Melihat Orang-orang Muda Bandung dari Kelompok Minoritas Merajut Demokrasi
Sabeh, Apel, dan Yeni berasal dari kelompok minoritas rentan. Mereka aktif menyuarakan pentingnya membela demokrasi yang menjunjung keberagaman.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah14 Desember 2024
BandungBergerak.id - Berdiri di tengah-tengah Aksi Kamisan Bandung tampak seperti pekerjaan sederhana dan mudah dilakukan. Meski demikian, belum tentu semua orang melakukannya. Terlebih bagi kelompok minoritas rentan yang pernah mengalami persekusi dan diskriminasi.
Di tengah rasa trauma itu para aktivis dari kelompok minoritas tetap menghibahkan waktu dan tenaganya untuk menyuarakan pentingnya demokrasi dan penuntasan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM), di samping terus menggemakan kebebasan beragama berkeyakinan (KBB).
Sabah (23 tahun), menjadi salah satu aktivis yang berlatar belakang dari kelompok rentan, jemaat Ahmadiyah. Aktivis di Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) ini tampak hadir di Aksi Kamisan Bandung ke-416. Ia bersama aktivis kamisan lainnya lantang menyerukan pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum selesai.
Memakai baju hitam dan berjajar bersama aktivis prodemokrasi lainnya yang memegang payung hitam di Taman Pasupati, Bandung, ia mengingatkan kembali dosa-dosa pelanggaran HAM di masa lalu dan menolak gelar pahlawan terhadap presiden ke-2, Suharto.
Sabah menuturkan, isu hak asasi manusia sangat penting bagi dirinya sebagai orang muda. Apalagi situasi demokrasi di Kota Bandung mengalami kemunduran yang signifikan yang ditandai dengan adanya pembubaran acara diskusi dan peringatan keagamaan. Padahal, diskusi dan kebebasan beragama berkeyakinan merupakan bagian dari demokrasi.
Di tengah suasana muram itu, Sabah melihat secercah asa bahwa masih ada orang-orang muda yang setia mengawal demokrasi dan HAM. “Masih banyak teman masih aware dengan isu-isu hak asasi manusia. Walaupun susah untuk mengajak seluruh orang muda, tapi setidaknya ada suaranya mereka,” kata Sabah, saat ditemui BandungBergerak, Kamis, 6 November 2024.
Aktivisme Sabah tidak hanya di Aksi Kamisan Bandung. Beberapa kali ia rajin mengikuti perjuangan warga Dago Elos yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidup mereka dalam kasus sengketa tanah melawan keluarga Muller.
Sabah merasa bangga bahwa kelompok minoritas dan kelompok rentan pun turut menyerukan penegakan HAM, membela demokrasi, dan berada di pihak warga yang terancam penggusuran. Bagi kelompok rentan, sikap ini membutuhkan keberanian lebih setelah mereka merasakan pilunya persekusi dan diskriminasi.
“Orang-orang muda dari kelompok rentan yang mengalami persekusi, di tengah mereka mengalami trauma dan penyintas itu mahal banget. Dia yang mengalami diskriminasi, pembullyan di sekolah, dan dia berani menyuarakan HAM, bisa dibandingkan satu per sepuluhlah,” ujar Sabah.
Sabah merupakan penyintas konflik keberagaman tahun 2008 di Parakan Salak, Sukabumi, Jawa Barat. Tahun tersebut masjid jemaat Ahmadiyah Parakan Salak dibakar massa. Pascakonflik, Sabeh sempat tidak ingin melanjutkan sekolah karena takut dirundung oleh teman-temannya.
Sabah berharap solidaritas orang-orang muda di Bandung terus hidup dan saling merangkul satu sama lain. Di samping itu, ia berharap orang-orang muda Bandung selalu mengedepankan dialog, termasuk dengan para penyintas konflik keberagaman.
“Tetap bersolidaritas. Coba deh main, kita ngobrol dengan teman-teman yang korban supaya bisa melihat ketidakadilan bisa menimpa siapa saja. Kita harus menjaga lilin supaya gak padam, ” ujarnya
Berbeda dengan Sabah, Apel, pekerja seni dan minoritas gender ini baru enam bulan datang ke Kota Kembang. Baru pertama kali ia mengikuti Aksi Kamisan Bandung. Baginya, Bandung bukan sekadar kota kuliner yang selalu diromantisasi. Ia melihat Ibu Kota Asia Afrika ini banyak dirundung permasalahan terutama penggusuran dan ancaman hak ruang hidup seperti yang dialami warga Dago Elos dan Tamansari.
