• Berita
  • Tradisi Asyura Sudah Berabad-abad Diperingati di Bandung Maupun di Pelosok Nusantara, Mengapa Ditolak?

Tradisi Asyura Sudah Berabad-abad Diperingati di Bandung Maupun di Pelosok Nusantara, Mengapa Ditolak?

Istilah asyura yang berawal dari ritual keagamaan, bahkan sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Artinya, asyura bagian dari keindonesiaan.

Ilustrasi. Intoleransi menjadi tantangan serius bagi negeri bhineka seperti Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Penulis Awla Rajul10 Juli 2024


BandungBergerak.idPeringatan menyambut asyura (tanggal 1-10 bulan Muharam dalam penanggalan Islam) sudah berlangsung berabad-abad lalu di berbagai daerah di Indonesia. Peringatan ini melahirkan beragam tradisi yang menjadi bagian dari khazanah keberagaman kebudayaan negeri 1.000 pulau ini. Belakangan, muncul penolakan terhadap peringatan asyura, seperti yang terjadi di Bandung.

Penolakan tersebut datang dari salah satu ormas melalui surat yang dilayangkan kepada Pj. Walikota Bandung dan ditembuskan ke berbagai institusi negara seperti Mabes Polri, Polda Jawa Barat, Polrestabes Bandung, Kodim 0618/BS, Bakorpakem Kejari Kota Bandung, KABINDA Jabar, Bagian Hukum Setda Kota Bandung, Bagian Kesra Setda Kota Bandung, FKUB Kota Bandung, MUI Kota Bandung, dan Kemenag Kota Bandung.

Salah satu komunitas yang rutin menggelar peringatan asyura di Bandung adalah Ahlul Bait Indonesia (ABI) Kota Bandung. Ketua DPD ABI Kota Bandung Rustana Adi menegaskan, kegiatan asyura merupakan kegiatan rutin dan sudah menjadi budaya. Atas alasan apa pun penolakan terhadap peringatan asyuro tidaklah berdasar.

Rustana Adi mengaku tidak khawatir dengan adanya penolakan terhadap peringatan asyura yang sudah digelar komunitasnya setiap tahunnya. Pihaknya akan tetap melakukan peringatan asyuro setiap malam, mulai dari malam 1 hingga 10 Muharram. Tempat peringatan sendiri berlangsung di lingkungan komunitas atau di rumah sendiri.

“Jadi rumah sendiri kan kewenangan sendiri, apa pun silahkan. Jadi kan biasa, ini dari tahun-tahun sebelumnya ada dari malam kesatu sampai sepuluh. Hanya untuk puncak Asyuro kami tidak mengadakan. Mungkin nanti ikut pada lembaga yang lain atau daerah yang lain,” terang Rustana Adi, saat dikonfirmasi BandungBergerak via telepon, Jumat, 5 Juli 2024.

Asyura Bagian dari Kekayaan Tradisi di Jawa Barat Maupun Nusantara

Asyura berawal dari ritual keagamaan. Sejak berabad-abad lalu, ritual ini membentuk akulturasi berupa keragaman tradisi sesuai dengan kultur nusantara. Bahkan, kata atau istilah asyura sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa Asyura/Asyu·ra/ merupakan kata benda (n) yang berarti: 1 Muharam; 2 perayaan tanggal 10 Muharam (hari raya Hasan dan Husen).

Hasan dan Husen mengacu pada nama cucu Nabi Muhammad SAW, anak Ali Bin Abi Thalib yang juga sahabat Nabi. Bagi muslim Syiah, Hasan dan Husen merupakan imam sekaligus ahlul bait.

Di Nusantara, tradisi terkait asyura mudah ditemukan di berbagai provinsi, tidak hanya di tanah Jawa saja. Yusantri Andesta dalam skripsi ilmiah berjudul Makna Filosofis Tradisi Suroan pada Masyarakat Jawa di Kelurahan Padang Serai Kota Bengkulu (Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam Jurusan Ushuluddin Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Bengkulu 2020) memotret tradisi berusia ratusan tahun ini di berbagai wilayah Indonesia.

Yusantri mengatakan, di Indonesia banyak pelaksanaan kegiatan ritual kebudayaan yang diiringi dengan ajaran Islam. Salah satu ritual yang bernuansa keagamaan adalah perayaan Suroan atau dalam kalender Islam perayaan tahun baru Islam pada 10 Muharam. Suro merupakan sebutan bagi bulan Muharram dalam masyarakat Jawa. Kata tersebut sebenarnya berasal dari kata asyura dalam bahasa Arab yang berarti sepuluh, yakni tanggal 10 bulan Muharam.

“Bagi masyarakat Jawa kegiatan-kegiatan menyambut bulan Suro sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Kegiatan-kegiatan yang berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan dan menjadi tradisi yang setiap tahun dilakukan,” terang Yusantri, diakses Rabu, 10 Juli 2024.

