Perempuan-perempuan Pembela HAM dari Bandung Melawan Penggusuran
Eva Eryani dan ibu-ibu Dago Elos mewakili semangat perempuan-perempuan yang melawan dan mempertahankan rumah di titik penggusuran Kota Bandung.
Penulis Awla Rajul8 Maret 2024
BandungBergerak.id - Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day 2024 (IWD)) menjadi tolok ukur sejauh mana perempuan-perempuan Indonesia merdeka. Faktanya, kaum hawa masih harus berjuang melepaskan diri dari belenggu-belenggu di lingkup domestik (rumah tangga) maupun di ranah sosial. Di Bandung, perjuangan perempuan dapat dilihat dari dua titik penggusuran, Tamansari dan Dago Elos.
Eva Eryani Effendi adalah satu-satunya dari sekian banyak warga Tamansari yang memilih tetap bertahan dari penggusuran pembangunan proyek rumah deret Tamansari. Eva bertahan selama enam tahun, didampingi oleh paralegal dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) maupun kawan-kawan solidaritas.
Penggusuran berdampak banyak pada hidup Eva. Sebelum penggusuran besar yang terjadi pada 2019, ia memiliki rumah dua lantai yang digunakan untuk usaha konveksi dengan jumlah pekerja 11 orang. Setelah digusur paksa, Eva bertahan di rumah bedengnya dengan satu unit mesin jahit sebagai sumbu hidup.
Eva menghadapi kenyataan pahit ketika Pemkot Bandung, eks-warga Tamansari, dan sejumlah orang yang diduga ormas menggusur satu-satunya rumah bedengnya 18 Oktober 2023 lalu. Penggusuran rumah bedeng ini berakhir dengan kebakaran.
“Aku melawan kolonialisme hari ini. Rumahku telah kubakar, Tamansari lautan api,” bisik Eva, ketika menerima sapaan dan penghiburan kawan-kawan solidaritas di pelataran Masjid Al Islam, Rabu, 18 Oktober 2023 usai terkepung dua jam oleh warga eks-Tamansari, Satpol PP, dan sejumlah orang yang diduga ormas.
Eva tak patah arang. Kini, perempuan pejuang agraria ini bersolidaritas dengan warga Dago Elos yang juga tengah berhadapan dengan konflik penggusuran. Di Dago Elos, penggusuran akan berdampak pada kehidupan dan penghidupan ratusan KK (Kepala Keluarga) yang telah mendiami kawasan ini sekitar tiga generasi.
Perempuan-perempuan Dago Elos, bahkan anak-anaknya harus ikut panas-panasan dan hujan-hujanan untuk melakukan berbagai demonstrasi demi mempertahankan rumah mereka. Yang terbaru, aksi di Pengadilan Negeri (PN) Bandung untuk menuntut penetapan objek Dago Elos tidak bisa dieksekusi. Ibu-ibu Dago Elos tak absen turun berjuang mempertahankan haknya. Bahkan pada agenda pemanggilan Aanmaning pertama di PN Bandung pada 20 Februari lalu, ruang sidang dijejali perempuan-perempuan Dago Elos.
“Punya hati nurani gak sih kalian? Jangan hanya demi uang, kalian (memilih) tutup mata, buta! Tolong pak, perhatikan kami warganya. Di sini kami itu meminta hak kami. Tolong pak, kita ga bisa tidur, pak, mikirin takut digusur! Bapak enak di sini, ongkang ongkang kaki, tinggal tanda tangan lalu dibayar pula! Enak bener! Kalau bapak di posisi kami gimana? Tolong pikir, pak! Kalian itu (bergelar) S1, S2, S3! Saya cuma lulusan SMP, tapi nggak bodoh seperti kalian,” ungkap Novi, warga Dago Elos, saat berorasi di depan PN Bandung.
