Membangun Kesadaran HAM di Kalangan Pelajar Bandung
Pendidikan formal pilar utama membentuk generasi peduli hak asasi manusia (HAM). Guru pun mesti memiliki perspektif hak asasi manusia.
Penulis Noviana Rahmadani23 September 2024
BandungBergerak.id – Amnesty International Indonesia menapaki sekolah-sekolah menengah atas dengan menggelar pemutaran film Eksil dan diskusi publik guna menolak lupa peristiwa kelam pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM). Bandung menjadi kota yang turut disambangi program ini.
Film Eksil mengisahkan para pelajar Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri namun terpaksa hidup dalam pengasingan akibat peristiwa 1965 di tanah air. Usai penayangan film Eksil, Rezwan, seorang pelajar SMA Negeri 3 berbagi pemikirannya bahwa sejarah merupakan hal yang kompleks. Menurutnya, kesadaran tentang pemahaman akan masa lalu tidak boleh terbatas pada satu sumber saja.
“Ternyata sejarah itu dilihat memang dari berbagai sisi,” ujar Rezwan, saat ditemui BandungBergerak.
Rezwan menilai, demokrasi sejati tidak akan terwujud tanpa pemahaman mendalam tentang hak asasi manusia. Sementara itu, anak muda sebagai generasi penerus mesti memahami bahwa HAM adalah tonggak dari negara yang merdeka dan berdaulat.
“Semua masyarakat berhak mendapatkan hak asasinya, seperti hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, hak mendapatkan pendidikan, dan hak-hak lainnya,” kata Rezwan.
Ia menyoroti bahwa kondisi HAM di Indonesia kenyataannya tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu maupun yang masih hangat hingga saat ini menjadi sorotan dan bahan perdebatan.
Hal ini menunjukkan bahwa pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pengawalan oleh semua pihak agar setiap warga negara bisa mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Menghormati dan melindungi hak asasi manusia adalah tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang, suku, agama, atau status sosial, berhak mendapatkan perlakuan yang setara demi mewujudkan inklusivitas.
Baca Juga: Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia
Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil
Membicarakan Kekaburan Sejarah Tragedi 1965 dengan Penyintas, Merawat Ingatan dengan Nobar Film Eksil
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran HAM di Kalangan Pelajar
Tenaga pendidik atau guru sebagai garda terdepan dalam ranah pendidikan mengisi peran krusial dalam menanamkan nilai-nilai yang berkaitan dengan hak asasi manusia kepada pelajar. Fajar, seorang guru sejarah di SMA Negeri 5 Bandung, buka suara soal keterlibatan siswa dalam kegiatan nobar film Eksil. Antusiasme pelajar menunjukkan adanya kesadaran dan kepedulian yang semakin tinggi di kalangan anak muda terhadap isu-isu HAM.
"Panitianya anak-anak muda, artinya mereka sadar bahwa penanaman nilai HAM harus dimulai sejak dini, terutama di sekolah," kata Fajar.
Menurut Fajar, sekolah memiliki tanggung jawab dalam menyediakan wadah bagi siswa agar berani menyuarakan pengalaman mereka terkait pelanggaran HAM, sekalipun topik ini dianggap sensitif. Bullying atau perundungan adalah salah satu dari sekian banyak bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kerap menimpa siswa. Alih-alih melawan, mereka lebih memilih untuk memendam penderitaan tersebut. Fajar juga menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa, khususnya korban pelanggaran HAM.
"Kadang-kadang orang-orang takut untuk berbicara karena berbagai faktor, termasuk takut dijauhi atau tidak ingin menghadapi masalah," jelasnya.
Selain itu, dalam pandangannya salah satu kunci untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM adalah penegakan hukum yang tegas dan adil bagi semua pihak tanpa pandang bulu. Ia mengkritik fenomena 'hukum pisau' di mana hukum seolah-olah hanya tajam bagi masyarakat biasa, sementara mereka yang berkuasa sering kali lolos dari pertanggungjawaban hukum.
“Masalah di Indonesia adalah ketika pelanggaran HAM dihadapkan dengan orang-orang yang memiliki kekuasaan, penegakan hukum cenderung tumpul," tegasnya.
Sementara itu, dalam era digital seperti sekarang, pemahaman tentang HAM semakin krusial. Hoaks, ujaran kebencian, dan diskriminasi merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kerap ditemui. Platform media sosial memungkinkan generasi muda untuk menyuarakan pandangannya secara luas.
Namun, di sisi lain penyebaran informasi yang tidak akurat dapat dianggap sebagai ancaman. Fajar menyoroti pentingnya memberikan literasi digital kepada siswa agar mereka dapat memanfaatkan media sosial dengan bijak dan bertanggung jawab dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Lebih lanjut Fajar menilai, peran pendidikan dalam membentuk generasi yang sadar dan peduli terhadap hak asasi manusia tidak bisa disepelekan. Sekolah dan tenaga pendidik memegang peran penting untuk menanamkan nilai-nilai terhadap HAM sejak dini. Melalui penegakan hukum yang adil dan pemanfaatan media sosial secara bijak, Fajar optimis bahwa generasi muda mampu memposisikan diri sebagai penggerak utama guna mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di masa depan.
"Sekolah perlu memiliki sistem yang membantu menyadarkan siswa tentang pentingnya postingan yang bermanfaat di media sosial," tandas Fajar.
*Kawan-kawan bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan lain dari Noviana Rahmadani, atau artikel-artikel lain tentang Hak Asasi Manusia