Cara Perempuan Syiah di Bandung Raya Menghadapi Diskriminasi, Menanam Kebaikan dan Saling Menguatkan
Beberapa perempuan Syiah di Bandung aktif dalam kegiatan sosial untuk membaur dengan masyarakat. Saling tolong menolong bagi yang membutuhkan.
Penulis Fitri Amanda 10 Desember 2024
BandungBergerak.id - Suara berisik di sebuah cafe di Bandung, tempat di mana kami bertemu, seolah-olah perlahan menghilang saat Dila [1] (bukan nama sebenarnya), memulai ceritanya mengenai diskriminasi yang ia alami. Waktu itu ia masih SMP di sekolah swasta di Bandung, Dila dan teman-temannya sedang ingin berolahraga di luar sekolah. Namun niat itu urung karena secara tiba-tiba ia dan temannya dilarang beraktivitas di luar lingkungan sekolah oleh warga sekitar.
Larangan dari warga muncul karena memandang sekolah tempat Dila menuntut ilmu sebagai sekolahnya Syiah, berbeda keyakinan dengan mayoritas warga.
Tak hanya itu, Dila juga kembali mendapatkan tindakan diskriminasi pada saat ia SMA. Sekolahnya kerap didatangi oleh polisi setiap bulan Muharam, entah untuk alasan apa.
“Dibilangnya warga itu gak suka sama sekolah kita dan gak menerima adanya sekolah kita di situ,” ucap Dila, seraya tersenyum tipis, saat berbincang dengan BandungBergerak di kafe tersebut, November 2024.
Perempuan berkacamata tersebut kini berusia 23 tahun. Di masa remaja ia memang sekolah di SMP dan SMA yang sering dikait-kaitkan dengan Syiah.
Tahun 2013, umat Syiah yang akan memperingati Asyura di Gedung Istana Kana, Kawaluyaan, Kota Bandung mendapatkan penolakan dari organisasi keagamaan. Peringatan yang digelar Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (Ijabi) ini kemudian dipindahkan ke kampus yang menjadi tempat Dila sekolah.
Sekolah tersebut didirikan Ketua Dewan Syuro Ijabi Jalaluddin Rakhmat alias Kang Jalal (almarhum) untuk menerima murid dari berbagai latar belakang, tidak khusus didirikan untuk kelompok Syiah.
Tamat sekolah, Dila aktif di Ijabi. Suatu hari, ia harus menghadiri sebuah forum lintas mazhab Islam yang diselenggarakan oleh salah satu kementerian. Acara ini bertujuan untuk meredakan stigma dan membangun dialog lintas mazhab berbeda. Ia bisa hadir di acara ini atas undangan dari panitia forum.
Alih-alih terjadi ruang dialog, Dila justru merasa terasing. Dila ingat ketika salah satu panitia forum tiba-tiba bertanya siapa yang hadir untuk mewakili Ijabi, ia kemudian mengangkat tangan sebagai perkenalan. Di situlah ketidaknyamanannya bermula. Ia merasa diperhatikan dengan tatapan yang berbeda yang membuatnya merasa terancam.
“Orang-orang tuh pada langsung ngeliatin ke aku gitu, aku bener-bener kerasa tatapan mereka ke aku itu kayak gimana,” kenangnya, sambil mengeluarkan senyum tak percaya akan apa yang ia alami di sebuah forum yang seharusnya aman untuk dirinya.
Di forum itu Dila merasa tak diberikan ruang untuk meluruskan kesalahpahaman terhadap mazhab Syiah. Kehadirannya dalam forum merupakan pengalaman yang mengecewakan, terutama mengingat acara tersebut diadakan atas nama pemerintah dengan harapan menjadi ruang diskusi yang inklusif bagi siapa saja, termasuk bagi kelompok Syiah.
Pengalaman didiskriminasi juga dialami ayah Dila. Sang ayah merupakan sosok yang ramah dan senang bersosialisasi dengan tetangga. Sikap tetangga mereka berubah ketika mengetahui identitas mereka Syiah.
Pengalaman itu bermula pada saat ayahnya berada dalam sebuah obrolan santai bersama tetangga. Karena dirasa sudah cukup nyaman dengan obrolan, ayahnya kemudian menyebutkan bahwa ia bekerja sebagai seorang guru fiqih di sebuah sekolah swasta yang ada di Bandung, sekolah yang dianggap kebanyakan orang identik dengan komunitas Syiah.
Setelah itu, orang-orang berhenti untuk datang mengobrol dengan ayah Dila. Bahkan aktivitas ayahnya yang mengajar mengaji untuk anak-anak kompleks mendadak berhenti. Sebelumnya, terdapat beberapa anak-anak yang rutin hadir untuk belajar mengaji tanpa dikenakan biaya sepeser pun. Semuanya berubah dalam sekejap.
