• Berita
  • Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil

Gen Z di Bandung Menyelami Sejarah Tragedi 1965 Melalui Nobar Film Eksil

Para gen Z berdiskusi sejarah Tragedi 1965 dan nobar film Eksil di SMA Negeri 3 Bandung. Sebuah upaya merawat ingatan agar tragedi serupa tak terulang kembali.

Acara pemutaran film Eksil tentang tragedi 1965 di aula SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Virliya Putricantika10 September 2024


BandungBergerak.id - Sepatu-sepatu milik murid-murid SMA berderet di luar aula SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. Di dalam aula, gen Z yang masih duduk di bangku kelas 10 itu berkumpul serius menyimak film Eksil, karya visual tentang mereka yang terasing dari tanah airnya sendiri.

Gen Z peserta nobar dan diskusi bertajuk “The Rights Story Bandung” tersebut berasal dari SMA Negeri 2, 3, 5, 19, dan Miftahul Khoir. Acara ini terbilang langka karena menyibak sejarah kelam yang jarang dibagikan di sekolah-sekolah. Sebagai pengantar, Amnesty International Indonesia selaku penyelenggara membagikan booklet tentang sejarah suram tragedi 1965 itu.

Film Eksil terasa sangat dekat dengan lingkungan pendidikan. Mereka yang dipaksa sembunyi dari terang ini mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Setidaknya itu yang diingat Hartoni Ubes, salah satu narasumber dalam film karya Lola Amaria ini.

"Kalian sudah memperhitungkan ini? Ini akan berjalan sangat lama," jelas Hartoni Ubes, menirukan pertanyaan yang ia dapat saat bersiap pergi ke Ceko untuk melanjutkan pendidikan. "Dan ternyata memang lama sekali," sambungnya.

Trauma masa lalu juga dirasakan I Gede Arka yang pernah menempuh pendidikan di Universitas Lumumba. Arka dipindahkan dari Moscow ke Voronezh, yang sangat terpencil, dan saat itu setiap orang asing yang berada di sana pasti diintai.

Kekerasan yang terjadi di tahun 1965 pada mereka yang dicap Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang menjadi korban atas ketidakhadiran negara untuk melindungi warganya menjadi memori kolektif masyarakat Indonesia. Dengan atau tanpa sengaja diwariskan pada generasi yang terlahir setelah tahun yang mencatatkan banyak korban jiwa.

Cuplikan film Exile tentang tragedi 1965 di aula SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Cuplikan film Eksil tentang tragedi 1965 di aula SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Luka sejarah masa lalu membayangi perjalanan generasi eksil sampai saat ini, seperti dinarasikan narasi Lola Amaria di film Eksil:

Meskipun mereka tinggal jauh dari Indonesia

Meskipun Suharto sudah tidak lagi berkuasa mereka masih ketakutan

Tapi rasa ketakutan itu tentu beralasan

Lambang palu arit masih digunakan sampai hari ini

Tanpa kecuali bagi para aktivis yang memperjuangkan hak sesama masyarakat.

Rezwan, salah seorang murit kelas 10 SMA Negeri 2 Bandung mencerna Eksil sebagai film tentang orang-orang yang terbuang dari negeri sendiri. Ia merasakan keterbuangan tersebut.

“Saya merasakan bagaimana para eksil ini. Mereka yang lahir di Indonesia, di tanah air. Mereka terpaksa untuk tinggal di luar negeri tidak bisa melihat tanah air. Mereka tidak bisa melihat, bahkan anaknya yang lahir, tidak melihat anaknya tumbuh besar, tidak melihat tanah mereka bagaimana alam keindahan Indonesia. Mereka terjebak di luar negeri dan harus tetap melanjutkan kehidupannya,” ungkap Rezwan, setelah menyaksikan film Eksil bersama teman-temannya.

Baca Juga: Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia
BANDUNG HARI INI: G30S Meletus di Jakarta, Situasi Sepi yang Ganjil di Kota Kembang
Musso, Kisah Seorang Pembangkang di Dua Zaman

Suharto, Presiden kedua RI, dalam film Exile tentang tragedi 1965 di SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Suharto, Presiden kedua RI, dalam film Eksil tentang tragedi 1965 di SMA Negeri 3 Bandung, Selasa, 10 September 2024. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Kekerasan Negara dalam Catatan Sejarah dan Sekitar Kita

Audio visual dewasa ini menjadi pilihan untuk melakukan pencatatan sejarah. Shalahuddin Siregar (45 tahun), pembuat film dokumenter yang menjadi bagian dari diskusi publik The Rights Story, meyakini bahwa visual dan audio tentang sejarah akan mudah dipelajari oleh banyak orang khususnya orang-orang muda.

Salah satu karya Shalahuddin Siregar berjudul “Rising from Silence” yang mengangkat cerita para perempuan yang menjadi korban tragedi 1965. Perempuan-perempuan korban kekerasan negara tersebut tergabung di grup paduan suara Dialita.

“Buatku penting, kenapa membuat film itu penting dan 65 itu sih isu yang penting, terutama untuk anak muda. Dan kebetulan (Rising from Silence) penceritaannya melalui musik,” jelasnya, dalam diskusi bertajuk “The Rights Story: Pelanggaran HAM Berat dan Anak Muda”.

Diskusi ini terasa spesial karena dihadiri Uchikowati (72 tahun), saksi sejarah 1965 yang menginisiasi grup paduan suara Dialita. Wanita yang mengenakan pakaian hijau anggun itu mulai membagikan ceritanya saat masih berusia 13 tahun ketika tinggal di Cilacap. Namun kejadian yang terjadi di Jakarta pada tahun itu turut mempengaruhi orang tuanya yang merupakan anggota PKI. Tanpa mengerti permasalahan yang pasti ia dan keluarganya harus melindungi diri dari kekerasan yang mengintai.

“Akhirnya saya merasa ada sebuah label yang dilengkapkan ke diri saya sebagai anak PKI dan itu luar biasa. Artinya dampak dari stigma itu melukai juga perasaan saya, juga ada trauma juga hingga saat ini stigma itu cukup tajam,” cerita Uchi, sambil mengingat memori yang disimpannya.

Sayangnya, kekerasan yang terjadi di tahun 1965 atau bahkan di era Orde Baru masih terjadi sekarang, jauh setelah reformasi. Ini kisah dibagikan Dea (24 tahun), warga Dago Elos yang saat ini tengah mempertahankan ruang hidupnya dari penggusuran. Dea mengalami bagaimana brutalnya tembakan gas air mata pada 14 Agustus 2023 di Dago Elos. Penggunaan gas air mata di kampung kota bagian utara itu jelas tindakan berlebihan dari aparatur negara.

Catatan sejarah atas pelanggaran berat hak asasi manusia yang terus-menerus dialami masyarakat Indonesia mestinya turut dicatat dalam sejarah. Bukan untuk menambah beban, tapi justru merawat ingatan.

Wirya Adiwena selaku Deputi Direktur Amnesty International Indonesia berharap, teman-teman gen Z yang mulai beranjak dewasa mau membuka mata pada situasi dan kondisi di lingkungan sekitar.

“Masyarakat yang ingin mempertahankan ruang hidup mereka itu masih banyak dan ditindas. Penindasan tidak berhenti pada tahun 65 saja, tidak berhenti pada tahun 98 saja,” ujar Wirya Adiwena.

*Kawan-kawan bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Virliya Putricantika atau artikel tentang Tragedi 1965

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//