Kemenangan Haris Fatia Jadi Bukti Nyata Bahwa Hasil Riset tak Bisa Dipenjara
Kemenangan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di pengadilan sekaligus menunjukkan ada bisnis pejabat dan ketidakadilan yang terjadi di Papua.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah9 Januari 2024
BandungBergerak.id - Kemenangan dua aktivis Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti di persidangan kasus pencemaran nama baik menjadi angin segar bagi ruang demokrasi. Di samping itu, persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini menunjukkan fakta kerakusan penguasa di Papua.
Aliansi Mahasiswa Papua se-Jabodetabek menyebutkan apa yang disampaikan oleh Haris Fatia dalam tayangan video podcast merupakan kebenaran di pulau kepala burung.
"Itu fakta real yang terjadi di Papua, merupakan apa yang dialami oleh orang Papua, mewakili suara orang Papua yang tidak didengar oleh pemerintah pusat. Dengan adanya putusan bebas menjadi ruang demokrasi harus dibuka oleh pemerintah pusat di Papua," tutur salah seorang mahasiswa Papua di halaman kantor LBH Jakarta, Senin, 8 Januari 2024.
Sebelumnya, kedua aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti disidang atas kasus pencemaran nama baik terkait podcast “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-ops Militer Intan Jaya!! Jendral BIN juga ada! NgeHAMtam”.
Haris Azhar dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) jo. UU ITE Pasal 55 ke (1) KUHP hukuman 4 tahun serta denda 1 juta rupiah dengan subsider 6 bulan kurungan. Jaksa juga meminta agar video link YouTube Haris Azhar dihapus dari jaringan internet. Fatia dituntut 3 tahun 6 bulan.
Kasus kriminalisasi terhadap kedua aktivis prodemokrasi ini mendapatkan titik akhir dan angin segar dalam sidang vonis yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana dengan Hakim Anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudi. Hakim menyatakan segala unsur tuntutan JPU tidak terpenuhi.
"Membebaskan dalam segala dakwaan," kata Cokorda Gede, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta.
Juga Kemenangan untuk Papua
Pascapersidangan, Kontras merilis poin-poin penting dalam pengadilan kemarin. Majelis Hakim menyatakan bahwa Pasal 27 ayat 3 UU ITE tidak bisa dilepaskan dari putusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Keputusan Bersama tiga lembaga yakni Kominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa kata ‘lord’ bukan masuk ke dalam unsur pencemaran baik. Begitupun yang diucapkan oleh Fatia dalam video podcast, yakni kata ‘jadi penjahat juga kita’, menurut majelis perkataan tidak menuju kepada LBP sehingga juga tidak dapat diklasifikasikan kepada penghinaan.
Sementara untuk kalimat ‘bisa dibilang bermain tambang yang terjadi di Papua hari ini’ yang diucapkan Fatia (di podcast Haris), hakim menilai bahwa hal tersebut terbukti dan tidak dapat diingkari, sebab PT TDM sebagai anak perusahaan PT Toba Sejahtera yang sahamnya dimiliki 99 persen oleg LBP, memiliki keterkaitan pada penjajakan bisnis di Papua.
Hakim menambahkan bahwa unsur-unsur pasal tidak terbukti menurut hukum, terdakwa tidak terbukti melakukan delik sebagaimana diatur pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik atau dalam dakwaan pertama.
Lebih lanjut, hakim turut membacakan pasal dakwaan lainnya yakni Pasal 14 UU No 1 tahun 1946 tentang pemberitahuan bohong. Dalam pasal ini pun, pertimbangan hakim menyatakan bahwa PT Toba sebagai Beneficiary Owner (BO) terlihat dari korespondensi antara Paulus Prananto dengan PT MQ dan West Wits Mining untuk darewo project.
Sehingga, yang diucapkan oleh Fatia dan Haris yang mana didasari pada hasil riset koalisi masyarakat sipil bukan merupakan berita bohong. Lebih lanjut, hakim pun menilai bahwa judul podcast ‘Ada Lord Luhut di Balik Operarsi Militer di Papua” juga bukan merupakan pemberitaan bohong sehingga dakwaan primair kedua tidak terpenuhi.
