• Berita
  • Empat Rancangan Perda Baru di Kota Bandung Patut Diwaspadai Melanggar Pelanggaran Kebebasan Berekspresi

Empat Rancangan Perda Baru di Kota Bandung Patut Diwaspadai Melanggar Pelanggaran Kebebasan Berekspresi

DPRD Kota Bandung membahas perda-perda terkait masalah pribadi warga Bandung. Ada potensi diskriminasi dan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.

Diskusi Publik bertajuk Kebebasan Berekspresi dan Tantangannya dalam Masa Regresi Demokrasi oleh Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), Inti Muda Jawa Barat, dan Kopenham, di Kedai Cihampelas 130, Sabtu, 27 September 2025. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak)

Penulis Awla Rajul3 Oktober 2025


BandungBergerak - Dalam empat bulan mendatang, Kota Bandung akan memiliki empat peraturan daerah (perda) baru. Keempat peraturan ini mestinya mendapatkan pengawasan, partisipasi, serta masukan dari masyarakat. Keempat perda yang tengah disusun dan dibahas oleh DPRD Kota Bandung dinilai akan sangat berdampak untuk kebebasan berekspresi.

Perda yang tengah disusun adalah tentang Grand Design Pembangunan Keluarga Kota, Penyelenggaran dan Penanganan Kesejahteraan Sosial, Penyelenggeraan Ketertiban Umum, Ketenteraman, dan Perlindungan Masyarakat, serta Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual.

“Kita perlu mengawal keempat perda tadi karena akan berpotensi diskriminatif,” ungkap Hani Yulindrasari, Kepala Satuan Pencegahan dan Penanganan Isu Kritis UPI, pada Diskusi Publik bertajuk “Kebebasan Berekspresi dan Tantangannya dalam Masa Regresi Demokrasi”, diselenggarakan oleh Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), Inti Muda Jawa Barat, dan Kopenham, di Kedai Cihampelas 130, Sabtu, 27 September 2025. Diskusi dipandu oleh Hobie Fauzan.

Hani menegaskan, DPRD Kota Bandung harus mengundang dan mendengar diskusi publik mengenai masing-masing perda yang tengah disusun. Ia memberi penekanan pada Rancangan Perda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual yang harus dipantau.

Ia khawatir perda itu dibuat untuk membuat populasi kunci atau kelompok rentan semakin rentan. Populasi kunci adalah kelompok orang dengan perilaku dan faktor risiko tinggi untuk tertular HIV, meliputi pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki, pengguna narkoba suntik, transgender, dan lainnya.

“Belum lagi ini definisi penyimpangan seksualnya (dalam perda itu) mau ikut definisi yang mana? Apakah mau ikut definisi medis? Mau ikut definisi resmi ilmuwan psikologi atau mau ikut definisi kalangan tertentu. Kan itu jadi berbahaya,” ungkapnya dalam diskusi publik.

Biasanya, lanjut Hani, penyimpangan seksual didefinisikan sebagai perilaku seksual yang melanggar normal sosial. Pertanyaannya, norma sosial dari kelompok atau golongan mana yang menjadi dasar. Ia khawatir hanya satu norma dari suatu golongan yang dipakai untuk menyusun rancangan perda tersebut.

“Takutnya hanya satu kacamata saja yang diambil normanya. Jadi menurut saya empat perda ini sangat rentan diskriminatif. Saya belum bisa mengatakan ini diskriminatif karena belum baca dalamnya. Tapi kalau dari judul-judulnya semua juga rentan isinya berpotensi diskriminatif. Makanya harus dikawal,” jelasnya.

Dosen UPI ini melanjutkan, perda yang diskriminatif akan sangat berdampak bagi kesejahteraan masyarakat, terutama bagi kelompok yang dirugikan dari perda. Di samping itu, perda yang diskriminatif akan memunculkan rasa takut bagi publik untuk berekspresi.

“Dengan adanya perda yang diskriminatif saja sudah bisa memunculkan rasa takut pada teman-teman untuk berekspresi. Sudahlah Bandung sampai sekarang belum bebas berekspresi,” katanya kecewa.

Ia memberikan contoh, tahun lalu, sebuah diskusi buku berjudul “Queer Menafsir” dibubarkan di UPI. Pelarangan kebebasan berekspresi itu sayangnya terjadi di kampus yang mestinya menjadi ruang pertarungan ide, perdebatan pemikiran yang paling aneh sekalipun. Kampus mestinya menjamin kebebasan berekspresi, akademik, berpikir, dan berpendapat.

“Jadi ketakutannya akan muncul, pada akhirnya kita enggak bisa berekspresi secara bebas,” ungkapnya.

