RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #2: Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika
Kampung Toleransi Jamika sudah lama terkenal dengan ciri khasnya, yaitu toleransi di antar masyarakatnya yang memiliki latar belakang agama beragam.
Penulis Emi La Palau25 Maret 2023
BandungBergerak.id - Siang itu, di hari kedua Ramadan di kampung toleransi Kelurahan Jamika. Pendeta Jahja Kosim (62 tahun) sibuk memindahkan jemuran pakaian anaknya agar tak terkena percikan air hujan. Baginya pekerjaan rumah tangga tak bisa hanya dibebankan pada perempuan saja, tapi laki-laki juga harus mengerjakannya.
Siang menjelang sore. Suasana kampung Toleransi Jamika cukup meriah, sebagian masyarakat mulai membuka lapak warung kaki lima untuk menjajakan takjil buka puasa. Sementara aktivitas lainnya seperti kegiatan ibadah, tampak normal. Hal ini berbeda dengan dua tahun lalu ketika Bandung dirundung pagebluk Covid-19, saat Ramadan dikuasai sunyi yang mencekam.
Di kepengurusan Kampung Toleransi pun aktivitas sudah kembali seperti masa-masa sebelum pagebluk. Mengawali Ramadan kali ini, mereka mengadakan munggahan secara internal. Lalu di pertengahan bulan Ramadan nanti akan ada bakti sosial (baksos) berupa pembagian bantuan sosial. Masih banyak warga di kampung toleransi yang belum terjamah oleh bantuan pemerintah. Kegiatan ini rutin dilakukan tiap Ramadan.
Pagebluk yang melanda masyarakat dunia tentunya masih membekas di ingatan warga. Tak terkecuali di Kampung Toleransi Jamika. Beberapa jalan sempat ditutup, aktivitas warga terhenti. Banyak dari mereka yang kehilangan pendapatan. Orang yang berpenghasilan kecil merana, orang yang berpendapatan besar merugi.
Benar kondisi saat ini sudah mengarah ke normal. Namun untuk memulihkan ekonomi yang rontok selama dua tahun pagebluk tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Walaupun banyak pedagang mengatakan sudah (mulai) meningkat tapi belum seperti sebelum pandemi (aktivitas ekonomi),” jelas Jahja Kosim, kepada Bandungbergerak.id, ditemui di kediamannya di kawasan Jamika, Kota Bandung, Jumat (24/3/2023).
Menurutnya, di tengah situasi yang terlihat normal tersebut masih ada warga yang kekurangan secara ekonomi. “Aktivitas sudah seperti biasa tapi kalau warga ga punya duit ga bisa beli-beli,” ucapnya.
Perbedaan besar yang dirasakan setelah pegebluk mulai mereda salah satunya di tahun 2023 ini mulai banyak kunjungan ke Kampung Toleransi Jamika untuk melihat keragaman warganya. Kunjungan misalnya dilakukan Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kota Riau bersama beberapa organisasi masyarakat Riau. Ada pula kunjungan mahasiswa yang banyak berasal dari luar pulau Jawa. Kunjungan dari mahasiswa lokal yang melakukan studi banding mulai mengalir sejak akhir Desember 2022.
“Mereka di sini (merasa) agak aneh juga lihat vihara, gereja, masjid berdekatan dan tidak ada masalah (tidak ada gesekan antarwarga),” cerita Jahja Kosim.
Kampung Toleransi Jamika sudah lama terkenal dengan ciri khasnya, yaitu sikap masyarakatnya yang toleran meski mereka berasal dari latar belakang agama yang berbeda-beda. Kekhasan ini sudah terbangun sejak sebelum istilah Kampung Toleransi dilembagakan oleh Pemkot Bandung. Bagi warga Jamika, perbedaan justru semakin mengeratkan persaudaraan. Jahja menegaskan, kunci toleransi adalah saling menghargai.
