• Berita
  • Menyikapi Viralnya Video "Aliran Sesat" di Bandung yang Menyudutkan Kelompok Syiah

Menyikapi Viralnya Video "Aliran Sesat" di Bandung yang Menyudutkan Kelompok Syiah

Di negeri bhineka seperti Indonesia, tak ada satu pun lembaga atau seseorang yang berhak mencap suatu kelompok keagamaan sebagai aliran sesat.

Ratusan murid perwakilan dari 70 SMP di Kota Bandung menghadiri Ikrar Toleransi di Taman Dewi Sartika, Senin (31/1/2023). Acara ini digagas untuk menghilangkan aksi-aksi intoleran berlatar SARA dan perundungan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana9 Agustus 2023


BandungBergerak.idSepekan kemarin, jagat maya sempat ramai memperbincangkan video tentang ritual keagamaan yang dicap "sesat". Video ini lalu diamini sejumlah media massa. Disebutkan, lokasi ritual terjadi di Gegerkalong, Kota Bandung. Tudingan atau cap sesat adalah masalah serius yang menyudutkan dengan stigma buruk pada kelompok rentan minoritas.

Ketua DPD Ahlulbait Indonesia (ABI) Kota Bandung Rustana Adi menyatakan video tersebut diambil dari luar Gedung Sekretariat DPD ABI Kota Bandung di Jalan Geger Kalong Girang di saat umat Syiah sedang memperingati Asyura, syahidnya cucu Nabi Muhammad SAW, Imam Husein bin Ali.

Namun, kata Rustana, isi video dibingkai sedemikian rupa dengan narasi aliran sesat dan berbau fitnah. Adegan yang ditampilkan hanya sepotong-sepotong tentang orang-orang melantunkan syair-syair duka sambil memukul dada. Tidak jelas awal dan akhirnya.

“Secara tendensius (isi video) fitnah dan tidak berdasar. Aliras sesat itu dari mana ukurannya? Tidak jelas,” kata Rustana, saat dihubungi BandungBergerak.id, Selasa (8/8/2023).

Rusatana menuturkan, peringatan Asyura di Kota Bandung bukan baru kali ini saja. Bukan hal baru. Bahkan sebelum muncul kelompok-kelompok yang menyatakan antisyiah, peringatan Asyura dilakukan di gedung-gedung secara terbuka.

Namun belakangan peringatan ini banyak mendapat penolakan dari kelompok tertentu yang antikeberagaman. Akhirnya, peringatan yang sejatinya bagian dari ekspresi keagamaan yang dijamin negara yang beragam (bhineka) seperti Indonesia ini hanya digelar di sekretariat secara internal.

Sementara di dunia, Rusatana menuturkan bahwa Asyura dengan tradisi memukul dada sambil melantunkan syair duka dipraktikkan di banyak negara. Artinya. Asyura merupakan peringatan yang sudah lazim diperingati.

Ia menyesalkan mengapa ada media massa yang ikut-ikutan memberitakan video yang menyesatkan suatu kelompok agama. Apalagi meminta penilaian sesat dan tidaknya dari kepolisian yang tidak memiliki domain untuk itu.

Indonesia merupakan negara yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di sini tumbuh berbagai penganut agama dengan beragam suku bangsa. Tidak bisa suatu kelompok agama atau kepercayaan menilai sesat pada kelompok lain.

Rustana pun mengimbau khususnya kepada warganet untuk tidak percaya begitu saja pada video yang dibingkai dengan narasi-narasi fitnah. Setiap informasi dari media sosial sebaiknya dikonfirmasi langsung ke sumbernya.

ABI Kota Bandung sendiri selalu terbuka untuk berdialog dan menjelaskan tentang peringatan Asyura. Ia mengingatkan, di negeri Indonesia yang memiliki keragaman suku bangsa dan agama dialog yang jernih harus dikedepankan.

“Jadi bisa datang langsung ke kami. Utamakan tabayun, klarifikasi,” kata Rustana.

Asyura Momentum Tahunan

Peringatan Asyura yang dilakukan kelompok Syiah di Bandung memang bukan hal baru, tapi sudah dilakukan sejak lama. Bahkan secara kultural Asyura sudah membaur dengan tradisi nusantara, misalnya terlihat dalam bubur merah dan putih, tepukan dada pada tari saman, dan peringatan-peringatan yang biasa berlangsung pada tanggal 1 sampai 10 Syura (Muharram).

Koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub) Arfi Pandu Dinata mengatakan, di dunia muslim sudah banyak usaha untuk mendialogkan Sunni dan Syiah, dua mazhab di dalam Islam. Sebagai contoh, Raja Yordania pernah mendeklarasikan Risalah Amman yang menyatakan keberagaman mazhab di dalam Islam.

Terkait Risalah Amman ini, Abd Azis Masang dari Universitas Muhammadiyah Makassar dalam Jurnal Pilar Volume  09 , No. 2, Tahun 2018 menjelaskan risalah ini dilatarbelakangi keinginan mewujudkan persatuan Sunni-Syiah. Risalah Amman (Amman Message) dideklarasikan oleh Raja Abdullah II bin Hussein dari Yordania pada November 2004 dan ditandatangani oleh 200 ulama baik Sunni maupun Syiah dari lebih 50 negara.

Sementara di nusantara, kata Arfi, tradisi Syiah sudah berlangsung sejak lama. Ini dibuktikan dengan adanya tradisi-tradisi nusantara yang bercorak Syiah. Arfi menyebutkan Kerajaan Perlak sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara memiliki nuansa Syiah. 

Artinya, Arfi mengingatkan bahwa sudah lama nusantara menjadi rumah bersama semua agama dan semua aliran keagamaan. Mereka hidup berdampingkan satu sama lain. Sehingga video yang menyesatkan suatu aliran menjadi tak relevan dalam konteks nusantara ini. 

Terkait kerajaan Perlak ini, Hikmawan Saefullah dalam Jurnal Maarif: Arus Pemikiran Islam dan Sosial vol 10, no 2 Desember 2015 menuliskan, keberadaan Syiah di Indonesia dapat ditelusuri asal-usulnya hingga sejarah awal perkembangan Islam di tanah Nusantara. Beberapa literatur sejarah menyebutkan Islam Syiah di Nusantara sudah ada sejak abad ke-9 masehi.

Hikmawan mengutip keterangan dari Profesor A. Hasjmy dalam bukunya yang berjudul "Syiah dan Ahlussunnah: Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara" yang menuturkan, Islam Syiah awalnya dibawakan oleh para migran dari Arab, Persia, Gujarat (India). Berawal dari hubungan dagang dan asimilasi dengan warga lokal ini, kerajaan Islam Perlak, kerajaan Islam pertama di Nusantara, kemudian berdiri.

“Beberapa tradisi ritual Syiah masih dapat ditemukan dalam beberapa upacara adat di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi,” tulis Hikmawan. 

Jadi, lanjut Arfi, peringatan Asyura hanya salah satu dari sekian tradisi Syiah yang masih dipraktikkan di Indonesia, baik secara ritual maupun kultural. Dengan kata lain, peringatan Asyura di Bandung dan di nusantara sudah biasa.

“Terkait Asyura kemarin itu momen tahunan kok. Dalam Syiah ada peringati kematian imam h yg dibunuh. Tapi secara kultural dilakukan tiap tahun. Komunitas Syiah yang berkembang di Bandung rutin memperingati Asyura,” terang Arfi Pandu Dinata, kepada BandungBergerak.id.

Belakangan muncul kelompok-kelompok antikeberagaman yang menarasikan komunitas Syiah sebagai kelompok sesat atau menyimpang. Bahkan Arfi melihat ada upaya mendorong negara untuk mengeluarkan regulasi diskriminatif pada komunitas ini, sebagaimana yang terjadi pada kelompok minoritas lainnya, yaitu Ahmadiyah.

Di awa Barat hingga kini masih terdapat regulasi diskriminatif, yakni Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah. Arfi menyatakan, dalam konteks Indonesia yang bhineka, maka negara maupun pemerintah daerah tidak berhak menentukan suatu kelompok keagamaan dilarang atau tidak.

“Semua dinaungi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Itu justru yang harus dijamin oleh negara,” kata Arfi.

Terkait kebabasan berkeyakinan dan beragama, secara personal seseorang tentu boleh merasa tidak setuju dengan suatu ajaran. Tetapi ketidaksetujuan ini tidak bisa dituangkan ke dalam bentuk serangan, fitnah, apalagi meminta negara untuk menindak atau membuat aturan yang mendiskriminasi kelompok ajaran tersebut.

“Negara ga boleh memfasilitasi aksi intoleransi, negara tak punya alat untuk menentukan kelompok mana yang lebih valid, lebih soleh, mana yang lebih ortodok,” katanya.