Baca Juga: Membeda-bedakan Perempuan dan Laki-laki, Membuka Pintu pada Kekerasan Berbasis Gender
PN Bandung Harus Membatalkan Eksekusi Tanah Dago Elos
Solidaritas Mahasiswa Mempertahankan Dago Elos Sabubukna
Perempuan-Perempuan Pembela HAM
Tidak hanya di Bandung, secara nasional perempuan-perempuan Indonesia juga menghadapi perjuangan mempertahankan ruang-ruang hidup yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM). Mereka menjadi korban dari ketimpangan penguasaan lahan dan sistem yang tidak demokratis.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) pada 2021, 60 persen daratan Indonesia telah diserahkan kepada korporasi melalui berbagai perizinanizin. Izin-izin ini mencaplok wilayah kelola rakyat, wilayah adat, ekosistem esensial, hingga kawasan kehidupan masyarakat yang menopang ekosistem kehidupan.
“(Ketimpangan itu) secara khusus membuat perempuan harus terpisah dari tanahnya dan mencari penghidupan baru, ke kota, misalnya, dengan menjadi buruh upah murah. Pilihan lainnya adalah bertahan di kampung lalu menjadi Buruh Harian Lepas (BHL) di perusahaan-perusahaan yang sebelumnya telah merampas tanah para perempuan,” demikian catatan Walhi, dikutip dari keterangan resmi terkait peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2024.
Persoalan penguasaan lahan memiliki dampak jangka panjang. Sebab, baik saat menjadi buruh upah murah maupun BHL, perempuan sering kali harus berhadapan dengan persoalan baru. Pelecehan seksual dan verbal serta tidak terpenuhinya hak-hak dasar perempuan menjadi masalah jenis baru yang dihadapi.
“Tidak sedikit juga perempuan-perempuan dengan beban kerja di publik seperti ini, juga masih dibebani sepenuhnya kerja-kerja domestik di rumah tangganya. Beban yang berlapis-lapis ini sering kali berdampak pada psikologis perempuan, bahkan tidak jarang juga terjadi kekerasan dalam rumah tangga akibat pemiskinan yang terjadi,” beber Walhi.
Perempuan, lanjut Walhi, juga merupakan entitas yang memikul beban berat ketika bencana ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam. Situasi macam ini menggambarkan kegagalan negara dalam memenuhi, menghormati, dan melindungi HAM, khususnya kepada perempuan untuk memperoleh hak lingkungan, ekonomi, dan kehidupan yang baik.
Persoalan lainnya adalah, ketika perempuan sudah sadar akan haknya dan melakukan pembelaan, perempuan harus mengalami berbagai kekerasan (verbal, fisik, hingga seksual), intimidasi, dan kriminalisasi. Walhi bahkan mencatat, perempuan pembela HAM mengalami peningkatan kasus kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.
“Hukum yang seharusnya mampu menjamin pemenuhan, perlindungan dan penghormatan hak asasi perempuan ini, faktanya tidak beroperasi secara maksimal. Bahkan tidak mampu menjawab dampak yang berlapis-lapis tersebut,” kata Walhi.
Padahal, berbagai regulasi telah memberikan jaminan bagi perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan, seperti Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Pasal 66), Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Namun, upaya kriminalisasi masyarakat, termasuk perempuan pembela HAM dan pejuang lingkungan terus meningkat menggunakan strategi Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Strategi ini digunakan untuk menghentikan atau menghukum warga negara yang menggunakan hak politik mereka dengan tujuan mengalihkan perhatian publik dari isu publik menjadi ranah privat.
Kasus SLAPP trennya meningkat. Pasal 66 pada UUPLH yang bisa digunakan untuk melindungi para pembela HAM dan lingkungan, termasuk perempuan, belum dioperasionalkan untuk melindungi para pejuang. Walhi menilai, persoalan yang dialami perempuan pembela HAM tidak berdiri sendiri, bahkan interseksional.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Sengketa Tanah Dago Elos