“Kalau dikaitkan dengan toleransi saling menghargai dalam hal keyakinan dan mungkin kita bersyukur gak ada gesekan antarmasyarakat berkaitan dengan leyakinan,” ungkapnya.
Sikap toleransi di Kampung Toleransi Jamika dapat dilihat dari aktivitasnya yang beragam menjelang hari-hari besar peringatan keagamaan. Pada Ramadan seperti sekarang, ada baksos yang dikerjakan bersama. Menjelang Idulfitri biasanya warga nonmuslim membantu kelancaran ibadah umat muslim dalam perayaan Idulfitri. Mereka berbagi peran, misalnya membantu dari segi keamaan dan lain sebagainya.
Menjaga Toleransi
Jamika menjadi salah satu dari lima kampung toleransi di Kota Bandung yang pertama kali diresmikan. Kampung ini menjadi duta toleransi bagi Kota Bandung. Selanjutnya, semangat toleransi yang sudah tumbuh di kampung toleransi ini tinggal dirawat dan dijaga agar tetap lestari dan menyebar ke kampung-kampung lain.
Bagi Jahja Kosim, toleransi diartikan dengan mendalami keyakinan sendiri dengan benar kemudian menghargai keyakinan orang lain. Masalah intoleransi akan muncul jika satu pihak yang berbeda keyakinan mempertanyakan keyakinan pihak yang lain.
“Menilai keyakinan orang lain (dengan keyakinan diri sendiri) itu tidak baik. Istilahnya sudah pasti akan menjadi masalah. Untuk toleransi, untuk mencegahnya ya berdialog,” ungkapnya.
Dialog antarumat beragama perlu dilandasi dengan sikap tanpa curiga dan prasangka. Dan menerima keberagaman sudah menjadi keharusan. Sejauh ini, alhamdulillah di kampung Toleransi Jamika belum pernah terjadi gesekan antarumat beragama.
“Mau gimana kita memang lahir di sini, beragam. Jadi menolak keberagaman ya gimana Indonesia memang sudah beragam, lebih baik saling memahami kemudian rukun kan lebih nyaman,” kata Jahja Kosim.
Menjadi Pendeta, Menjadi Pelayan Umat
Jahja Kosim mengabdikan hidupnya sebagai pendeta sejak tahun 2006, ketika ia lulus sekolah teologi di Institut Alkitab Tiranus yang saat ini menjadi Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus di Jalan Cihanjuang, Kota Cimahi, Jawa Barat. Pria yang lahir pada 13 Oktober 1960 ini mulanya tak diizinkan sang istri, Erlyn Magdalena, menjadi pendeta.
Istrinya mempertimbangan masalah ekonomi jika suaminya menjadi pendeta. Saat itu anak-anak mereka masih kecil. Kebutuhan duniawi dirasa akan menjadi priotitas tanpa mengecilkan peran pendeta yang lebih mengutamakan kegiatan rohani dan umat.
Jahja memiliki tiga anak perempuan, anak pertama dan kedua sudah lulus kuliah dan bekerja. Tersisa si bungsu yang masih duduk di bangku kuliah jurusan Teknik Informatika Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) di semester akhir.
Namun, selama menjadi pelayan umat dan hidup serba sederhana ia merasa kebutuhan duniawinya justru selalu terpenuhi. Contohnya, dalam urusan membiayai pendidikan bagi anak-anaknya, selalu saja ada saja rezeki yang bisa datang dari pintu yang tak disangka-sangka oleh logika.
Dua tahun lalu, Kamis (6/5/2021), Bandungbergerak.id pernah berbincang-bincang dengan Jahja Kosim. Waktu itu ia menceritakan bagaimana perjalanan hidupnya akhirnya memilih menjadi seorang pendeta. Ia dapat meyakinkan sang istri bahwa menjadi pelayan umat benar-benar merupakan panggilan hati.
