• HAM
  • Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Tanda Kehormatan bagi Terduga Pelanggaran HAM

Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Tanda Kehormatan bagi Terduga Pelanggaran HAM

Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan, penghargaan kenaikan pangkat kehormatan terhadap terduga pelanggaran berat HAM menguatkan tembok impunitas.

Aksi Kamisan Bandung menuntut penegakan HAM di Indonesia, Senin (19/7/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Jadid Alfadlin 28 Februari 2024


BandungBergerak.idPrabowo Subianto, salah seorang yang berdasarkan Keputusan Dewan Kehormatan Perwira KEP/03/VII/1998/DKP telah ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan penyimpangan dan kesalahan sebab melakukan penculikan terhadap beberapa aktivis prodemokrasi pada 1998, kini mendapatkan kenaikan pangkat kehormatan Jenderal (HOR) Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tahun 2024 dari Presiden Joko Widodo.

Pemberian gelar HOR bintang empat ini menurut Koalisi Masyarakat Sipil merupakan langah keliru. Prabowo yang dijatuhkan hukuman berupa pemberhentian dari dinas keprajuritan atas pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu, dinilai tak pantas meyandang gelar kehormatan ini.

Janji Presiden Jokowi dalam kampanyenya yang tertuang pada Nawacita tentang penuntasan berbagai kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia hanya menjadi isapan jempol belaka yang tak pernah terealisasikan sampai hari ini. Pemberian gelar yang diakukannya terhadap Prabowo justru semakin menjauhi realisasi terkait janjinya.

Pengakuan dan penyesalan Presiden Jokowi atas 12 kasus pelangagaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, di mana salah satunya ialah kasus penculikan dan penghilangan paksa yang ditetapkan oleh Komnas HAM, tidak dibarengi dengan konsistensi, komitmen, dan langkah nyata yang dilakukan untuk mengusut dan mengadili tuntas kasus ini.

“Serangkaian tindakan Presiden Joko Widodo yang kerap memberikan apresiasi dan karpet merah bagi terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia tentu turut memperkuat belenggu impunitas di bumi pertiwi,” demikian dikutip dari siaran pers yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Rabu, 28 Februari 2024.

Baca Juga: YLBHI Membuka Posko Advokasi bagi Rakyat yang Bersuara Kritis di Tahun Politik
Kemenangan Haris Fatia Jadi Bukti Nyata Bahwa Hasil Riset tak Bisa Dipenjara
Vonis Bebas Haris Fatia sebagai Simbol tidak Boleh Takut Mengkritik Pejabat Publik

Keterlibatan dalam Pelanggaran Berat HAM

Prabowo telah ditetapkan terlibat dalam kasus penculikan aktivis prodemokrasi pada tahunn 1998. Dia saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus yang menaungi serta memerintah Tim Mawar selaku eksekutor penculikan yang dilakukan pada setidaknya 9 aktivis prodemokrasi.

Dengan rekam jejak tersebut, terlebih dengan tak pernah diadakannya pengadilan HAM ad hoc guna mengadili Prabowo dan terduga pelaku lainnya dalam kasus yang sama, menjadikan nama Prabowo Subianto masih terdaftar dalam daftar hitam terduga pelaku kejahatan kemanusiaan. Tanpa adanya pengadilan HAM ad hoc, nama Prabowo tak bisa diputihkan atau pun dibersihkan dengan cara apa pun.

Tindakan pemberian penghargaan dari Presiden Jokowi terhadap salah satu terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia semakin menunjukan bahwa human rights vetting mechanism tidak pernah berjalan secara penuh di Indonesia. Mekanisme yang melarang pelaku kejahatan paling serius menjadi pejabat negara tertimbun tak terlihat diantara impunitas para pejabatnya.

Hal ini tentu bertentangan dengan soft law internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dalam Prinsip 36 menyebutkan: “Pejabat dan pegawai publik yang secara pribadi bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM, khususnya yang terlibat di bidang militer, keamanan, polisi, intelijen dan peradilan, tidak boleh terus bertugas di lembaga negara.”

Menelan Ludah Sendiri

Kolisi Masyarakat Sipil menyatakan, Presiden Joko Widodo seolah menelan ludahnya sendiri dengan tindakannya yang melanggengkan impunitas terhadap terduga pelaku kejahatan HAM di Indonesia. Pemberian penghargaan ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap janjinya dalam Nawacita, juga parahnya pengkhianatan terhadap korban dan reformasi yang diperjuangkan pada tahun 1998.

Dengan penghargaan kehormatan yang diberikan secara terbuka ini, praktis pupus sudah janji yang pernah diucapkan Presiden Jokowi dalam kampanyenya. Perjuangan korban dan Indonesia sebagai bangsa dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masih belum dapat berakhir pada periode ini.

Selain hal tersebut, tindakan ini secara jelas tentunya merusak nama baik institusi TNI. Keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang secara lugas menyatakan Prabowo Subianto bersalah dan melakukan penyimpangan penculikan terhadap para aktivis sehingga diputuskan untuk diberhentikan dari dinas keprajuritannya, seolah tak dianggap dan tak pernah terjadi.

Seseorang yang telah diberhentikan dari dinas keprajuritan, mendapatkan penghargaan kenaikan pangkat kehormatan Jenderal. Hal ini menjadi pertanyaan bagi integritas, warwah, dan martabat dari TNI. Sebab sejatinya yang patut diberikan untuk terduga pelaku pelanggaran berat HAM bukanah penghargaan, melainkan pengadilan ad hoc guna mengadilinya.

Oleh karena tindakan ini, Kolisi Masyarakat Sipil menyatakan agar pemberian pangkat kehormatan tersebut dibatalkan. Selain itu, meminta agar pemerintah yang disertai Komnas HAM RI dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dapat dengan serius mengusut kasus kejahatan pelanggaran HAM.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Jadid, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Hak Asasi Manusia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//