Bentuk-bentuk kegiatan tradisi ini dimulai pada malam 1 Suro yang biasanya selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat Islam yang hadir. Hal ini bertujuan untuk mendapatakan berkah dan menangkal datangnya mala.

Namun, Yusantri melanjutkan, tidak hanya Masyarakat Jawa yang menganggap bulan suro ini sakral dan penting. Di dalam ajaran Islam bulan Muharam atau bulan suro merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan bulan haram.

Di Jawa Timur, lanjut Yusantri, tepatnya Ponorogo perayaan satu suro diisi dengan berbagai aktivitas seperti Festival Reog Nasional, Pawai lintas sejarah, Kirab pusaka, dan Ralungan risalah doa di Telaga Ngebel. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan bagi masyarakat setempat yang diberi nama Grebeg Suro.

Di desa Mlangi Nogotirto Seleman Yogyakarta, peringatan asyura dilakukan dengan memasak sega megana yang dibawa ke masjid untuk dibagikan kepada anak-anak, terutama anak yatim. Sementara orang dewasa melakukan puasa sunnah. Tidak jauh berbeda dengan di Kota Gede, tepatnya didusun Darakan, pada tanggal 10 Muharam masyarakat (terutama generasi tua) membuat Jenang Panggul. Pembuatan Jenang Panggul dimaksudkan untuk menolak bahaya.

Di Solo, biasanya dalam perayaan satu Suro terdapat hewan khas yakni kebo (kerbau) bule. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi masyarakat yang menyaksikan malam satu suro.

Berbeda dengan Solo, di Semarang perayaan malam satu suro dilakukan ritual kungkum. Tradisi ini dilakukan dengan cara berendam disungai pada malam satu suro atau satu Muharam. Tujuan dari tradisi ini untuk mensucikan kotoran rohani dan jasmani.

“Di Jawa Barat terdapat tradisi bubur suro, bubur ini terbuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh,” tulis Yusantri.

Selain di pulau Jawa, di pulau Sulawesi dan Sumatera juga terdapat perayaan malam satu suro yang menjadi ritual-ritual sakral dalam pelaksanaanya. Di pulau Sulawesi perayaan satu suro membuat bubur yang diberi nama bubur jepe suro (bubur Muharam) yang dilakukan di masyarakat Takalar, provinsi Sulawesi Selatan.

Di Pulau Sumatera terdapat perayaan tahun baru Islam seperti di Aceh. Untuk memperingati bulan asyura masyarakat Aceh membuat kaji asyura yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan, kacang tanah, papaya, delima, pisang dan akar-akaran. Setiap bulan Muharam masyarakat Aceh memasak kanji Asyura di suatu tempat, kemudian dibawa ke masjid atau perempatan jalan dan setelah ddibacakan doa dibagikan kepada masyarakat.

Di Sumatera Barat tepatnya di Pariaman dalam menyambut bulan Muharam melaksanakan ritual yang disebut tabuik. Sementara di Provinsi Bengkulu juga terdapat perayaan satu Muharam yang di sebut tabut, ritual adat istiadat yang dilaksanakan masyarakat Kerukunan Keluarga Tabut dalam penyambutan tahun baru Islam. Di Kota Bengkulu selain perayaan tabut, memiliki kegiatan lain pada saat tanggal 10 Muharam yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang merantau ke Bengkulu.

Risma Aryanti dan Ashif Az Zafi dalam penelitian ilmiah berjudul “Tradisi Satu Suro di Tanah Jawa dalam Perspektif Hukum Islam” juga menegaskan bahwa masyarakat Indonesia telah lama mengenal istilah suro. Beberapa tradisi peringatan asyura antara lain ngadulang, salah satu tradisi di Jawa Barat. Contohnya di Sukabumi, ngadulag dilakukan untuk menyambut perayaan satu suro atau tahun baru Islam.

Ada juga pawai obor yang merupakan perayaan tahun baru Islam seperti yang dilakukan di Banten. Kegiatan pawai obor juga ada di berbagai daerah yang biasanya dilakukan secara pawai berkeliling dengan memegang obor.

Risma Aryanti dan Ashif Az Zafi juga mengulas bubur asura, makanan Kalimantan dan hanya ada di tahun baru Islam. “Selain di Kalimantan tradisi bubur suro juga ada di Jawa Barat khususnya Limbangan dan Tasikmalaya, Garut) untuk menyambut bulan Muharram. Bubur merah dan bubur putih dimasak secara terpisah. Bubur akan dibawa ke masjid, masyarakat duduk melingkar dipimpin oleh sesepuh. Ada pembacaan sholawat dan al-Barzanzi oleh penduduk,” terang Risma Aryanti dan Ashif Az Zafi.

