Pemerintah Belum Serius Memenuhi Hak-hak Perempuan
YLBHI: Kebijakan-kebijakan pemerintahan Joko Widodo belum menunjukkan keberpihakan kepada kaum perempuan. Hanya sebatas formalias yang tak dipraktikkan.
Penulis Muhammad Jadid Alfadlin 8 Maret 2024
BandungBergerak.id - Berbarengan dengan pelaksanaan pemilu dan padatnya agenda politik, peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini di Indonesia menjadi momen penting bagi gerakan masyarakat sipil, terkhusus bagi gerakan perempuan, untuk mengevaluasi dua periode perjalanan kekuasaan Joko Widodo.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) dan Aliansi Perempuan Indonesia sama-sama mengkritik pemerintahan Jokowi. YLBHI menyatakan, kebijakan maupun keputusan yang diambil rezim pemerintahan Joko Widodo selama ini tak lagi berpihak pada hak-hak perempuan. Sebaliknya, hak asasi manusia dan hak-hak perempuan berada dalam ancaman serius.
Aliansi Perempuan Indonesia yang merupakan forum bersama organisasi gerakan perempuan menyerukan perlawan terhadap carut marutnya kebijakan dan demokrasi. Mengajak semua pihak untuk turut bersama berpartisipasi membangun demokrasi khususnya kesetaran gender.
“Pemerintah abai terhadap kebijakan yang berpihak pada perlindungan perempuan, seperti tidak kunjung segera mengesahkan RUU PRT dan tidak segera memproses pengesahan lima Peraturan Presiden dan lima Peraturan Pemerintah sebagai aturan turunan yang diamanatkan oleh UU TPKS,” ungkap keterangan resmi YLBHI, Jumat, 8 Maret 2024
Pada beberapa kasus, lanjut YLBHI, rezim pemerintahan Joko Widodo pun turut andil dalam praktik represi, intimdasi, dan ancaman terhadap perempuan serta entitas kelompok lainnya. Hal ini tentu menjadi momok menakutkan bagi perjuangan perempuan dalam membela haknya.
Ketidakberpihakan Pemerintah pada Perempuan
Sebagai kelompok yang memiliki peran sosial paling banyak, perempuan dalam berbagai pergerakannya masih harus berjibaku dengan upaya pemenuhan hak asasinya yang gagal dijamin secara menyeluruh oleh negara. Salah satunnya dengan minimnya perlindungan hukum yang menunjukan keberpihakan pada perempuan.
Pelaksanaan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang belum maksimal menjadi bukti ketidakseriusan negara dalam menangani permasalahan ini. Selama dua tahun pelaksanaannya, tantangan dan hambatan yang terjadi terhadap UU TPKS justru kerap muncul dari pemerintahan itu sendiri.
Alur yang berbelit dalam birokrasinya, melempar-lempar korban dari satu lembaga ke lembaga lainnya, masih kerap terjadi dan menyebabkan semakin memburuknya kondisi psikologis korban yang seharusnya segera ditangani dan mendapatkan upaya pemulihan.
Pada kasus lainnya, YLBHI mencatat pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU-PPRT) juga tak kunjung rampung. RUU PPRT yang sudah terkatung-katung selama kurang lebih dua dekade masih harus menunggu antrean, bertolak belakang dengan mudahnya pemerintah mengesahkan kebijkan-kebijakan kontroversial yang hanya menguntungkan para investor.
Dari data yang dimiliki Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), dalam lima tahun terakhir (2018-2023) terdapat 2.641 insiden kekerasan yang terjadi pada pekerja rumah tangga. Terbaru, sepanjang Ferbruari 2024 setidaknya terdapat 8 kasus berkenaan dengan kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
“Kasus-kasus tersebut menunjukan betapa lemah dan mengkhawtirkannya posisi pekerja rumah tangga saat ini,” lanjut YLBHI.
Tidak Ada Komitmen Serius
Ketidakseriusan pemerintah dalam merespons permasalahan kaum hawa terus berlanjut dan semakin terlihat jelas pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Dapat dilihat dari tidak terlaksananya pemenuhan hak perempuan untuk terlibat dalam kancah politik Pemilu 2024 sebagaimana yang diatur pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 dan regulasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“bahkan, sejak diberlakukannya aturan afirmasi untuk keterwakilan perempuan. Belum pernah terjadi pelanggaran sebesar ini, di mana mayoritas partai politik dengan jelas melanggar aturan. Dan yang lebih mencemaskan, KPU membiarkan pelanggaran tersebut terjadi,” terang YLBHI.
Mayoritas partai politik dinyatakan gagal memenuhui kuota 30 persen perempuan politik sebagai syarat untuk mengikuti pemilu. Partisipasi perempuan dalam pemilu hanya dianggap sebatas menjadi pelengkap saja.
Meski terdapat upaya formal untuk memastikan keterwakilan perempuan dalam politik, fenomena praktik politik yang terjadi masih jauh dari aspirasi untuk kesetaraan gender dalam arena politik. Kultur patriarki yang masih kuat dan minimnya penegakan hukum yang tegas semakin memperburuk kondisi ini.
Menanggapi kondisi tersebut, LBH-YLBHI melalui siaran persnya meyampaikan desakannya keada Presiden dan DPR RI guna merumuskan dan mengesahkan kebijakan yang dapat mengakomodir perlindungan bagi setiap perempuan, termasuk perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan.
LBH-YLBHI juga mendesak mencabut segala peraturan atau kebijakan diskriminatif dan intimidatif yang mengancam hak asasi dan kesetaraan gender.