Sebaliknya, negara yang berlandaskan kebhinekaan harus menaungi seluruh kelompok berkeyakinan dan beragama. Ini amanat konstitusi.

Baca Juga: Memupuk Toleransi Antar Umat Beragama dengan Konfirmasi dan Verifikasi Prasangka
Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni
Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika

Hati-hati dengan Konten Keagamaan

Sebuah konten, entah berita, caption, video, foto yang menyudutkan kelompok kepercayaan atau agama tertentu mengandung konsekuensi serius bagi keberlangsungan kelompok kepercayaan atau agama itu. Lebih-lebih jika konten tersebut menyematkan stigma sesat.

Konten tersebut bisa menjadi pintu masuk bagi sikap-sikap intoleran, dijadikan dalih oleh kelompok-kelompok antikeberagaman untuk melakukan penyerangan. Maka negara harus memberikan perlindungan agar tidak terjadi serangan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Kepala Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung Heri Pramono menyatakan, Indonesia melalui konstitusinya menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama bagi warganya. Jadi tidak ada satu lembaga atau seseorang yang berwenang menyatakan sesat atau menyimpang suatu kelompok. Apalagi jika stigma ini hanya bersumber dari video viral yang tidak jelas verifikasinya.

“Agama urusan dia dengan Tuhannya. Sangat konyol kalau ada seseorang atau misalnya negara menindak,” kata Heri.

Namun dalam pantauan LBH Bandung, masih ditemukan adanya aturan-aturan yang dibuat negara ataupun pemerintah daerah yang mendiskriminasi kelompok-kelompok minoritas. Salah satunya mengenai pasal penodaan agama seperti yang dikenakan pada Panji Gumilang pimpinan Pondok Pesantren Al Zaytun. Kasus ini dilatarbelakangi tekanan massa. Jika dikaitkan dengan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi, mestinya negara konsisten menjalankan kebebasan ini.

“Posisi negara objektif. Lebih aktif untuk melindungi, artinya memberi jaminan keamanan bagi kebebasan berkeyakinan dan beragama pada kelompok mana pun agar eksis beribadah,” terang Heri.

Heri berharap warganet lebih bijak lagi dalam mengunggah konten media sosial. Karena suatu konten bisa menjadi pemantik untuk tindakan intoleran. Memang warganet memiliki kebebasan berekspresi di internet. Tapi mengunggah video dengan narasi aliran sesat akan merugikan kelompok minoritas yang posisinya sudah rentan.

Video yang dibuat asal-asalan tanpa memperhatikan verifikasi dan klarifikasi akan mudah menggelinding dan cepat menyebar di media sosial. Konten ini bisa menjadi dalil bagi kelompok-kelompok intoleran.

Jika sudah viral, kadang penegakan hukum pun ikut terpengaruh. Dewasa ini tindakan apa pun baru dilakukan setelah viral. Warganet disarankan agar tetap kritis saat menerima konten-konten media sosial khususnya yang memuat pesan keagamaan. Teliti atau kroscek untuk memastikan kebenaran konten, sehingga tidak langsung menghakimi.

”Karena (mencap sesat pada suatu ajaran) dampaknya besar menyangkut seseorang dalam konteks kebebasan berkeyakinan dan beragama,” kata Heri.

Konten yang tidak berisi kroscek, verifikasi, klarifikasi dengan sumber tidak jelas sebaiknya tidak usah dipercaya. Dengan begitu, warganet tidak mudah tergiring pada opini yang menyudutkan kelompok minoritas.  

Menurutnya, baik ABI maupun IJABI adalah organisasi terbuka yang siap berdialog terkait kegiatan mereka. Dalam catatan LBH Bandung, mereka rutin menggelar Ayura setiap tahunnya. Kegiatan ini merupakan ekspresi yang menjadi bagian dari kebebasan berkeyakinan dan beragama.

Diketahui, tahun 2022 menjadi tahun pertama kalinya bagi Provinsi Jawa Barat menduduki posisi kedua pada laporan pelanggaran Kondisi Kebebasan Beragama/Beryakinan (KBB) terbanyak yang dikeluarkan oleh Setara Institute, yaitu 25 peristiwa atau kasus.  

Tahun sebelumnya, Setara Institute mencatat Jawa Barat selama 14 tahun berturut-turut sebagai provinsi dengan jumlah kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) tertinggi di Indonesia. Laporan ini disusun berdasarkan jenis-jenis kasus, antara lain gangguan rumah ibadah yang mencakup penolakan pendirian rumah ibadah dan gangguan saat ibadah. 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//