• Berita
  • Mempertahankan Supremasi Sipil dengan Terus Bersuara Kritis, Menolak Tentara Berpolitik

Mempertahankan Supremasi Sipil dengan Terus Bersuara Kritis, Menolak Tentara Berpolitik

Gelombang protes terhadap pengesahan UU TNI merupakan bentuk kepedulian terhadap negara untuk mencegah tentara berpolitik.

Aksi unjuk rasa menolak pengesahaan RUU TNI di depan gedung DPRD Jawa Barat di Bandung, 21 Maret 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Muhammad Akmal Firmansyah27 Maret 2025


BandungBergerak.id – Revisi Undang-Undang (RUU) TNI menjadi bukti dicorengnya prinsip-prinsip demokrasi. Gelombang protes merebak. Namun, di tengah gelombang suara-suara kritis masyarakat sipil ada upaya pembungkaman melalui teror, intimidasi, dan kekerasan.

Praktik pembungkaman dialami Grice Ine setelah melakukan aksi penolakan terhadap disahkannya RUU TNI. Grice mengalami intimindasi berupa peretasan akun media sosial pribadi dan himpunan. Namun, hal demikian justru tidak menjadikan nyalinya ciut.

“Akun (Instagram) saya diretas dan akun himpunan diretas, dan saya dikirim pesan singkat saya oleh akun anonim dan menyuruh saya berhenti mengkritik. Kami menuntut pemerintah untuk mengkaji ulang semua kebijakan yang menyengsarakan rakyat,” kata Grice, di acara diskusi buku Sayembara Esai Mahasiswa Bersuara: RUU TNI dan Keharusan TNI Kembali ke Barak, di Unpar, Bandung, Selasa, 23 Maret 2025.

Aksi protes terhadap pengesahan RUU TNI ini merupakan kepeduliannya terhadap negara. Grice mengatakan, ketika tentara berpolitik justru akan melemahkan demokrasi.

Hal yang sama dituturkan oleh Ainul Mardiyah dari UPI. Ia menegaskan, suara kritis mahasiswa untuk menjaga demokrasi tidak boleh berhenti. Mahasiswa diharapkan tidak terjebak zona nyaman.

“Mari kita keluar dari zona nyaman sebelum rezim memberangus zona nyaman kalian. Tidak ada yang akan menolong kalian jika kalian tetap bungkam,” jelas Ainul.

Ainul menyoroti, sebelum RUU TNI disahkan aparat sering kali dikerahkan dalam persoalan perampasan lahan dan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat. UU TNI direvisi untuk melegitimasi kekerasan aparat negara seperti yang sudah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

“Kenapa mahasiswa harus bersuara? UU TNI ini sangat bermasalah,” tandas Ainul.

Baca Juga: Kesaksian Perempuan di Tengah Aksi Menolak RUU TNI, Tim Medis di Bandung Mencatat Puluhan Korban Luka-luka
Pengeroyokan Jurnalis Kompas dan Teror Bangkai Tikus ke Redaksi Tempo Menambah Suram Kebebasan Pers di Indonesia
Kami Bersama Tempo Melawan Teror Kepala Babi

RUU TNI Minim Partisipasi Publik

Pembahasan hingga pengesahan legislasi UU TNI memiliki sejumlah masalah krusial, jauh sebelum gelombang aksi protes bermunculan. Dosen hukum Unpar Valeri Jehanu menjelaskan, draft revisi tidak dimuat atau diumumkan di dalam laman resmi DPR RI. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari masyarakat yang juga tidak dilibatkan saat pembahasannya.

“Tidak ada draftnya. Jadi sampai kita harus mengikuti ini dengan menjadi pengawas di media sosial (stalker). Masyarakat harus jadi stalker untuk tahu pembahasan undang-undang. Setelah ada rame-rame di hotel Fairmont. Di mana ini titik temunya ketika sudah ada pertemuannya,” ujar Valeri.

Praktik ini merupakan otokrasi legislasi yang sudah menyalahi prosedur formal. Valeri menyebut pembahasan RUU TNI sudah diinisiasi sejak rezim Presiden Joko Widodo. Melalui rapat paripurna DPR RI RUU TNI masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Priotas 2025 melalui Surat Presiden RI nomor R12/Pres/02/2025 tertanggal 13 Februari 2025.

Valeri menjelaskan, dalam konteks hukum seharusnya aspek formil dan materiil memiliki kesesuaian, termasuk aspek partisipasi masyarakat yang juga sangat penting dan mendasar. Keterlibatan masyarakat sipil penting agar tidak menjadi otokrasi legislasi di mana penguasa berusaha memperkuat kekuasaannya.

“Partisipasi harus bermakna, sering ditipu. Hak masyarakat untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan,” ungkap Valeri.

Valeri menegaskan, selama ini konstitusi sudah menetapkan supremasi sipil, bahwa militer tidak sederajat dengan sipil. Dwifungsi TNI sendiri telah berhenti seiring tumbangnya rezim Suharto. Namun segelintir berusaha untuk membangkitkan dwifungsi TNI kembali.

UU TNI berpotensi besar menciptakan pendekatan kekerasan terhadap masyarakat sipil. “Setelah Orde Baru. Masuk dalam ke sektor-sektor formal. TNI digunakan oleh kelompok tertentu untuk digunakan untuk mempertahankan politik,” bebernya.

Menjaga Demokrasi dan Supremasi Sipil

Demokrasi dan supremasi sipil tidak bisa dipisahkan. Supremasi sipil yang terancam seiring meningkatnya juga kekerasan dan pembungkaman terhadap insan pers. Pemimpin Redaksi BandungBergerak Tri Joko menuturkan, watak militeristik menumpulkan ruang-ruang sipil. Teror kepala babi dan bangkai tikus ke media Tempo merupakan bentuk penumpulan itu.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat,  selama 2024 ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Mulai dari kekerasan teror atau intimidasi, ancaman, serangan digital, hingga pembunuhan. Aparat kepolisian mendominasi sebagai pelaku kekerasan, sementara pelaku lain meliputi anggota TNI, organisasi masyarakat, orang tak dikenal, aparat pemerintah, sampai perusahaan.

Hal ini dikarenakan jurnalis bekerja sebagai pengawas kekuasaan. Tri Joko menyebut, kerja-kerja jurnalisme sangat penting karena sudah memiliki metode untuk mengungkap kebenaran.

Dalam kasus konflik agraria, media dan jurnalis bisa menjadi medium advokasi. Kasus-kasus pertanahan seperti yang terjadi di Tamansari, Dago Elos, Anyer Dalam penting untuk diberitakan dan dikawal.

“Dalam hal pembelaan dan advokasi seperti ini, menjadi konsisten ini sangat penting. Tapi nanti dampaknya akan seperti apa, kita berharap akan terus mengawal isu ini,” jelas Joko.

Meski pun begitu, jurnalis bukan pahlawan. Terlebih di era digital saat ini masing-masing individu mempunyai pengaruh besar dalam menjaga demokrasi.

“Semua bisa mengambil peran masing-masing dalam hal ini. Kalalu kita sadar dengan apa yang kita lakukan, lalu ada beberapa komitmen yang dapat dilakukan, demokrasi masih layak diperjuangkan. Carilah media-media yang dapat mewadahi kalian, mengasah kepedulian, mengaktivasi ruang-ruang, dan berjejaring lintas disiplin,” tegas Joko.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Yopi Muharamatau tulisan-tulisan menarik lain tentang RUU TNI

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//