• Kampus
  • UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan Memiliki Sisi Menggerus Kebebasan Masyarakat Sipil

UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan Memiliki Sisi Menggerus Kebebasan Masyarakat Sipil

UU TNI, UU Polri, dan UU Kejaksaan disusun tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Tumpang tindih dan cenderung meminggirkan kebebasan masyarkaat sipil.

Diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI, RUU Polri, dan RUU Kejaksaan di Unpar, Bandung, 20 Maret 2025. (Foto: Audrey Kayla/BandungBergerak)

Penulis Audrey Kayla Fachruddin28 Maret 2025


BandungBergerak.idReformasi hukum di Indonesia, yang dimulai pada 1998, bertujuan untuk menciptakan keadilan dan memastikan lembaga negara berfungsi dalam kerangka demokrasi. Namun, 27 tahun setelah reformasi, Indonesia berada di urutan 68 dalam indeks Rule of Law. Masih jauh dari harapan.

Dalam upaya menanggapi hal ini, Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR), Bandung menggelar diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung pada 20 Maret 2025, yang dihadiri oleh mahasiswa dari berbagai fakultas. Pembahasan ini menyoroti kekhawatiran mengenai potensi pembatasan kebebasan masyarakat sipil akibat ketiga RUU tersebut.

Poltak Partogi Nainggolan, profesor riset dari BRIN, menyoroti bahwa ketidakjelasan dalam proses perancangan RUU ini menggambarkan buruknya tata kelola dan kurangnya akuntabilitas pemerintah. "Apa dasarnya membuat peraturan tanpa urgensi?" tanyanya.

Ia menekankan bahwa RUU TNI, yang berpotensi memperluas peran militer dalam ranah sipil, dapat mengancam kontrol sipil terhadap militer dan mengarah pada regresi demokrasi.

Dalam konteks militer, perluasan kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) telah memunculkan kecemasan. Penggunaan TNI dalam sektor sipil, seperti pada proyek Food Estate, menunjukkan adanya subordinasi antara militer dan sipil yang belum tuntas. TNI yang semakin terlibat dalam sektor sipil berisiko menghilangkan akuntabilitas dalam berbagai proyek pemerintah. Hal ini sejalan dengan kegagalan-kegagalan besar, seperti dalam pengelolaan Food Estate yang melibatkan TNI.

Idil Syawfi, dosen Hubungan Internasional Unpar, juga mengungkapkan bahwa rakyat Indonesia kini berada dalam kondisi "berjalan sambil tidur" menuju kontrol militer yang semakin kuat. Ia menjelaskan bahwa meski ada klaim untuk meningkatkan profesionalisme TNI, pengaruh militer dalam urusan sipil dapat memicu kekhawatiran akan pengurangan kontrol sipil terhadap militer.

“Yang harus dilakukan sipil adalah me-militerkan militer, membuat misi militer, dan memberi budget. Ketiga hal ini menjadi area kontrol sipil,” ujar Idil.

Kewenangan Polri dan Kejaksaan Agung

Selain TNI, RUU Polri dan RUU Kejaksaan Agung juga mengandung potensi penggerusan kebebasan masyarakat. Dalam RUU Polri, kewenangan polisi dalam mengamankan ruang siber dan multimedia menimbulkan kekhawatiran bahwa negara akan lebih mudah mengontrol opini publik.

Valerius Jehanu, dosen hukum Unpar, menyebutkan bahwa pengawasan ruang siber berpotensi mengekang kebebasan berpendapat. Pengawasan yang semakin luas ini dapat menjauhkan masyarakat dari ruang publik yang terbuka dan transparan.

Begitu juga dalam RUU Kejaksaan Agung. Awan Puryadi, Direktur Advokasi dan Kebijakan DEJURE, menyoroti perluasan kewenangan kejaksaan yang kini mencakup pra-penyidikan, penyidikan tingkat tertentu, dan tugas intelijen. Tugas intelijen kejaksaan yang berkaitan dengan pengawasan multimedia berpotensi menambah ketegangan dalam ranah kebebasan berpendapat, karena pengumpulan informasi yang tidak jelas dan tidak berbasis pada laporan masyarakat dapat menjadi alat untuk mengontrol masyarakat.

Proses Pembentukan RUU yang Kontroversial

UU TNI yang sudah disahkan, kemudian RUU Polri dan RUU Kejaksaan Agung, menurut Valerius, memiliki masalah serius dalam hal transparansi dan proses pembentukannya. Ketiga regulasi itu disusun dalam waktu yang sangat singkat tanpa melibatkan publik secara memadai. Proses legislasi yang kilat ini menggambarkan adanya upaya otokrasi dalam pembuatan undang-undang.

"Terdapat gejala proses pembentukan perundang-undangan tidak baik, yang lebih mengarah pada otokrasi legislasi," jelas Valerius. Hal ini mengindikasikan adanya kurangnya kontrol publik dan potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan.

Diskusi tersebut juga menyoroti bahwa ketidakjelasan dalam proses pembuatan RUU menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan antara pemerintah dan rakyat. RUU ini berpotensi memperburuk keadaan dengan mengurangi pengawasan sipil terhadap lembaga-lembaga negara yang seharusnya tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi.

Baca Juga: Mempertahankan Supremasi Sipil dengan Terus Bersuara Kritis, Menolak Tentara Berpolitik
Teror Kepala Babi dan Bangkai Tikus Menyerang Jurnalis Tempo, Peringatan Keras Bahwa Kebebasan Pers di Indonesia Berada di Tepi Jurang
Kesaksian Perempuan di Tengah Aksi Menolak RUU TNI, Tim Medis di Bandung Mencatat Puluhan Korban Luka-luka

Dampak Terhadap Demokrasi

Secara keseluruhan, ketiga RUU ini berisiko menggerus kebebasan masyarakat sipil di Indonesia. RUU TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung tidak hanya berpotensi memperluas peran institusi militer dan penegak hukum dalam urusan sipil, tetapi juga mengurangi partisipasi publik dalam proses legislasi.

Mahasiswa Unpar yang diwawancarai menilai bahwa minimnya transparansi dalam pembahasan ketiga RUU ini menunjukkan lemahnya partisipasi publik dan semakin terbatasnya ruang demokrasi.

Menurut mereka, perluasan kewenangan TNI dalam urusan sipil, terutama dengan kemungkinan kembalinya dwifungsi TNI, adalah ancaman bagi demokrasi. “Demokrasi yang sehat membutuhkan peran sipil yang kuat, bukan pendekatan apa pun masalahnya, TNI solusinya,’” ungkap salah satu mahasiswa. 

Berdasarkan pandangan para narasumber, jelas bahwa ketiga RUU ini berpotensi menggerus kebebasan sipil dan memperburuk situasi demokrasi di Indonesia. Dalam konteks ini, sangat penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan aktif dalam mengawasi proses legislasi yang sedang berlangsung untuk memastikan bahwa kebebasan sipil tetap terjaga. Jika tidak, Indonesia bisa menghadapi regresi demokrasi yang mengancam kedaulatan rakyat dan hak asasi manusia.

*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Audrey Kayla Fachruddinatau tulisan-tulisan menarik lain tentang RUU TNI

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//