Apel baru 6 bulan tinggal di Bandung. Sebelum datang ke kota ini, ia mengenyam pendidikan di Prancis. Salah satu aktivisme yang ia ikuti adalah bersolidaritas untuk warga Dago Elos. Ia menilai, aktivis Dago Elos cukup kritis dan terbuka terhadap keberagaman gender dan seksualitas. “Mereka bertanya-tanya tanpa judge, itu kaya jarang di Indonesia,” terang Apel.
Pertama kali mengikuti aktivisme di Bandung, Apel terjun sebagai tim medis untuk aksi-aksi prodemokrasi. Namun, ia menyayangkan ruang-ruang solidaritas di Bandung masih terkesan maskulin dan belum inklusif.
“Aku lihat dan risih dengan cowok-cowok di mana itu agak mengintimidasi orang lain. Kita juga memikirkan orang-orang disatbilitas yang tidak bisa hadir,” tutur Apel, seraya berharap ruang-ruang orang-orang muda di Bandung lebih inklusif lagi sekaligus menjadi ruang ramah yang gender.
Aktivis Kamisan Bandung Fayyad menimpali harapan Apel, bahwa ruang-ruang solidaritas di Bandung perlu terus diupayakan agar menjadi semakin inklusif. Ruang-ruang tersebut mesti menjadi ruang aman bagi semua kalangan untuk bercerita dan meluapkan keresahannya terkait hak asasi manusia dan demokrasi.
“Kami akan terus memberikan ruang aman dan bebas bersuara, bagi siapa pun untuk bersuara di Kamisan Bandung,” tandas Fayyad.
Dari Penyintas Diskriminasi ke Advokasi Keberagaman
Tidak mudah memang bagi kelompok minoritas untuk aktif di ranah-ranah aktivisme. Diperlukan mental kuat dan keyakinan mendalam bahwa seorang minoritas pun memiliki tempat untuk menyuarakan pemikirannya.
Situasi tersebut disadari betul oleh Yeni Ernita Kusuma (29 tahun), orang muda Hindu sekaligus fasilitator di Sekolah Damai Indonesia (Sekodi). Melalui aktivitasnya di Sekodi, ia terus melawan intoleransi dan bergiat dalam jejaring keberagaman.
Sama halnya dengan Sabah, Yeni mulanya aktif di Jakatarub yang mengkoneksikan jaringan serta komunitas lintas iman. Mereka saling belajar memahami dan mengawal isu kebebasan beragama berkeyakinan.
Yeni juga mengantongi pengalaman diskriminasi dan perundungan. Ia datang dari Banyuwangi ke Kota Bandung untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Namun, ia mendapatkan perlakuan berbeda saat ia hendak beribadah.
Sebagai umat Hindu, pakaian beribadahnya menggunakan kebaya atau busana tradisional. Setelan ini sudah biasa bagi umat Hindu Banyuwangi yang akan berangkat ke Pura. “Masyarakat di sana ngerti, oh ini umat Hindu sedang melakukan ibadah, hari raya upacara, gitu,” tutur Yeni, kepada BandungBergerak.
Ketika pakaian tersebut dipakai di kampusnya, ia merasa mendapatkan pandangan berbeda. “Ketika saya kuliah itu seperti didiskriminasi, soal cara berpakaian, yang mana dikira kondangan dan lain-lain. Itu adalah salah satunya,” kata alumnus Jurusan Teknik Telekomunikasi di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Semasa kuliah, Yeni merasakan kesulitan mencari tempat tinggal atau kos-kosan yang dekat dengan kampus. Kos-kosan yang ada seolah diberi label untuk agama tertentu. Kondisi ini memaksa ia dan kawan-kawannya mengontrak rumah di perumahan dengan ongkos dan biaya yang cukup lumayan.
“Susahnya kami mencari kos-kosan yang boleh untuk kami, gitu kan. Ketika kita ngekos itu kan dibutuhkan administrasinya ya, KTP-lah, apa segala macam. Kebetulan KTP kita agama tertulis ya, gitu. Malah kadang agama dicoret aja,” jelas Yeni.
Pengalaman dan pergulatan tersebut membawanya pada komunitas lintas iman. Ia menyadari bahwa banyak orang yang mengalami nasib serupa.
“Ternyata saya gak sendiri kok. Ternyata walaupun saya Hindu yang dikategorikan minoritas di sana, saya merasa gak minoritas di sana. Banyak teman-teman saya yang dari berbagai latar belakang mereka yang mungkin lebih menyedihkan dari saya,” bebernya.
