• Opini
  • Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia

Film Eksil, Putusnya Generasi Intelektual di Indonesia

Entah apa alasannya acara nonton bareng Eksil di Samarinda tiba-tiba dicabut izinnya. Kita mestinya bebas menafsirkan isi film tanpa rasa takut.

Inggit Yulis Sutari Tarigan

Mahasiswa jurusan jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad)

Cover film Eksil (The Exile) - Official Trailer. (Sumber: Lola Amaria Production)

10 Maret 2024


BandungBergerak.id - Di antara film bergenre komedi dan horor yang tengah marak diperbincangkan, Eksil hadir di layar lebar menyajikan dokumenter. Film yang dibuat oleh Lola Amaria ini berdurasi sekitar dua jam dan mengisahkan sejumlah mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa saat masa pemerintahan Sukarno untuk studi ke luar negeri seperti Rusia dan Cina. Sederhananya, film ini bercerita tentang bagaimana para mahasiswa ini terpaksa diasingkan dan tidak dapat tinggal di kampung halaman.

Proses pembuatan film Eksil menghabiskan waktu cukup lama, mulai dari riset dan pencarian keberadaan para eksil (orang-orang yang terasingkan) sejak tahun 2010, dan proses syuting sejak tahun 2015.

Eksil adalah karya yang berani karena membawa perspektif baru dalam melihat peristiwa sejarah. Saat mereka sedang menyelesaikan studinya, terjadi Gerakan 30 September 1965 dan lengsernya Sukarno dari pemerintahan. Para pelajar yang menjalankan studi di luar negeri ini pun dianggap bagian dari PKI (Partai Komunis Indonesia). Untuk membuktikan bahwa mereka tidak memiliki relasi dengan PKI, mereka diminta untuk menandatangani surat pernyataan yang salah satu kalimatnya menyetujui bahwa Sukarno memiliki keterlibatan dengan PKI.

Tidak heran, pada 1965 kemarahan tertuju pada Sukarno karena terkesan melindungi PKI, yang saat itu adalah objek kekesalan utama masyarakat. Di sisi lain, Suharto justru muncul bak pahlawan karena munculnya Supersemar, tulisan yang ia buat untuk ditandatangani Sukarno.

Dalam situasi yang chaos, kehadiran Supersemar seperti angin segar karena masyarakat mulai lelah melihat kerusuhan yang terjadi. Dari sinilah, pamor Sukarno mulai turun dan saat sudah lengser, ia dijuluki sebagai tahanan Orde Baru karena hanya hidup sendirian dan diawasi tentara yang menginterogasi tentang keterlibatannya dalam peristiwa G30S hampir setiap hari. Akibat inilah, ketidakinginan para pelajar dalam menandatangani surat pernyataan menjadi tanda tanya besar bagi pemerintah dan mengakibatkan mereka harus dicabut status kewarganegaraannya.

Pencabutan status kewarganegaraan bukan hanya berdampak pada studi yang mereka jalani, namun juga bagaimana mereka menghubungi orang-orang terdekatnya di Indonesia. Salah satu eksil, Chalid Hamid, terpaksa tidak dapat menghubungi istrinya yang sedang hamil, sampai saat akhirnya bertemu setelah puluhan tahun pun ia merasa tidak memiliki koneksi apa pun dengan anaknya yang sudah besar.

Salah satu yang paling membuat saya sedih dalam film ini adalah bagaimana Chalid Hamid mengira bahwa bertemu anaknya akan menjadi peristiwa yang mengharukan, namun justru terjadi peristiwa sebaliknya. Bukan senang maupun terharu, Chalid Hamid justru merasa bingung dengan eksistensinya sebagai ayah. Bahkan, karena ia merasa absen dalam tumbuh kembang anaknya, Chalid Hamid rela meminta anaknya untuk menganggap ayah tirinya yang sekarang sebagai ayah kandung.

Bahkan tanpa reka adegan pun, cerita dari Chalid sudah cukup menggambarkan kesedihan yang ia rasakan. Terpaksa meninggalkan keluarga, terpaksa meninggalkan perannya sebagai ayah, bahkan setelah berhasil pulang pun, ia terpaksa meninggalkan rumahnya sendiri karena tidak merasa layak. Bukan karena kemauannya, ia terpaksa menjalani hidup seperti ini bertahun-tahun sampai akhirnya ia kebal akan rasa sakit itu.

