Suara Kritis Orang-orang Muda Bandung dari Halte Dago, Terus Memantau Kekuasaan
Diskusi di Halte Dago, Bandung membicarakan posisi rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara demokrasi.
Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 4 Oktober 2025
BandungBergerak - Suara-suara kritis muncul di Halte Dago, Bandung, Minggu sore, 26 September 2025. Dalam saresehan diskusi yang dipantik Pradewi Tri Chatami dan Ainul Mardhiyah, orang-orang muda peserta diskusi mengkritik situasi sosial politik tanah air yang dibayang-bayangi fasisme, militerisme, dan ancaman lainnya terhadap demokrasi.
Pradewi yang juga penulis buku, menilai ada garis merah antara pemerintahan di masa lalu dengan pemerintah masa kini yang berwatak militer.
“Turunnya Suharto hanya tubuhnya saja, kebijakan dan warisannya masih hidup sampai sekarang,” ucap Pradewi, membuat kepala-kepala di ruangan mengangguk.
Diskusi mengalir deras ke soal undang-undang yang dianggap melanggengkan kekuasaan. Dari UU TNI hingga RKUHAP, dari reformasi Polri sampai kepada revisi UU Pokok Agraria. Semua dianggap sebagai instrumen untuk memperkuat kontrol negara. Peserta menyoroti bagaimana undang-undang agraria yang baru justru berpotensi melenyapkan cita-cita reforma agraria sejati.
Baca Juga: Melihat Orang-orang Muda Bandung dari Kelompok Minoritas Merajut Demokrasi
Orang Muda Lintas Iman Bandung Menyuarakan Keadilan Iklim dengan Jurnalisme

Polemik soal siapa yang memimpin gerakan juga tak kalah sengit. Kritik keras diarahkan pada pemengaruh (influencer) yang tiba-tiba muncul di barisan depan aksi demonstrasi Agustus-September lalu. Mereka mencuri perhatian publik tanpa pernah berkonsolidasi dengan buruh atau kaum tani.
“Gerakan ini seharusnya datang dari mayoritas buruh dan tani bukan dari kelas menengah yang hanya bising di permukaan dan menyuarakan kelas menengah,” kata Pradewi dengan nada kesal. Sentilan itu membuat ruangan semakin riuh, beberapa mengangguk, yang lain mencatat dengan cepat.
Dari belakang, seorang peserta bernama Haykal angkat suara, menyinggung kekhawatiran bahwa gerakan antifasis bisa dilabeli sebagai teroris, seperti yang sedang dilakukan Trump di Amerika. Kekhawatiran itu dianggap tidak berlebihan sebab di Bandung sendiri sudah ada kasus kriminalisasi dengan tuduhan bahwa pendemo datang pendanaan asing.

Pradewi menilai, labelisasi terhadap pendemo untuk menciptakan ketakutan bagi suara-suara yang kritis. Di tengah intensitas diskusi, ada pula momen reflektif. Seorang peserta mengingatkan bahwa rakyatlah yang menjadi inti perjuangan, bukan mahasiswa semata. Jumlah mahasiswa hanya enam persen dari populasi Indonesia, tak mungkin memimpin sendirian. Gerakan harus melibatkan petani, buruh, rakyat miskin kota, hingga kelompok minoritas. Itulah yang disebut sebagai gerakan rakyat yang baik, yaitu gerakan kolektif lintas kelas dan sektor.
Menjelang akhir diskusi, peserta saling menyahut, sebagian menyuarakan pesimisme atas kondisi hari ini. Pemantik diskusi menegaskan pentingnya terus membaca, belajar, dan mengorganisir diri. Ada yang berpendapat, lebih baik hancur di jalanan daripada hancur pelan-pelan di rumah karena harga kebutuhan pokok yang terus naik. Pernyataan itu disambut hening sekaligus anggukan dari para peserta diskusi.
Diskusi ditutup dengan semangat penuh keyakinan bahwa perjuangan adalah proses panjang dan bukan soal hari ini saja. Yang diperjuangkan bukan hanya hidup generasi sekarang, tetapi masa depan anak-cucu.
“Kalau penjara harus penuh, maka kita akan penuhi mereka dengan leluasa,” kata seorang pemantik menutup diskusi, kalimat yang menggantung di udara seperti doa sekaligus tantangan.
Acara ini dilanjutkan dengan pertunjukan teater Arus Laras yang menjadi puncak agenda di Halte Dago. Melalui lakon Rute Keramat, penonton diajak untuk kembali membuka memori kolektif kekerasan negara terhadap rakyat dari mulai tahun 1965, 1998, sampai potret kekerasan aparat yang tidak pernah berubah sampai era milenium baru. Pertunjukan ini jadi salah satu aksi untuk memperingati September Hitam.
Lampu-lampu mulai diredupkan, musik latar berdentum pelan, suara kecapi dan instrumen antah berantah dengan efek elektronik berdenyut keras, membuat dinamika suasana campur aduk.
Pemain teater masuk dengan langkah berat, mengenakan pakaian kebaya, membaca monolog tentang pemerintah. Sebagian wajahnya ditutup kain putih sambil mengangkat tangan. Sebagian pemain memerankan rakyat yang kritis dan dibungkam, berusaha bersuara dan menyebarkan berita tentang siapa-siapa saja para pelaku kejahatan di dalam istana.
Dari suasana mencekam itu, satu pesan tersisa begitu nyata dan relevan. Meski rezim berganti, pembungkaman terhadap kebenaran masih terus menghantui. Perjuangan rakyat belum benar-benar selesai.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB