Dunia Akademik Menggalang Petisi Dukungan terhadap Kebebasan Pers dan Berekspresi di Indonesia
Seruan ini sebagai dukungan terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi setelah media Tempo mendapat teror paket kepala babi dan bangkai tikus.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah28 Maret 2025
BandungBergerak.id – Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia saat ini menghadapi ancaman serius. Terbaru, pengiriman paket berisi kepala babi tanpa telinga yang diikuti dengan kiriman enam ekor tikus yang dipenggal kepalanya kepada redaksi Tempo menunjukkan kemunduran demokrasi yang mengkhawatirkan. Menanggapi hal tersebut, sekitar 150 guru besar, akademisi, dan dosen komunikasi dari berbagai universitas di Indonesia menyatakan sikap tegas melalui sebuah petisi yang menyerukan kebebasan pers dan berekspresi.
Peristiwa pengiriman paket berisi kepala babi yang disusul dengan teror lebih lanjut berupa kiriman tikus yang dipenggal, pada 22 Maret 2025, merupakan sebuah bentuk kekerasan terhadap jurnalis yang mencerminkan melemahnya kebebasan pers di Indonesia. Para akademisi yang tergabung dalam Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Pers (AKBP) menganggap kejadian ini sebagai tanda bahwa kebebasan media di Indonesia semakin terancam.
Masduki, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, menyatakan bahwa kebebasan pers harusnya dilindungi oleh negara. Namun, ia menilai tindakan yang menekan kebebasan berekspresi ini justru dibiarkan berkembang, yang berpotensi mengarah pada penguatan otoritarianisme.
"Jika dibiarkan, ini akan menjadi pola yang berulang dan mengarah pada penguatan otoritarianisme," ungkapnya saat pembacaan petisi yang dilakukan secara daring, Rabu, 26 Maret 2025.
Masduki juga menyoroti bahwa kontrol terhadap suara-suara kritis, seperti yang dialami Tempo, bisa berdampak buruk pada kebebasan akademik. Kemunduran demokrasi ini harus dijaga dengan membangun solidaritas dan bergerak bersama.
Menurutnya, solidaritas ini harus diperluas dengan membangun kekuatan kolektif yang bisa melawan upaya-upaya yang ingin menggerus ruang demokrasi di Indonesia.
“Seperti halnya kelompok-kelompok yang menggunakan propaganda digital dengan algoritma dan strategi komunikasi tertentu, kita juga harus membangun kekuatan kolektif untuk merespons berbagai isu yang muncul dan menjaga ruang demokrasi agar tidak semakin tergerus,” beber Masduki.
Akademisi lainnya, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Senja Yustitia menyatakan, intimidasi dan teror terhadap jurnalis mengancam keberlangsungan kemerdekaan pers. Ia mendesak agar aparat kepolisian segera menegakkan hukum dan memastikan pemulihan bagi korban serta menghentikan praktik impunitas. Ia mendesak polisi harus menegakkan supremasi hukum, sebagaimana yang dijamin oleh UU Pers.
Dari kalangan jurnalis, Shinta Maharani mengungkapkan bahwa kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis harus terus disuarakan untuk melawan impunitas, terutama dalam kasus-kasus yang tidak ditangani secara tuntas oleh aparat kepolisian.
AKBP juga meminta Dewan Pers untuk menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan untuk memastikan kasus ini diusut secara tuntas. Pelaku intimidasi, menurut mereka, harus dijerat dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999 pasal 18 ayat 1, karena telah menghalangi kerja jurnalistik.
AKBP mengecam pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang dianggap tidak sensitif terhadap kebebasan pers. AKBP menuntut agar Hasan Nasbi meminta maaf secara terbuka kepada publik atas sikap yang dianggap mengabaikan prinsip kebebasan pers.
"Pernyataan tersebut mencederai nurani dan akal sehat publik. Seharusnya, sebagai juru bicara presiden, ia memiliki perspektif yang empatik dan menjamin hak masyarakat yang setara di mata hukum," tegas AKBP.
Baca Juga: UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan Memiliki Sisi Menggerus Kebebasan Masyarakat Sipil
Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus Menyerang Jurnalis Tempo, Peringatan Keras Bahwa Kebebasan Pers di Indonesia Berada di Tepi Jurang
Mempertahankan Supremasi Sipil dengan Terus Bersuara Kritis, Menolak Tentara Berpolitik
Gelombang Kekerasan terhadap Jurnalis
Kasus teror terhadap Tempo bukanlah peristiwa pertama yang menunjukkan penurunan kebebasan pers. AKBP mengingatkan akan teror yang pernah dialami koran Suara Indonesia di Malang pada tahun 1984, yang dikirimi potongan kepala manusia karena kritiknya terhadap rezim Soeharto.
Di era sekarang, bentuk kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis kembali meningkat, termasuk yang dialami jurnalis IDN Times dan pers mahasiswa yang dilaporkan dipukul saat meliput aksi penolakan RUU TNI di Jakarta pada 20 Maret 2025.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat bahwa pada tahun 2024, terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis, termasuk kekerasan fisik, teror, dan intimidasi yang banyak dilakukan oleh aparat kepolisian dan prajurit TNI. Yayasan Tifa juga menyebutkan bahwa Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 masuk dalam kategori "agak terlindungi", yang menunjukkan tren negatif yang dapat berlanjut jika tidak ada langkah tegas untuk melindungi jurnalis.
Menurut Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Pers, dukungan terhadap Tempo dan para jurnalis di Indonesia semakin diperlukan untuk melawan kebijakan yang represif dan otoriter. AKBP menyoroti beberapa pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi, termasuk pembatalan pameran seni rupa oleh Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia dan pembatasan terhadap band musik Sukatani. Kasus-kasus ini memperlihatkan adanya kecenderungan menuju swasensor (self-censorship) yang dapat membatasi kebebasan berekspresi di berbagai bidang.
Selanjutnya, AKBP menegaskan bahwa kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan kebebasan akademik adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, terutama Pasal 28F. "Kami menyatakan bersama-sama dengan Tempo dan jurnalis serta aktivis kebebasan berekspresi dalam melawan represi politik otoritarian," ungkap AKBP dalam pernyataan bersama.
Mereka juga menekankan pentingnya menjaga kebebasan media, terutama dalam menghadapi ancaman yang semakin marak di bawah pemerintahan Prabowo.
Menutup petisinya, AKBP menyatakan bahwa ancaman terhadap kebebasan pers dan kebebasan akademik menunjukkan Indonesia semakin gelap dari sisi nilai-nilai demokrasi. Kebebasan berekspresi dan pers harus dilindungi agar Indonesia tetap menjadi negara yang demokratis dan berkeadilan.
Berikut ini inti Petisi Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Pers (AKBP):
- Menuntut penanganan hukum yang menyeluruh terhadap kasus teror dan intimidasi terhadap Tempo dan jurnalisnya.
- Menuntut pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999.
- Menuntut permohonan maaf Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan kepada publik.
- Menyatakan dukungan penuh terhadap Tempo dan jurnalis dalam melawan represi politik dan penguatan kebebasan berekspresi di Indonesia.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Kebebasan Pers