Baca Juga: Film Bumi Manusia, antara Idealisme Pembaca dan Pragmatisme Industri Film
Menyoal Perubahan Iklim Melalui Film Dokumenter di Saat Hawa Bandung tidak Sejuk lagi
Merefleksikan Persoalan Sungai dan Sampah melalui Film Dokumenter

Fakta Sejarah yang Hilang

Bukan hanya Chalid Hamid, Lola Amaria juga mewawancara 9 eksil lainnya. Lucunya, hal-hal yang dirindukan oleh para eksil ini justru hal bersifa sederhana. Pohon pisang, pohon bambu, bentuk-bentuk rumah di Indonesia. Bahkan salah satu eksil juga cukup terkejut saat melihat rumah-rumah yang memiliki pagar, karena di zamannya, rumah-rumah kebanyakan tidak memiliki pagar. “Ini kok semuanya berpagar? Apa ini sel tahanan?,” ujarnya.

Fakta bahwa para eksil ini baru bisa pulang ke Indonesia saat sudah berusia tidak produktif menjadi hal yang sangat disayangkan. Mungkin, mungkin jika mereka dapat pulang tepat waktu dan mengimplementasikan ilmunya, kita akan bisa mengelola sumber daya alam kita secara mandiri.

Selama menempuh pendidikan di Indonesia, saya merasa bahwa terlalu banyak hal yang kita tidak ketahui mengenai sejarah di Indonesia. Mulai dari pelanggaran HAM berat, propaganda, penghilangan paksa, dan kerusuhan-kerusuhan di Indonesia tanpa kita ketahui jarang sekali diceritakan oleh guru sejarah kita. Seolah-olah, cerita-cerita sejarah ini dapat menghasilkan pemikiran-pemikiran radikal yang dapat melawan pemerintah. Padahal, ketidaktahuan kita terhadap informasi justru hanya menciptakan ketenangan semu.

Sejak dahulu, permasalahan di Indonesia selalu sama, yaitu polarisasi. Entah mengapa, selalu ada labelling di masyarakat yang malah memecahkan kita menjadi kelompok-kelompok tertentu. Radikal vs moderat, komunis vs demokrat, cebong vs kampret, bahkan sekarang kita sering melihat penggolongan intelek vs bodoh. Kita tidak pernah keluar dari kondisi ini, seolah manusia hanya terbentuk dari satu spektrum dan tidak dapat menyetujui dua hal yag bertentangan.

Propaganda tanpa dasar yang tujuannya untuk membenci suatu golongan bukannya menghilang, malah justru bertambah dan semakin masif. Aksi kamisan dianggap dagangan politik belaka, kritik akademisi terhadap pemerintahan dianggap bayaran, sampai demo buruh dalam menuntut pemerintah pun dianggap pencipta kerusuhan.

Berkurangnya ruang diskusi dan bertukar pikiran mengenai peristiwa sejarah juga menjadi masalah utama mengapa kita berakhir seperti ini. Film seperti Eksil yang tidak memiliki narasi apa pun dalam membentuk pikiran penontonnya, pun menuai larangan pemutaran. Padahal penonton berhak menafsirkan sendiri isi film. Entah apa alasannya, acara nonton bareng Eksil di Samarinda tiba-tiba dicabut izinnya H-1 tanpa alasan yang jelas.

Saya pikir kita dapat keluar dari situasi ini. Saya pikir kita dapat memahami bahwa pujian dan kritik dapat berjalan bersamaan. Saya pikir kita dapat memberikan kritik pada pemerintah tanpa takut dicap anti-nasionalis dan antek asing. Ternyata kita masih jauh dari itu. 

Seandainya para eksil ini dapat pulang tepat waktu. Seandainya.

*Kawan-kawan dapat menikmati karya-karya lain Inggit Yulis Sutari Tarigan, atau juga artikel-artikel lain tentang Politik atau Film

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//