Hani menjelaskan, kebebasan berekspresi bisa dalam bentuk apa pun, missal pendapat, bentuk tekstual, verbal, penampilan, busana, maupun ekspresi-ekspresi lain. Batasan dari kebebasan berekspresi adalah tidak mengganggu hak orang lain.

Sayangnya, kebebasan berekspresi dinilai banyak dibatasi, baik cara berpakaian, berbicara, identitas, dan tingkah laku. Biasanya ada unsur ketakutan dari pribadi dalam berekspresi. Namun, kata Hani, ketakutan pribadi ini muncul bermula dari kontrol yang memandang satu ekspresi normal dan lainnya tidak.

“Batasan itu kan ada meski gak keliatan,” katanya.

Banyak hukum tidak tertulis dan mengkungkung masyarakat secara kuat. Pengendalian ekspresi perempuan bahkan dirasakan sejak kecil. Dalam beberapa kasus, sayangnya yang mendapatkan sanksi bukan pihak yang melakukan tindakan kekerasan, tetapi yang berekspresi. Ia memandang, ekspresi feminin kerap dianggap negatif. Terutama jika muncul sifat dan sikap feminin pada laki-laki, maupun muncul berlebihan pada diri seorang perempuan.

“Menurut saya ada pengawasan lebih pada ekspresi-ekspresi feminin dan feminine-being atau perempuan. Laki-laki itu jarang sekali distigmatisasi kalau dia menunjukkan ciri maskulin. Perempuan juga tidak kena stigma ketika mencirikan maskulin. Tapi ketika laki-laki mencirikan ciri feminin, dia kena stigma dan perempuan over feminin kena stigma juga,” paparnya.

Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandung, Yoel Yusaphat, menyebut, jika perda mengatur demikian ketat hingga ke ranah-ranah privat, maka perda tersebut keliru. Secara umum, undang-undang menjamin kebebasan berekspresi. Tapi teknisnya di lapangan, banyak yang tidak berekspresi dengan aman dan nyaman lantaran banyak faktor, termasuk peraturan.

“Kalau misalnya ada sebuah daerah yang mengatur sampai ke detail seperti itu berarti ada yang salah di dalam fakta pembuatan perdanya,” kata Yoel dalam diskusi.

“Nah kita juga, kalau dari saya personal dan fraksi saya pengin supaya ini kalau bisa tidak sampai ke ranah personal. Hak asasi tidak sampai dipersekusi dan segala macam. Tapi aturan yang diskriminatif itu sangat mungkin saja ada.”

Ia menyebut, masyarakat cenderung tidak tahu ketika suatu peraturan tengah dibuat. Barulah ketika peraturan disahkan, masyarakat tahu, dan menolak jika isinya tak sesuai. Ia menegaskan, penyusunan, pembahasan, dan pengesahan empat perda ini perlu dikawal oleh masyarakat.

“Ini menyangkut kehidupan orang banyak. Informasi ini harusnya bisa dishare ke masyarakat luas,” tegasnya.

Baca Juga: Dunia Akademik Menggalang Petisi Dukungan terhadap Kebebasan Pers dan Berekspresi di Indonesia
Pelajar SMA, antara Kebebasan Berekspresi dan Larangan-larangan UU ITE

Kebebasan Berekspresi di Bandung

Yoel memaknai kebebasan berekspresi ketika semua orang bisa menunjukkan ekspresinya, dalam berbagai aspek dan bentuk, di ruang publik maupun privat dengan nyaman dan aman tanpa menggangu orang lain. Menurutnya, salah satu penghalang sejak lama melakukan kebebasan berekspresi adalah ketidakberanian.

“Kita tidak ada keberanian, kita takut beda. Mulai dari sekolah, lingkungan akan mendapat perlakuan yang berbeda karena pendapatnya beda. Kalaupun berani ini akan mendapatkan konsekuensi. Ini yg sering terjadi di dalam kehidupan kita,” jelas anggota DPRD Komisi 3 ini.

Kebebasan berekspresi perlu dilakukan dengan keyakinan, keberanian, dan kesiapan menerima konsekuensi. Ia menyebut, undang-undang sudah menjamin semua orang untuk berkespresi. Tapi praktiknya bukan untuk semua orang.

Ia mencontohkan dengan penggunaan ruang publik yang bisa diakses oleh kelompok tertentu. Sebagian kelompok yang memiliki kekuatan dan daya tawar bisa dengan aman dan mudah mengakses ruang publik untuk berkegiatan. Hal sebaliknya terjadi pada kelompok yang tidak memiliki daya tawar yang cukup kuat. Mereka tidak bisa berekspresi, hingga ada yang mendapatkan diskriminasi.

“Masih seperti itu di Kota Bandung. Kita masih terbatas untuk bisa memandang bahwa setiap orang harus punya kesempatan untuk mengungkapkan ekspresi tanpa takut,” jelasnya.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//