Aliansi Perempuan Indonesia Menyerukan Perlawanan pada Kemrosotan Demokrasi
Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day (IWD) diperingati tepat di tanggal 8 Maret pada setiap tahunnya. Hari yang lahir dari aksi mogok kerja para perempuan Rusia guna menuntut roti, tanah, dan perdamaian pada tahun 1917 ini merupakan tonggak tahunan perjuangan perempuan di seluruh dunia guna mengakhiri segala bentuk kekerasan, pelecehan, dan diskriminasi berbasis gender.
Di Indonesia, bertepatan dengan peringatan IWD terjadi kemrosotan demokrasi yang disebabkan absennya Dewan Perwakian Rakyat (DPR) dalam menjalankan fungsi checks and balance terhadap eksekutif yang menjalankan pemerintahan, menyebabkan semakin menyempitnya kebebasan masyarakat sipil untuk berpendapat.
Dari beberapa kebijakan atau Undang-undang (UU) yang telah diresmikan seperti UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU Pemekaran Papua dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pemerintah justru hanya melapangkan jalan investasi melalui kebijakannya. Pemerintah juga mempertontonkan ketidakseriusannya pada demokrasi.
“Kemrosotan demokrasi di Indonesia juga tergambar jelas dalam proses Pemilu 2024, dimana kita dipertontonkan ketidaknetralan presiden dengan ‘cawe-cawenya’ hingga jajaran menterinya dan pelanggaran etik karena adanya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak berhenti sampai disitu, Presiden Jokowi juga menjadi aktor utama yang melanggengkan impunitas bagi para penjahat Hak Asasi Manusia (HAM),” demikian keterangan resmi Aliansi Perempuan Indonesia.
Aliansi Perempuan Indonesia melihat situasi ini merupakan ancaman yang serius bagi demokrasi di Indonesia, juga tentunya bagi partisipasi perempuan dalam berbagai gerakan yang ada di Indonesia itu sendiri.
Baca Juga: Membeda-bedakan Perempuan dan Laki-laki, Membuka Pintu pada Kekerasan Berbasis Gender
Hari Perempuan Internasional di Bandung, Stop Kekerasan Terhadap Wanoja
Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Menihilkan Partisipasi dan Kesejahteran Perempuan
Di Indonesia partisipasi perempuan di berbagai lini kehidupan masyarakat masih sulit untuk terealisasikan. Tingginya penyerapan tenaga kerja perempuan pada kenyataannya masih tidak bisa dijadikan indikator peningkatan partisipasi perempuan. Perempuan justru dipaksa masuk dalam lubang kemiskinan melalui kebijakan upah murah. Hal ini kemudian diperparah dengan belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur.
Relasi kerja informal, tak adanya pengakuan status kerja yang pasti, minimnya perlindungan penyandang disabilitas, minimnya perlindungan bagi ibu hamil dan menyusui, perilaku-perilaku diskriminatif pada keragaman identitas gender dan orientasi seksual, hal-hal tersebut menjadi ancaman serius yang menghantui perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“Hal ini menunjukan bahwa sampai saat ini komitmen pemenuhan hak perempuan dalam politik dari hulu hingga hilir hanya menjadi sekedar jargon belaka,” ungkap Aliansi Perempuan Indonesia.
Terlebih bagi mereka para perempuan yang juga merupakan seorang buruh di pabrik, kesejahteraan sepertinya masih belum dapat terlihat di kehidupannya. Perempuan masih sekadar menjadi tenaga kerja murah dampak dari semakin lapangnya jalan investasi dan pembangunan.
“Dalam konteks industri padat karya, salah satunya sektor garmen yang memperkerjakan 90 persen perempuan, justru memperlihatkan bagaimana nihilnya kesejahteraan buruh perempuan di industri tersebut,” lanjut Aliansi Perempuan Indonesia.
Tegakan Demokrasi dan Supremasi Hukum
Sumarsih, salah satu presidium Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) telah mengirimkan surat terbuka sebanyak lebih dari 445 kali kepada Presiden Jokowi. Surat tersebut berkaitan dengan tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat dengan diadakannya Pengadilan HAM A-hoc. Namun hal tersebut tak pernah menemui hasil, selama 17 tahun masyarakat sipil menggelar Aksi Kamisan, tak sekali pun pengadila Ad hoc pernah dilaksankan.
Harapan yang sempat dijanjikan Jokowi dalam Nawacita dengan menemui sejumlah perempuan korban pelanggaran HAM telah purna. Dengan dilantiknya Wiranto sebagai Menkopolhukam pada masa awal kenaikan Jokowi sebagai Presiden, maka lengkap sudah kepikunan pemerintah.
Jokowi bukan hanya tidak lagi mengingat para korban pelanggaran HAM, ia telah melupakan janjinya pada masa kampanye dengan begitu cepat. Terlebih dengan kondisi politik saat ini, perjuangan korban pelanggaran HAM untuk meraih keadilan akan semakin terjal nan panjang.
Dengan kondisi yang terjadi saat ini, Aliansi Perempuan Indonesia menuntut dan menyerukan penegakan demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia dengan sebenar-benarnya. Selain itu, Aliansi Perempun Indonesi juga menyerukan untuk diwujudkannya kebijakan yang mendukung penghapusan kekerasan dan melindungi perempuan serta menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM.
IWD 2024 diharapkan dapat mengunggah kesadaran publik dan DPR akan bahayanya regresi demokrasi yang sedang berlangung. Aliansi Perempuan Indonesi mengajak semua pihak untuk bersama memperkuat kerangka hukum, meningkatkan partisipasi dan representasi politik.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Jadid, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Perempuan