Melalui Jakatarub dan kini menjadi fasilitator di Sekodi, Yeni juga memulihkan luka trauma atas diskriminasi. Ia terlibat juga aktif menyuarakan isu-isu hak asasi manusia, utamanya kebebasan berekspresi dan beragama.
“Saya akan melawan, terus saya pada akhirnya ada support system dari teman-teman keberagaman, gitu. Akhirnya saya menyadari, mereka beribadah diusir, yang menurut saya itu adalah trauma yang memang harus disembuhkan,” jelasnya.
Untuk memulihkan trauma akibat diskriminasi, ujaran kebencian ataupun persekusi, Yeni bersama lembaga non-pemerintah Aman Indonesia mengembangkan reflective structure dialogue (RSD). Sistem RSD diterapkan ke Gereja Kristen Pasundan (GKP) di wilayah yang tidak jauh dengan lokasi kampusnya dulu di kawasan Kabupaten Bandung.
GKP berada di Jalan Sukabirus, Desa Citeureup, Kabupaten Bandung. Gereja ini telah lama memiliki bangun sendiri sejak tahun 1994. Namun, proses memperoleh izin selalu mendapatkan gelombang penolakan.
Yeni bersama komunitasnya berharap bisa mengubah cara pandang masyarakat supaya bisa memahami perbedaan. Menggunakan metode RSD, ia mengajak pemerintah deds untuk berdiskusi dan berdialog. Hasilnya berujung buntu.
“Di situ tuh banyak yang salah mengasumsikan ini diskusi, diskusi panas, debat kusir. Padahal kami akan menjelaskan tapi mereka sudah menyimpulkan sendiri,” cerita Yeni.
Tidak berhenti di situ, ia terus merawat dan mencoba dengan beberapa cara dengan harapan bisa menjaga keberagaman. Tidak mudah mengajak orang untuk saling menghargai perbedaan.
“Padahal tiap hari kita itu berbeda. Saya selalu belajar, ketika saya bertemu dengan orang lain itu, saya berusaha untuk seperti botol yang kosong dalam pola pikirnya. Jadi banyak banget informasi yang saya dapat dari teman-teman itu. Termasuk itu korban atau pelaku, ketika menghadapi persoalan (keberagaman),” jelas Yeni.
Baca Juga: Susah Payah Kaum Penghayat Bandung dan Cimahi dalam Meraih Kesetaraan
Lika-liku Jalan Penghayat Kepercayaan di Bandung Raya untuk Mendapatkan Pengakuan dari Negara
Cara Perempuan Syiah di Bandung Raya Menghadapi Diskriminasi, Menanam Kebaikan dan Saling Menguatkan
Membangun Solidaritas dan Ruang Inklusif
Sejarah pelanggaran HAM di masa lalu seperti tragedi 1965-1966, tragedi Mei 1998, tragedi Semanggi, dan kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya, membangun solidaritas lintas generasi. Hadirnya para penyintas keberagaman menjadi aktivis di ranah HAM harus terus dirawat.
“Seperti yang dilakukan oleh Aksi Kamisan dapat disebutkan sebagai aksi solidaritas lintas generasi,” jelas Program Assistant Preventing Violent Extremism, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Gesia Nurlia, dihubungi BandungBergerak, Selasa, 3 Desember 2024.
Kesadaran HAM bukan milik kolektif. Kesadaran ini harus menjadi refleksi individu yang mendukung penegakan nilai-nilai HAM, dengan menggunakan bahasa inklusif serta tidak menyudutkan atau mempolarisasi.
“Dari refleksi personal terhadap kesadaran HAM dapat memperkuat relasi dalam berkolektif atau bersolidaritas,” tambah Gesia.
Menurut Gesia, gerakan aktivisme sendiri sering kali tidak lepas dari konflik internal. Hal ini disebabkan tidak terinternalisasinya nilai-nilai kemanusiaan dan empati di antara individu dan kolektif sehingga merusak gerakan solidaritas dan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Oleh karenanya dalam membangun solidaritas yang inklusif agar terinternalisasikan, Gesia berharap orang muda bisa melakukannya dalam beberapa cara, di antaranya membangun pendidikan kritis dan kesadaran sosial hingga pemahaman orang muda terhadap isu keadilan sosial, HAM, dan keberagamaan.
Kemudian, bisa menciptakan juga ruang dialog yang aman, di mana membentuk kelompok diskusi antarbudaya dan agama untuk mempererat hubungan serta relasi sosial antar orang muda.
Terakhir yang bisa dilakukan orang muda untuk mendorong solidaritas inklusif yaitu melakukan advokasi kebijakan yang progresif. Hal ini untuk mendorong partisipasi orang muda dalam advokasi kebijakan yang melindungi kelompok minoritas dan mempromosikan inklusivitas.
