Pemenuhan Hak Asasi Manusia bagi Kaum Marginal di Jawa Barat Belum Prioritas
Kelompok marjinal kerap mengalami diskriminasi dan belum mendapatkan kesempatan serta ruang yang cukup untuk turut terlibat aktif dalam agenda pemerintah daerah.
Penulis Muhammad Jadid Alfadlin 13 Maret 2024
BandungBergerk.id – Pemenuhan hak-hak kelompok marjinal masih dikesampingkan dalam setiap kebijakan pemerintah. Minimnya upaya perlindungan dan penghormatan untuk kelompok rentan ini menunjukkan bahwa kepentingan bersama masih belum menjadi prioritas pemerintah.
Riset indeks Hak Asasi Manusia (HAM) tahun 2022 yang dirilis Setara Institute menunjukkan minimnya perlindungan bagi kelompok marginal tersebut. Setara Institute mencatat, skor rata-rata pemajuan hak pada kelompok minoritas hanyalah sebesar 2,8. Kelompok minoritas termasuk di antaranya minoritas agama atau kepercayaan, minoritas ras atau etnis, minoritas difabel, minoritas seksual hingga masyarakat adat masih belum mendapatkan perhatian ekstra dari negara.
Praktik inklusivitas dan demokrasi yang menjadi pilar penyangga jalannya pemerintahan selama ini belum maksimal. Terlebih dalam isu pembangunan, baik pada cakupan nasional maupun daerah, nilai-nilai inklusivitas belum sepenuhnya tercermin sebagai arus utama yang diprioritaskan.
Sebab itu, Setara Insitute selaku organisasi yang memang berfokus pada persoalan dan isu kesetaraan, pada 5-7 Maret 2024 lalu telah menyelenggarakan kegiatan peningkatan kapasitas bertajuk “Merancang Agenda Pemajuan dan Perlindungan Hak-Hak Kelompok Marjinal di Jawa Barat”. Kegiatan ini mendorong pengarusutamaan nilai-nilai inklusivitas dalam pembangunan daerah.
“Fokus materi dalam kegiatan ini meliputi Demokrasi dan HAM, Diskriminasi terhadap Kelompok Marjinal, Kelompok Marjinal dalam Konsolidasi Demokrasi, Advokasi, Praktik Advokasi, serta Peran Media,” demikian pernyataan resmi Setara Insitute, diakses Rabu, 13 Maret 2024.
Kegiatan ini menyasar kelompok minoritas dan marjinal yang berada di Jawa Barat guna mendapatkan advokasi terkait permasalahan yang terjadi. Selain itu, kegiatan peningkatan kapasitas ini menjadi forum yang memfasilitasi terbentuknya koalisi kelompok marjinal Jawa Barat.
Kebijakan yang Inklusif
Kelompok marjinal masih belum mendapatkan kesempatan dan ruang-ruang yang cukup dalam proses pembangunan daerah, baik pada tahap perencanaan, pembahasan, maupun tahap evaluasi. Agenda pembangunan iklusif diperlukan guna memperluas keterlibatan kelompok marjinal dalam agenda pembangunan daerah.
Termasuk pada pesta demokrasi Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan menjelang akhir 2024. Dalam konteks inklusi Pilkada, kelompok marjinal yang kerap menjadi objek diskriminasi dan terpinggirkan haruslah menjadi fokus utama sasaran keterlibatan dalam penyelenggaraan pemerintah.
Pilkada serentak 2024 pun dapat menjadi momentum yang tepat perihal memperluas gagasan dan agenda pembangunan inklusif kepada publik. Termasuk di antaranya dengan mendorong pembentukan visi dan misi kontestasi yang inklusif dari calon-calon kepala daerah yang berkontestasi. Memastikan agar visi dan misi yang mereka ungkapkan dirancang dengan pemikiran yang berpihak pada kelompok minoritas dan marjinal.
Berdasarkan hasil pemetaan masalah dari Aliasi Masyarakat Sipil untuk Transparansi, Inklusi dan Demokrasi (Aspirasi) terkait masalah ini, beberapa hal yang perlu didorong guna mengikis permasalahan yang terjadi ialah dengan melakukan peningkatan kualitas dan kuantitas ruang-ruang dialog yang kostrukstif antara kelompok marjinal dan pemerintah, mengintensifkan komunikasi dengan aktor-aktor politik sebagai saluran aspirasi kelompok marjinal, juga dengan memperkuat sinergi dan kolaborassi seluruh elemen masyarakat sipil dan media.
Baca Juga: Pemerintah Belum Serius Memenuhi Hak-hak Perempuan
Ketika Organisasi Para Pembela HAM dan Demokrasi Didemo Massa dan Dijaga Polisi
Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Tanda Kehormatan bagi Terduga Pelanggaran HAM
Diskriminasi terhadap Kelompok Marjinal
Masih adanya kasus penolakan rumah ibadah, penyerangan acara keagamaan, dan persekusi terhadap kelompok yang dianggap berbeda dengan kelompok mayoritas menjadi tanda masih rentannya kelompok minoritas dan marjinal menjadi korban dari perilaku diskriminasi. Produk hukum yang ada masih belum optimal memberikan jaminan perlindungan dan penghormatan kebebasan beragama atau berkeyakinan terhadap golongan yang berbeda.
Dari data yang dimiliki Setara Institute, setidaknya dalam periode tahun 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia. Gangguan ini meliputi pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran juga gangguan-gangguan seupa lainnya.
Data tersebut menandakan bahwa isu terkait kelompok marjinal dan minoritas ini sudah seharusnya menjadi isu strategis yang masuk ke dalam agenda pemerintah, termasuk pemerintah daerah sekalipun. Namun dalam kenyataannya, pemerintah daerah tak jarang juga justru terlibat dalam tindakan diskriminasi ini.
Menurut catatan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pada tinggkat provinsi maupun kabupaten atau kota di Jawa Barat saja terdapat 91 produk hukum daerah yang berpotensi diskriminatif.
Dengan rentetan kasus dan produk hukum yang diskriminatif tersebut, Setara Institute menilai, isu dan permasalahan kelompok marjinal dan minoritas ini masih belum dijadikan sebagai isu yang penting bagi pemerintah daerah.
“Banyaknya produk hukum daerah yang diskriminatif dan membatasi hak-hak kelompok minoritas tertentu, menandakan bahwa isu ini belum menjadi isu strategis dalam agenda pemerintahan daerah,” tegas Setara Institute.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Jadid, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Hak Asasi Manusia