Selain itu, perihal Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana khususnya berkaitan dengan keonaran, dalam dakwaan kedua subsidair, merujuk pada publikasi yang dilakukan australia stock exchange, terbukti bahwa telah ada penjajakan bisnis antara PT TDM dan West Wits Mining. Adapun PT TDM sebagai anak dari PT Toba Sejahtera sehingga Luhut memperoleh manfaat karena mendapatkan laporan keuangan secara berkala. Dalam penjabaran ini, pasal ini juga tidak terpenuhi.
Begitupun Pasal 311 KUHP sebagai dakwaan ketiga dalam perkara ini, majelis hakim dalam putusannya pun menjabarkan unsur-unsur yang ada. Sama seperti pasal-pasal lainnya, hakim menyatakan bahwa yang dilakukan Fatia dan Haris bukanlah melanggar kehormatan dan nama baik, melainkan sebuah kenyataan sehingga delik pada unsur pasal ini tidak terpenuhi.
Dalam kesimpulannya, hakim membacakan bahwa seluruh unsur tidak terpenuhi baik dari dakwaan primair, dakwaan kedua primair, dakwaan kedua subsidair, hingga dakwaan ketiga.
Berdasarkan putusan ini, Muhammad Isnur dari Tim Advokasi untuk Demokrasi menuturkan, “putusan ini memberikan pesan bahwa kita harus dan terus mengkritik, berbicara dan menyampaikan pendapat. Apa yang disampaikan hakim adalah kebenaran, karena menyebut demokrasi dan kebebasan berekspresi. Putusan ini menyampaikan pesan bahwa jangan takut dan jangan berhenti.”
Isnur menambahkan, tujuan awal podcast Haris Fatia adalah membantu masyarakat di Papua yang masih hidup dalam situasi kekerasan dan pelanggaran HAM.
Arif Maulana yang juga dari Tim Advokasi untuk Demokrasi pun menyampaikan apa yang dibacakan majelis hakim dalam putusannya mengakui bahwa riset dari koalisi masyarakat sipil adalah benar dan harus diakui sebagai sebuah fakta.
“Riset tersebut menyatakan bahwa terdapat conflict of interest dari LBP. Maka, ketika ingin hukum setara, polisi harus mengusut jejak bisnis pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan Luhut,” kata Arif.
Arif Maulana berhara Mahkamah Agung bisa konsisten jika ada upaya hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini.
Baca Juga: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia
Vonis Bebas Haris Fatia sebagai Simbol tidak Boleh Takut Mengkritik Pejabat Publik
Pencemaran Nama Baik, Kritik, dan Solidaritas Publik
Riset tak Bisa Dipenjarakan
Setelah pembacaan putusan dan dinyatakan vonis bebas dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Fatia mengatakan bahwa riset tidak bisa dipenjarakan.
"Riset tidak bisa dipenjarakan, riset harus diuji dengan antitesis dengan kritik lainnya, dan juga dengan temuan-temuan lain," tutur Fatia, di acara refleksi di kantor LBH Jakarta.
Kemenangan, lanjut Fatia, tidak boleh berhenti apalagi di musim tahun politik. Koordinator KontraS 2020-2023 ini juga mengajak untuk selalu melawan pembungkaman dan undang-undang yang melegitimasi kekerasan.
"Kita tidak takut untuk mengkritik, kita akan terus mengkritik apa pun yang menjadi ancaman di depan, dan ketika kalah justru harus melawan lebih keras. Dan kita tahu selama masih ada undang-undang yang legitimasi kekerasan dan pembungkaman kita harus selalu ada di depan barisan," ujar Fatia.
Sementara itu, Haris Azhar menyebut kebenaran akan menang melawan kejahatan. Haris juga mengatakan advokasi menjadi cerita yang tak pernah berakhir di mana ruang demokrasi harus didapatkan dengan tangan rakyatnya sendiri.
"Advokasi itu simulasi artinya cerita yang tak pernah berakhir, adalah menjadi ruang dan fasilitator mengungkap kebenaran," jelas pendiri Lokataru ini.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Muhammad Akmal Firmansyah, atau membaca artikel-artikel tentang perkara Haris Fatia