Perempuan-perempuan Pedagang Kaki Lima yang Bertahan di Dalem Kaum
Sebagian besar pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di kawasan Dalem Kaum Kota Bandung adalah perempuan.
Penulis Emi La Palau23 Desember 2023
BandungBergerak.id – Suasana di kawasan Jalan Dalem Kaum pukul empat sore begitu tegang. Terlihat jajanan Cilor berserakan di satu sudut jalan tersebut. Sementara petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berjaga lengkap dengan alat pelindung lengkap ditemani beberapa aparat kepolisian.
Masuk beberapa ratus meter ke Jalan Dalam Kaum, para pedagang kaki lima (PKL) duduk berkumpul. Terpampang spanduk bertuliskan “Dalem Kaum Melawan!! Kami Menolak Direlokasi”.
Banyak dari mereka adalah PKL perempuan, terlihat anak-anak ikut serta di sana. Mereka duduk dengan wajah menyimpan keresahan. Juga ketakutan. Sebagian tak mampu membendung air mata.
Nia Daniati, 32 tahun, salah satu PKL perempuan bercerita dengan suara serak dan menahan air mata sekuat mungkin agar tak jatuh yang menyesalkan aksi brutal yang dilakukan Satpol PP di Jalan Dalem Kaum.
Hari ini, Jumat, 22 Desember 2023, usai Jumatan, Nia dan para pedagang lainnya mencoba kembali peruntungan dengan mencoba kembali berjualan di area Jalan Dalem Kaum. Sudah tiga hari mereka absen berjualan.
“Tadi udah sempat buka, da emang dari pagi udah dilarang buka, tapi kalau gak jualan mau dapat penghasilan dari mana. Sedangkan cuman di sini dapat penghasilan, memang bergantung di sini. Udah tiga hari nggak jualan,” ungkap Nia ditemui BandungBergerak.id, Jumat, 22 Desember 2023.
Harapan Nia untuk memiliki uang untuk mengganjal dapur dan makan keluarga kecilnya pupus.
“Selesai Jumat coba buka, ternyata segerombolan Satpol PP mereka mau ambil barang kita supaya gak jualan, tiba-tiba,” ujar Nia.
Nia, sudah puluhan tahun berjualan. Ia melakoninya sejak masih gadis, sekitar usia 20an tahun hingga kini memiliki dua anak. Ia berjualan tas perempuan.
Nia memiliki dua orang anak perempuan, si sulung baru duduk di bangku kelas 4 SD, sementara si bungsu baru berusia 6 tahun. Dua anaknya ia bawa untuk berjualan karena sedang libur sekolah, juga di rumah tak ada yang menemani anak-anaknya itu.
“Kirain mau jualan gak apa-apa, karena lagi libur anak-anaknya dibawa aja.”
Nahas, kedua anaknya juga ikut menyaksikan kebrutalan petugas Satpol PP hari itu.
“Anak-anak pada lihat, ‘bunda itu om Arif dicekik Satpol PP, ayah gimana, kasian om Arifnya’ sambil nangis, dua-duanya,” cerita Nia.
Dua minggu lalu ia dan para PKL lainnya terpaksa tak berjualan selama satu minggu, karena bergulir larangan dari Pemerintah Kota Bandung. Pemerintah kota berdalih area Dalem Kaum termasuk zona merah bagi PKL. Pemerintah kota berencana memindahkan para PKL ke Basemen Alun-alun.
Para PKL yang sudah puluhan tahun berjualan dan menggantungkan hidup dengan berjualan di Dalem Kaum menolak dipindahkan dengan alasan Basemen Alun-Alun dinilai tak memadai. Mereka sempat berunjuk rasa ke Balai Kota Bandung.
Nia, salah satu perempuan yang ikut serta dalam demonstrasi para PKL di Balai Kota pada Selasa 12 Desember 2023 lalu. Ia merasa perlu ikut berjuang untuk sama-sama bisa tetap berjualan, agar bisa tetap makan.
Baca Juga: Relokasi PKL Bandung Setengah Hati
PKL Dalem Kaum Menolak Relokasi dan Menuntut Diizinkan Berjualan Kembali
Tak Ada Sentuhan Humanis dalam Penertiban PKL Dalem Kaum
Harapan yang Tandas di Akhir Tahun
Nia sudah tumbuh dan besar di Balonggedeh, Kecamatan Regol tak jauh dari kawasan Dalem Kaum. Orang tuanya juga sudah berjualan sejak 50 tahun lalu.
Saat ini, menjelang akhir tahun, Nia berharap bisa berjualan tas lagi di sana dengan berharap pada keramaian pengunjung di libur Natal dan Tahun Baru. Ternyata harapan itu harus pupus akibat kebijakan Pemerintah Kota Bandung yang melarang PKL berjualan di Dalem Kaum.
“Justru sekarang kita lagi diharapin karena mau liburan Tahun Baru sama Natal, eh ternyata gak boleh jualan, udah mah hari biasa juga sepi,” ujar Nia.
“Ditambah kayak gini, jadi mau dapat penghasilan gimana kalau gak jualan.”
Selama tak berjualan, Nia benar-benar tak memiliki penghasilan. Ia hanya bisa menghemat penghasilan dari sisa jualan yang lalu. Sebenarnya sudah benar-benar tak lagi cukup untuk menopang biaya hidupnya sekeluarga. Untungnya sang anak sedang libur sekolah, sehingga biaya untuk menyiapkan bekal dan jajan bisa sedikit berkurang.