Baca Juga: Menyikapi Viralnya Video "Aliran Sesat" di Bandung yang Menyudutkan Kelompok Syiah
Dari Jejak-jejak Intoleransi
Tak Ada Partai Politik yang Berkampanye Melindungi Hak-hak Digital Kelompok Minoritas

Penolakan Peringatan Asyura Sama dengan Menolak Keberagaman Indonesia

Asyura bagian dari keberagaman Indonesia yang menjunjung kebhinekaan, sebagaimana falsafah negara bhineka tunggal ika. Namun, baru-baru ini beredar surat penolakan terhadap peringatan asyura dari Paguyuban Pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (PPNKRI) yang yang dilayangkan kepada Pj. Walikota Bandung dan lembaga negara lainnya.

Ketua DPD Ahlul Bait Indonesia (ABI) Kota Bandung Rustana Adi telah menerima surat penolakan peringatan asyura. Di sisi lain, Rustana Adi mengkritik bahwa surat tersebut memiliki sejumlah kelemahan. Dari sisi standar penulisan surat formal, surat tersebut memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Menurutnya, surat penolakan itu merupakan hasil copy paste dari surat penolakan terkait kegiatan asyuro tahun 2022.

“Bahkan yang sekarang ini, dari segi redaksi surat aja udah salah. Nomornya 2022, tahunnya 2024. Lalu dari tahun hijriahnya itu kan 1444 H, sekarang ini kan udah 1445. Jadi ini dari segi suratnya aja udah cacat nih,” terang Rustana Adi, kepada BandungBergerak.

Surat penolakan Asyura dari PPNKRI bertanggal 1 Juli 2024 bernomor 010/PPNKRI/VII/2022 berisi dukungan terhadap aparat kepolisian dalam menjaga kondusifitas kota Bandung tidak mengeluarkan izin keramaian bagi kaum Syiah dalam merayakan hari asyura di wilayah hukum kota Bandung dan sekitarnya.

Rustana mengatakan, isi surat bertolak belakang dengan pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang tidak melarang Asyura. Rustana juga menelaah Fatwa MUI tahun 1984 tentang faham Syiah, hasil Ijtima Ulama Indonesia tahun 2006 yang berisikan taswiyatul manhaj berdasarkan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan 10 kriteria pedoman penetapan aliran sesat yang disahkan dalam forum rakernas MUI tahun 2007 yang menjelaskan bahwa ajaran Syiah sesat dan menyesatkan.

Rustana Adi menjelaskan, fatwa MUI yang dijadikan landasan penolakan Asyura tersebut bukanlah fatwa MUI pusat, melainkan MUI Jawa Timur. Selain itu, berdasarkan himbauan MUI Kota Bandung tahun 2022 dengan nomor: 227/A/MUI-KB/VIII/2022, disampaikan empat poin terkait akan tibanya hari Asy-syura 10 muharram yang ditandatangani oleh Dewan Pimpinan Harian MUI kota Bandung, 3 Agustus 2022.

Poin pertama himbauan MUI Kota Bandung 2022 mengimbau untuk menjaga kondusifitas sosial politik kota Bandung dengan senantiasi saling menghormati dan menghargai perbedaam, menjalin dan mempererat tali persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah dengan mengedepankan sikap tasamuh, tawazun, dan tawasuth.

Poin kedua mengimbau untuk menjaga dan memelihara kerukunan beragama dengan tidak melakukan kegiatan yang dapat melahirkan konflik antara masyarakat. Poin selanjutnya mengimbau untuk menjaga dan membina stabilitas dan kondusifitas Kota Bandung, khususnya bagi pihak-pihak yang ingin menyelenggarakan ritual keagamaan tertentu, dengan memilih tempat yang jauh dari kesan demonstratif yang dapat memancing respons yang tidak diinginkan.

“Mengutamakan siltaruhami khususnya untuk menjaga dan memelihara kebersamaan dalam bingkai akhlak muliah,” tulis poin terakhir dari imbauan MUI 2022.

Rustana Adi berpendapat, MUI merupakan organisasi keagamaan yang setara dengan ABI ataupun Ijabi (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia). Organisasi keagamaan tidak memiliki kewenangan untuk menyampaikan larangan. Hanya negara, dalam hal ini Kementerian Agama yang memiliki kewenangan tersebut.

“Kalau misalnya ngambil dari MUI Jawa Timur jelas beda tuh. Apalagi bukan pusat. Cacat hukum itu, ya,” kata Rustana.

Sejak Jumat, 5 Juli 2024 BandungBergerak telah menghubungi Kesbangpol Kota Bandung terkait surat penolakan asyura di Kota Bandung. Namun dari pihak Kesbangpol Kota Bandung sedang berhalangan untuk melayani wawancara dengan pers.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Toleransi Antarumat Beragama

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//