Di tataran kebijakan pemerintah, masih terdapat peraturan diskriminatif terhadap minoritas di Jawa Barat, salah satunya Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar Nomor 12 tahun 2011 dan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri nomor 3 tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/ atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga Masyarakat.
Padahal, aturan tersebut tidak sesuai dengan peraturan HAM internasional. Kebebasan beragama atau berkeyakinan telah diatur pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik dan telah menjadi UU 12/2005 yang berbunyi: (3) Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Heri pramono mengatakan, peraturan atau UU HAM masih belum dijadikan pedoman. Oleh sebab itu, mengawal isu demokrasi dan keberagaman sangat penting.
“Karena paling pertama kondisi demokrasi beberapa tahun kemarin masih dianggap kritis, terutama pada kebijakan dan tindakan-tindakan yang berdampak pada kaum minoritas,” ungkap Heri, kepada BandungBergerak, Sabtu, 23 November 2024.
Heri menjelaskan, perlu dorongan untuk mengubah peraturan diskriminatif menjadi regulasi yang berpihak pada minoritas beragama dan berkeyakinan. Dorongan ini belum cukup jika dilakukan oleh komunitas keberagaman saja.
Karena itu, Heri menilai diperlukan gerakan solidaritas yang inklusif di Kota Bandung yang dimotori orang-orang muda. “Iya berproses sih semuanya, kalau dibilang ruang ada, tapi belum bisa diakselerasi. Karenanya pentingnya interkoneksi satu sama lainnya,” terang Heri.
Mencegah Benih Kecil Intoleransi
Menjaga lilin keberagaman agar tetap menyala tidak hanya dilakukan melalui bersolidaritas, tapi juga diperlukan upaya menahan diri untuk tidak melakukan praktik intoleransi seperti melakukan ujaran kebencian. Irsyad Rafsadie dalam Melawan Ujaran Kebencian, Menjaga Kebebasan, dan Kesetaraan (2023) mengatakan, ujaran kebencian menjadi gejala intoleransi yang mendalam.
Untuk mengatasi ujaran kebencian perlu dilakukan dialog dan perjumpaan antarkelompok. Minimnya dialog dan pertemuan antarkelompok ini sering kali menjadi faktor menguatkan kecurigaan dan ketegangan.
Sayangnya, dialog-dialog tersebut masih dibayangkan secara formal dan serimonial di mana tokoh agama dan tokoh masyarakat saling bergandengan tangan dan membuat deklarasi. Padahal, menurut Irsyad, dialog yang sesungguhnya bisa memperkuat perasaan sebagai saudara dan sebangsa dan memperluas kemungkinkan untuk hidup bersama secara damai.
Ketimbang dialog formal, Irsyad mengatakan, perjumpaan informal dengan kegiatan seperti olahraga dan seni budaya bisa dirancang untuk mempertemukan kelompok yang berbeda dengan membahas masalah bersama. “Ini dapat menjadi ajang untuk melatih saling percaya dan interaksi antarkelompok,” terangnya.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) itu, Irsyad menyayangkan ujaran kebencian hanya ditangani terjadinya kasus. Padahal, ujaran kebencian yang dinarasikan oleh segelintir orang tetapi mengatasnamakan sekelompok orang bisa dicegah dengan cara menggunakan pengaruh tokoh agama atau tokoh masyarakat.
Para tokoh agama dan masyarakat diwadahi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang memiliki peran melakukan dialog dan mencegah konflik atau perselisihan.
Abdullah Muslich Rizal dan kawan-kawan dalam jurnal Strategi FKUB Kota Bandung dalam Membangun Kerukunan Beragama demi Terciptanya Bandung Agamis: Suatu Kasus tayang di Arumbae mengatakan, FKUB Kota Bandung memiliki strategi di antaranya menghadiri peringatan Hari Besar Agama-agama, membangun dialog yang strategis, dan sosialisasi kebijakan secara merata agar terbentuk toleransi antarsesama di Kota Bandung.
BandungBergerak sudah mencoba menghubungi Kesbapol Kota Bandung terkait peran FKUB. Namun, permintaan wawancara yang diajukan melalui pesan singkat pada Selasa, 3 Desember 2024, direspons Kepala Kesbangpol Kota Bandung dengan meminta surat permohonan secara tertulis. Setelah dikirimkan surat permohonan resmi, Rabu, 4 Desember 2024, sampai artikel ini terbit, Kesbangpol Kota Bandung belum memberikan tanggapan.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.