“Jualan lagi tuh karena emang duitnya gak ada lagi,” ujar Nia.
Jika berjualan, per harinya ia bisa menjual satu dua buah tas yang dijual seharga 50 ribu Rupiah. Jika sedang beruntung di hari libur, Nia bisa mendapat pemasukan 400 hingga 500 ribu Rupiah, atau bisa menjual 8 tas sampai 10 tas. Saat ini, di libur akhir tahun ia masih berharap hal itu.
Perempuan-perempuan PKL yang Terus Bertahan
Nia bersama perempuan lain terus bertahan dan melawan. Alasannya sederhana, mereka bertahan agar bisa mencari nafkah dan membiayai kebutuhan anak sekolah.
“Demi untuk cari makanlah, nyari makan, sekolah anak, sudah gak ada tempat lain lagi. Harapannya di sini,” ungkapnya.
“Makanya mudah-mudahan jangan sampai direlokasi. Sedangkan yang di basemen aja ngeluh, apalagi kita yang sehari-hari ramai, mo dipindahin ke tempat sepi atuh malah ngak dapat duit.”
Ia benar-benar bergantung hidup dengan berjualan, untuk menutup belanja dapur. Ia dan sang suami sama-sama mengandalkan penghasilan dari berjualan.
“Mudah-mudahan bisa jualan lagi dan aman. Merasa perlu untuk berjuang, perlu banget buat kehidupan,” ungkapnya.
Sementata itu, Gusdaini, 67 tahun, meski bukan PKL, tapi mendengar saudaranya terkena gusur Satpol PP, ia ikut hadir untuk sama-sama berjuang. Ia datang menggunakan angkot dari rumahnya di Cibaduyut. Sejak pukul 2 siang tadi ia sudah tiba.
“Iya kasian aja liat dagang, abis dia harapan di sini aja. Pengen sama sama bantuin,” ungkapnya.
Sementara itu, Santi, perempuan 27 tahun, PKL yang berjualan dompet. Ia baru setahun berjualan, usai lulus kuliah pada 2019 ia belum mendapat pekerjaan. Ia mencoba peruntungan dengan berjualan dompet di Dalem Kaum untuk membantu sang ibu.
Meski tiap harinya lebih sering tak laku, ia masih berharap agar tetap dapat berjualan di Dalem Kaum. Ia juga kaget, ketika tiba-tiba ada larangan tak boleh berjualan.
“Mudah-mudahan bisa jualan lagi seperti semula, ya ngak ada keributan lagi, aman. Tenteram damai, emang dari dulu. Ini tempatnya tempat jualan gitu,” ujar Santi.
“Yang penting mah bisa makan, bisa buat untuk beli kebutuhan sehari-hari. Yang pertama memulai cara anarkis itu Satpol PP, awalnya, dari sana langsung, padahal kita sama sekali gak mau cari keributan, mereka tiba-tiba yang memulai.”
Berharap Tetap Berjualan
Sementara itu, duduk di bawah poster-poster tuntutan para PKL, Yuni, 36 tahun, yang sudah berjualan sejak tahun 2007 lalu berharap masih terus dapat berjualan. Ia berjualan sosis, jagung dan jam tangan bersama sang suami. Dari pendapatan itu untuk membiayai kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Anak pertamanya kelas 3 SMP, dan anak keduanya masih duduk di bangku kelas satu SD.
“Bergantung penghasilan dari jualan ini aja,” ujarnya pada BandungBergerak.id.
Ia tak mampu menceritakan kondisi siang tadi. Ia mengatakan benar-benar mencekam.
“Pokoknya mencekam, tadi mah, sedih, susah diceritain, kalau diceritain mah, sakit hati. Apalagi banyak tadi yang dikejar kejar yang dagangannya dibawa, sampai ada yang luka-luka para pedagang. Saking brutalnya Satpol PP,” ungkapnya.
Yuni, bersama perempuan PKL lainnya terus bertahan agar tetap dapat berjualan di Dalem Kaum. Ia dan sang suami sudah puluhan tahun menggantungkan pendapatan di sana. Ia juga turut hadir pada aksi di Balai Kota lalu.
Jumat itu, ia berencana mulai lagi untuk berjualan. Ia membawa serta kedua anaknya.
“Mamah kalau mama gak jualan aku gak bisa jajan gak bisa sekolah katanya,” ungkapnya mengikuti ucapan sang anak.
“Minta kebijaksanaan ajalah, kasih solusi yang terbaik, dan inginnya tetap di sini.”
Ketika tadi terjadi bentrok, barang-barangnya berhasil diselamatkan, namun sayangnya jualan sosis dan jagungnya tumpah. Hari ini, jualan tak laku, dan ia mendapat kerugian.
Sementara itu, Rini, 50 tahun, berjualan sudah 26 tahun di Dalam Kaum, ia berjualan sepatu dan masker. Dengan harapan yang sama, ia berharap agar tetap dapat berjualan.
“Kan kami pengennya bertahan gini demi anak, kan buat sekolah buat kuliah, biasa anak saya jajan 15 ribu, sekarang kondisi kayak gini, kami tetap bertahan di sini, kami ngak mau dipindahin ke basemen,” ungkapnya.
“Kami tetap bertahan di sini, kami ga mau dipindah. Di basemen siapa yang mau beli gak ada orang, bau, makanya apa yang mo beli ke sana tuh.”
* Kawan-kawan yang baik, mari membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Emi La Palau, atau artikel-artikel tentang perempuan.