelihara anak. Karena anak-anak ini kan harus diintervensi sejak dini, jadi memang harus distimulasi sejak dini,” ungkap Mira Widiastuti (44) kepada BandungBergerak.id usai konferensi pers.
Mira juga menjelaskan, Potads memiliki kegiatan utama, selain rutin memperingati HDSD setiap tahunnya, Potads Jabar juga mengadakan seminar dan pelatihan, baik kepada orang tua dan ADS. Hal ini dilihat dari kebutuhan apa saja yang dibutuhkan, baik orang tua maupun ADS.
Biasanya orang tua akan banyak bertanya apa yang pertama kali harus dilakukan pasca melahirkan, sebab masih awam serta informasi yang masih terbatas, sehingga dibuatlah seminar untuk orang tua. Adapun pelatihan untuk ADS seperti les Zimbe, les tari, dan lainnya.
Selain itu, PIK Potads Jabar membagi empat grup WhatsApp untuk orang tua sesuai dengan kategori usia anaknya. Dimulai dari grup untuk orang tua dengan anak usia bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Pembedaan ini dilakukan karena pengalaman setiap orang tua dan pembagian informasi mengenai tumbuh kembang serta perawatan ADS di setiap jenjang usianya berbeda.
Lingkungan yang Mendukung
Penderita sindrom Down mengalami kelainan genetik yang mengakibatkan gangguan metabolisme. Selain itu, organ-organ tubuh juga ada yang berbeda dengan anak lainnya. Salah satu ciri fisik yang paling mudah dikenali adalah wajah penderita sindrom Down yang mirip, mata sipit dan hidung pesek. Kondisi wajah ini mirip dengan orang-orang Mongolia, itulah mengapa Down Syndrome juga disebut dengan Mongolism.
Mira menyebutkan, ADS akan mampu tumbuh secara maksimal dengan kemampuan dan kapasitasnya ketika lingkungannya mendukung. Lingkungan yang mendukung tidak cukup berangkat dari keluarga saja, melainkan juga dari lingkungan sekitar. Masyarakat cenderung masih banyak yang kurang paham dengan ADS. Sehingga ditemui kasus-kasus ADS yang dirundung di masyarakat.
Hal ini membuat orang tua overprotective. Akibatnya anak tidak terlibat dalam kehidupan sosial. Padahal, ADS juga membutuhkan itu. Mira menyebutkan salah satu upaya yang dilakukan oleh Potads Jabar adalah melakukan kerjasama, baik dengan perusahaan maupun instansi pemerintahan untuk membuat masyarakat lebih sadar terhadap ADS.
Mira menguatkan, orang tua adalah langkah yang paling awal yang harus disadarkan dan dikuatkan. Ketika orang tua telat menerima anaknya mengidap sindrom Down, anak itu akan lambat pula mendapatkan terapi atau upaya-upaya lain yang harus segera dilakukan. Sebab orang tuanya masih belum berdamai dengan dirinya sendiri, sehingga upaya untuk anak lambat diambil.
“Jadi kita ini harus menguatkan orang tuanya dulu, membuat orang tuanya bisa menerima. Di saat mereka sebagai orang tua sudah menerima, maka anak-anak ini bisa berkembang,” ungkap Mira yang anak keduanya mengidap sindrom Down yang kini berusia 11 tahun.
ADS bisa melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak-anak normal lainnya, meski baru bisa melakukannya dalam sembilan hingga sepuluh kali diajarkan. Mira juga mengungkapkan, dalam banyak hal ADS tidak akan bisa seperti anak-anak normal karena gangguan metabolismenya. Selain itu di usia dewasanya, ADS bisa mengalami gejala-gejala penyakit seperti yang dirasakan oleh lansia, seperti asam urat, dan lainnya.
Inilah yang membuat angka hidup ADS lebih singkat dibanding anak-anak normal lainnya. Meski begitu, Mira melanjutkan, kecanggihan teknologi kesehatan masa kini dan pengaturan pola makan yang tepat untuk ADS bisa membuat harapan hidup ADS meningkat. Mira mengaku pernah bertemu pengidap sindrom Down sampai berusia 50-an.
“Jadi mereka pasti akan berbeda dengan anak-anak pada umumnya, meski mereka sudah dewasa. Ada penelitian juga memang, ADS begitu dewasa mengalami penurunan metabolisme, jadi saat mereka usia 20 itu gejala-gejala orang yang di atas 40 itu akan mereka alami,” terang Mira.
Sebagaimana tema peringatan HDSD tahun 2023, Mira berharap agar ADS bisa dilibatkan dalam segala aspek, kegiatan sosial, pekerjaan, dan sebagainya. Artinya, bukan hanya orang-orang membuat kegiatan atau bersuara untuk ADS, tapi libatkan pula mereka pada kegiatan-kegiatan itu.