“Terus besoknya udah, gak ada, menghilang (orang-orang),” ucap Dila diikuti dengan tawanya yang getir mengingat perlakuan yang harus ia dan keluarganya terima.
Pengalaman Dila dan keluarganya memperlihatkan bagaimana prasangka dan stigma terhadap masyarakat Syiah merembes hingga ke hubungan yang paling mendasar, antara individu dan lingkungannya.
Stigma negatif kerap kali membebani pundak mereka. Tetapi, bagi Dila, beban stigmanya jauh lebih berat karena ia adalah perempuan. Salah satu stigma terhadap perempuan Syiah adalah tuduhan mengenai nikah kontrak yang dianggap bisa dilakukan dengan siapa saja dan kapan saja. Ada pula tuduhan berdasarkan hadis palsu yang menyatakan soal mahram melalui proses penyusuan".
Tuduhan-tuduhan tak berdasar ini menurut Dila menambah lapisan beban bagi perempuan-perempuan Syiah. Ia menghadapi diskriminasi berdasarkan identitas agama sekaligus berdasarkan gender.
Menjadi seorang Syiah di Indonesia tentu memiliki tantangannya tersendiri, Dila mengatakan bahwa rasa lelah dan kerinduan akan penerimaan kerap menghantui. Ia mengenang masa-masa di mana hidup dalam keberagaman terasa lebih damai, saat ia masih dapat menjalankan kegiatan keagamaan seperti Asyura dengan aman, mengadakan pawai di jalan, atau mengadakan acara keagamaan apa pun tanpa adanya ancaman pembubaran paksa.
Kenangan indah tersebut membuat Dila bertanya-tanya, jika dulu hal itu bisa ia lakukan dengan aman, lantas mengapa sekarang tidak? Harapan untuk kembali diterima di masyarakat, untuk hidup berdampingan tanpa rasa khawatir, terus Dila pegang erat.
Bagi Dila, menjadi seorang Syiah bukan hanya persoalan cara beribadah, tetapi juga tentang bagaimana hubungannya dengan orang lain. Ia diajarkan untuk mendahulukan akhlak di atas fiqih, sebuah prinsip yang mengajarkan ia untuk berjuang akan hak hidup hdiup berdampingan tanpa rasa curiga juga merupakan bagian yang penting dari iman.
Pengalaman diskriminasi tidak hanya dialami Dila dan keluarganya. Imas (bukan nama sebenarnya), umat Syiah lainnya, mengalami praktik intoleran ketika kaumnya memperingati Asyura di Grand Ballroom La Gardena Kopo Square, Bandung, Rabu, 17 Juli 2024 lalu. Bagi penganut Syiah, acara ini sekaligus sebagai peringatan Haul Imam Hisein, cucu Nabi Muhammad SAW, yang wafat di tangan musuh.
Peringatan Haul Imam Hisein tersebut sebenarnya bisa diselenggarakan umat Syiah sampai selesai. Di saat acara usai itulah kericuhan terjadi. Massa yang menolak peringatan Asyura menuntut acara dibubarkan.
Hari itu, Imas berusaha berdiri tegar di tengah kekacauan yang mengancam dirinya dan jemaahnya. Sebagai Ketua Pimwil Muslimah Ahlul Bait Indonesia (ABI) Jawa Barat dan bagian dari Panitia Keamanan Jemaat Perempuan, Imas sudah terbiasa menghadapi tindakan-tindakan diskriminasi meskipun peristiwa di Kopo terasa lebih mengintimidasi.
Perempuan 57 tahun tersebut sudah menjadi bagian dari Syiah sejak 1997. Sejak perencanaan ia dan jemaah tentu berharap acara berjalan lancar dan damai. Tetapi acara yang berlangsung khidmat seketika berubah menjadi tegang ketika kelompok pendemo mengepung lokasi. Panitia laki-laki sudah berusaha menghadapi para pendemo dengan bernegosiasi dan berdiskusi.
Sayang, para pendemo datang bukan untuk berdialog. Mereka sudah tersulut emosi dan berteriak-teriak sesat dan kafir.
Baca Juga: Bertahan dalam Gelombang Intoleran: Mendengarkan Cerita Jemaat Syiah di Bandung Raya
Insiden Penolakan Perayaan Asyura di Kopo Menegaskan Pentingnya Ruang Dialog Dua Kelompok Agama
Tradisi Asyura Sudah Berabad-abad Diperingati di Bandung Maupun di Pelosok Nusantara, Mengapa Ditolak?
Strategi Bertahan di Tengah Gelombang Penolakan
Penolakan bukan hal asing lagi bagi masyarakat Syiah di Indonesia. Kondisi ini memaksa mereka untuk menjalani kehidupan dengan penuh kehati-hatian. Demi bertahan di tengah tekanan masyarakat mayoritas, Dila dan beberapa muslimah Syiah lainnya yang ditemui BandungBergerak, seperti Adinda (bukan nama sebenarnya) dan Ananda (bukan nama sebenarnya) mengaku bahwa mereka terkadang menggunakan “taqiyyah”, yaitu sebuah cara yang memungkinkan mereka untuk menyembunyikan identitas mereka untuk melindungi diri.
