• Berita
  • Membeda-bedakan Perempuan dan Laki-laki, Membuka Pintu pada Kekerasan Berbasis Gender

Membeda-bedakan Perempuan dan Laki-laki, Membuka Pintu pada Kekerasan Berbasis Gender

Perempuan sering diposisikan lembut dan pasif di dunia nyata maupun di media sosial. Citra ini dimanfaatkan oleh iklan-iklan produk di media sosial.

Diskusi terbuka International Women’s Day 2024 (IWD) 2024. Gedung Geugeut Winda UPI, Bandung, Rabu, 6 Maret 2024. (Foto: Muhammad Jadid Alfadlin/BandungBergerak.id)

Penulis Muhammad Jadid Alfadlin 7 Maret 2024


BandungBergerak.idDalam kehidupan sehari-hari, kekerasan berbasis gender rentan terjadi baik di lingkup-lingkup domestik, ranah kampus (pendidikan), maupun di media sosial. Contohnya, seorang istri hidup dalam batasan-batasan dari suami yang mencabut kemerdekaan ekonominya, memaksanya untuk diam dan tak diperkenanan bekerja ke luar rumah guna memiliki penghasilan atau menentukan pilihan hidup lainnya.

Posisi seorang istri tersebut sudah dianggap normal. Di sisi lain, ada pembiaran terhadap norma-norma yang memandang laki-laki sebagai sesuatu yang lebih tinggi dibanding perempuan. Merasionalkan gambaran sosok laki-laki adalah yang kuat sedangkan perempuan merupakan sosok yang pasif dan lemah dalam sosiokultural.

Rasya Nigitama, perwakilan dari Lembaga Pengkajian dan Pengabdian Masyarakat Demokratis (LPPMD), menjelaskan pencitraan diri laki-laki dan perempuan yang tidak setara memungkinkan terjadi kekerasan berbasis gender.

“Kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan pada seseorang karena gender orang tersebut, yang mempengaruhi orang tersebut. Kekerasan yang hadir karena orangnya itu mempunyai gender yang berbeda,” terang Rasya Nigitama, dalam diskusi peringatan International Women’s Day 2024 (IWD) yang digelar Aliansi Simpul Puan bersama Pembebasan Bandung dan beberapa simpul kolektif lainnya, di Univertisas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Rabu, 6 Maret 2024.

Ilustrasi Temu Perempuan Pembela HAM yang bertema Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi. (Sumber: Walhi)
Ilustrasi Temu Perempuan Pembela HAM yang bertema Perempuan Pembela HAM dan Rapor Hitam Demokrasi. (Sumber: Walhi)

Pengkotak-kotakan Perempuan dan Laki-laki

Norma-norma yang menjadikan adanya tingkatan antargender belum juga hilang hingga saat ini. Terbaru, terdapat sebuah tren di media sosial yang mengklasifikasikan gender perempuan dan laki-laki berdasarkan energi: feminin dan maskulin. Feminine diasosiasikan sebagai sesuatu yang lemah lembut juga lucu, maskulin digambarkan sebagai sesuatu yang kuat dan jantan.

Menurut Siti Romanah, dari Pembebasan Kolektif Bandung, dikotomi tersebut hadir sebagai taktik pemasaran dengan tujuan menarik minat pembeli terhadap sebuah produk tertentu.

“Taktik marketing yang mempergunakan miskonsepsi tentang gender untuk menjual produk,” Ujar Siti, di sela-sela diskusi.

Lebih lanjut, IA menjelaskan taktik marketing yang membentuk dikotomi dapat menjadi bahaya. Dengan semakin populernya taktik marketing di media sosial, akan berdampak pada orang-orang yang menganggap bahwa hal tersebut bukan hanya taktik marketing melainkan memang kenyataan.

Rasya Nigitama menambahkan bahwa dikotomi yang terjadi merupakan sebuah pendekatan kembali dari norma gender yang mendikte mengenai apa yang seharusnya laki-laki atau pun perempuan lakukan.

Selain itu, adanya dikotomi yang memisahkan tingkatan antar gender ini pun menyebabkan terbentuknya dikotomi gender dalam sebuah pergerakan. Tak jarang sebuah gerakan menjadi dicap sebagai gerakan yang feminin atau pun menjadi gerakan yang maskulin dampak dari dikotomi yang terjadi.

“Yang ingin aku sampaikan adalah bahwa harusnya semua hal tersebut menjadi sesuatu yan ekstensional, bahwa hal isu-isu tersebut sangat mempengaruhi baik perempuan, laki-laki maupun gender-gender lain,” jelas Rasya.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional di Bandung, Stop Kekerasan Terhadap Wanoja
SUARA SETARA: Perempuan Naif dan Perempuan Liar
Perempuan-perempuan Pedagang Kaki Lima yang Bertahan di Dalem Kaum

Gerakan Perempuan Hari Ini

Kehidupan yang semakin kompleks dibanding sebelumnya membawa pergerakan perempuan di Indonesia menemui babak-babak baru. Jika sebelumnya pergerakan perempuan di Indonesia melalui Sekolah Isteri yang diusung Dewi Sartika menghadapi tantangan nyata berupa kolonialisme dan feodalisme, hari ini pergerakan Perempuan dengan berbagai kemudahan teknologinya,  masih harus menghadapi berbagai represi serta penindasan dengan bentuk-bentuk yang baru.

“Dulu itu semua sama-sama miskin, sama-sama ditindas. Meskipun kita tetep sama-sama miskin sekarang, bentuk-bentuknya lebih beragam dan berbentuk juga estetik. Ada yang estetiknya korporat, ada yang ditindasnya di pabrik, ada yang ditindasnya jadi asdos yang gak bisa ke mana-mana, ada yang dengan banyakny tugas, ada juga yang harus bayar UKT-nya dengan kerja sambilan,” ungkap Siti.

Pengkotak-kotakan yang kerap terjadi, khususnya di media sosial, juga turut andil dalam menghambat jalan gerakan. Stempel-stempel pada seseorang yang tergabung dalam gerakan sebagai ‘cewek aktivis’ atau ‘cewek skena’ tak jarang menjadi hal yang membuat risih dan mengganggu untuk sebagian orang.

Pada sesi akhir diskusi, Siti pun menyampaikan harapannya terhadap gerakan perempuan khususnya terkait IWD 2024.

“Tahun ke tahun masih sama dan semoga makin terkabul, kita sama-sama saling menemani, kita sama-sama cari keadilan, kita sama-sama bikin ruang aman. Kita yang ketemu hari ini di diskusi dan nanti di aksi, semoga bisa menjadi kawan di masa yang akan datang,” tutupnya.

Angka kasus kekerasan terhadap perempuan memprihatinkan. Berdasarkan data pengaduan ke Komnas Perempuan, sepanjang 2022 kasus kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang dominan (2.228 kasus (38,21 persen)), diikuti kekerasan psikis (2.083 kasus (35,72 persen)). Sedangkan data dari lembaga layanan (organisasi atau lembaga advokasi) didominasi oleh kekerasan dalam bentuk fisik (6.001 kasus (38,8 persen), diikuti kasus kekerasan seksual (4.102 kasus (26,52 persen)).

“Jika dilihat lebih terperinci pada data pengaduan ke Komnas Perempuan di ranah publik, kekerasan seksual selalu yang tertinggi (1.127 kasus), sementara di ranah personal yang terbanyak kekerasan psikis (1.494 kasus). Berbeda dengan lembaga layanan, data tahun 2022 ini menunjukkan bahwa di ranah publik dan personal yang paling banyak berbentuk fisik,” terang Komnas Perempuan.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Jadid, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Perempuan

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//