Dalam praktiknya mereka memilih untuk tidak terlalu terbuka tentang identitas keagamaan mereka agar dapat hidup berdampingan dengan masyarakat mayoritas yang acap kali mencurigai mereka. Hal ini menjadi jalan tengah bagi mereka agar bisa tetap berbaur sekaligus menghindari konflik.
Di tengah situasi yang menolak perbedaan, Ananda mengungkapkan perasaan dilemanya. Di satu sisi ia ingin terbuka dan jujur mengenai identitasnya, di sisi lainnya dia masih kesulitan untuk melakukannya. Ia khawatir akan dampak dari pengakuan identitas keagamaannya dan takut salah dalam menyampaikan penjelasan.
“Sebenarnya aku pengin tapi ketika aku ditanya tuh aku pasti kayak kikuk gitu untuk menjawab gitu, karena aku masih bingung gimana yah jawabnya aku masih bingung,” jelas Ananda, sembari tersenyum ragu-ragu.
Muslimah Syiah lainnya, Adinda, yang saat ini tengah menempuh pendidikan di sebuah universitas Islam di Bandung, berbagi kisahnya mengenai bagaimana ia menavigasikan kehidupannya di tengah masyarakat mayoritas, khususnya di dalam lingkungan pendidikannya.
Menurutnya, tentu mahasiswa akan lebih peka terhadap keberagaman. Namun tidak bisa juga dipastikan bahwa mereka semua memiliki sikap toleransi, terkhusus kepada penganut Syiah.
Terdapat beberapa momen di mana Adinda dapat merasa aman dan nyaman untuk menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Syiah, terlebih di hadapan teman-temannya yang sudah ia percayai dan yakini adalah orang-orang yang bertoleransi. Akan berbeda halnya jika ia berada di sekitar orang-orang yang ia anggap masih kurang menerima perbedaan, sehingga Adinda memutuskan untuk menyesuaikan situasi yang ada.
“Kami harus meng-adjust gitu, meng-adjust dengan teman-teman itu semata-mata untuk menghindari konflik, juga untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari orang sekitar gitu,” jelasnya.
Strategi bertahan lainnya adalah dengan berjejaring dan memiliki sistem pendukung. Bagi Dila dan yang lainnya, hal ini sangatlah penting. Dila merasa beruntung memiliki keluarga yang saling menguatkan, teman-teman, dan juga jejaring dari komunitas yang tidak henti mendukungnya tanpa terpengaruh akan stigma tentang Syiah.
Keterlibatan dirinya dalam organisasi maupun komunitas menjadi salah satu caranya untuk bertahan dan dapat membuatnya lebih vokal dan berani akan identitasnya sebagai Syiah. Pengalaman ini dirasakan betul oleh Dila.
“Dengan aku berjejaring itu jadi salah satu cara bertahan aku karena kalau aku gak ketemu sama organisasi atau komunitas ini. 100 persen aku gak akan bisa se-vokal ini tentang kepercayaanku,” ucap Dila.
Di sisi lain, di balik stigma dan tantangan yang kerap kali harus mereka hadapi, komunitas Syiah juga aktif bersosialisasi dengan menggelar berbagai kegiatan sosial. Imas menceritakan, dirinya dan komunitas Syiah dari ABI sering mengadakan bakti sosial untuk warga sekitar, seperti pengobatan gratis, kacamata gratis untuk lansia, hingga sembako gratis menjelang hari raya.
Tak hanya itu, mereka juga turut hadir dalam kegiatan warga, seperti kerja bakti dan acara lainnya, sebagai upaya menjaga keharmonisan antarsesama. Bahkan ketika terjadi penolakan yang diarahkan kepada komunitas Syiah, warga sekitar justru mengambil sikap membela.
“Waktu ada yang demo ke sana juga warga yang menghadapi. Orang luar itu yang mendemo yang pakai motornya plat Z, F. Akhirnya waktu itu kita disuruh diam, warga yang menghadapi langsung. Jadi kata warga ‘hadapi dulu kita’ katanya, kita merasa terganggu. Itu kejadiannya sekitar tiga tahun yang lalu,” ucap Imas, mengenang bagaimana warga sekitar membela dirinya dan masyarakat Syiah lainnya.
*Artikel ini merupakan kerja sama antara BandungBergerak dan INFID melalui program PREVENT x Konsorsium INKLUSI sebagai bagian dari kampanye menyebarkan nilai dan semangat toleransi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta inklusivitas. Tulisan ini juga dimuat di laman INFID.