Sebelum menjadi pendeta, ia pernah menggeluti profesi yang berkaitan dengan jurusannya, yaitu teknik industri. Ia lulusan Akademi Teknologi Nasional yang saat ini berganti nama menjadi Institut Tekonologi Nasional (Itenas) Bandung pada 1984. Ia sempat bekerja di proyek-proyek pembuatan program aplikasi.
Pilhan menjadi pendeta artinya gaya hidup pun harus berubah. Jahja yang tadinya serba berkecukupan menjadi penuh kesederhanaan. Ia harus melepaskan pendapatan tetap dari pekerjaan yang sudah lama ia tekuni dan benar-benar menjadi pelayan umat.
Perubahan pada haluan hidup Jahja bukannya tiada tantangan. Beberapa kali ia kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya. Pernah dua anaknya membutuhkan uang kuliah di waktu yang bersamaan. Namun akhirnya datang bantuan dari sang adik dan beberapa temannya.
Saat ini dua anak Jahja sudah mandiri. Jahja masih menyekolahkan si bungsu di Unpar. Tuhan menyayangi umatnya yang teguh menjalani prinsip kehidupan. Anaknya yang aktif sebagai ketua himpunan di jurusannya sempat mendapat beasiswa.
“Sepanjang tujuh tahun itu kami sekeluarga bagaimana Tuhan memeliharakan jadi gak sampe harus pinjam-pinjam (biaya) sekolah,” tuturnya.
Kesungguhan Jahja menjadi pendeta meluluhkan hati istrinya. Suatu waktu, istrinya bertanya, “Apakah betul akan ikut pendidikan serius (menjadi pendeta)?”
“Saya jawab serius, barulah diizinkan,” cerita Jahja.
Tahun 1999 ia mulai belajar kependetaan, sampai akhirnya ia mulai mengabdi pada tahun 2006 di Gereja Bethesda, Jalan Luna, yang menjadi bagian dari Kampung Toleransi Jamika. Sebagai pelayan umat, ia senantiasa berpesan agar umatnya selalu menjaga keharmonisan dan kerukunan umat di keluarahan Jamika.
“Pelajarin keyakinan iman sendiri dengan sungguh-sungguh kemudian hargailah kepercayaan orang lain dan terimalah perbedaan,” katanya.
Baca Juga: RAMADAN SETELAH PAGEBLUK #1: Masih Berjualan Kaus Bandung, Masih di bawah Teras Cihampelas
Ramadan di Tahun Pagebluk (1): Dari Terminal ke Terminal
Ramadan di Tahun Pagebluk (2): Koran dan Majalah dalam Dekapan Wahyu
Membantu Pekerjaan Rumah Tangga
Sebagai pelayan umat, aktivitas Jahja sehari-hari menyiapkan pengajaran untuk umat, berkunjung kepada umat yang membutuhkan saran, membutuhkan pendamping, dan dukungan moril agar kembali semangat.
Selama menjadi pendeta, Jahja tak lupa menjalankan kewajibannya sebagai ayah dan suami. Selepas tugas utamanya, biasa turut serta mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Terlebih istri tercintanya sedang sakit, ia harus merawatnya termasuk menyiapkan makanan. Sesekali ia membantu anaknya mengurus jemuran, seperti yang ia lakukan pada siang menjelang sore itu.
“Saya ngak ada pekerjaan perempuan ini pekerjaan laki-laki (juga),” ungkapnya.
Menurutnya, laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Tak ada konsep di benaknya bahwa pekerjaan harus dibagi berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Konsep ini sudah ia pahami sejak kecil dari keluarganya.
Perbedaan agama, keyakinan maupun gender adalah bagian dari keberagaman yang harus dihormati. Jahja mengku tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga yang memegang teguh penghargaan terhadap keberagaman. Bagi keluarganya, perbedaan merupakan modal kuat dalam hidup bermasyarakat.
Ketika Ramadan tiba, Jahja turut bergembira. Apalagi saat ini para tetangganya yang muslim menjalani bulan Ramadan dalam suasanya yang sudah mulai normal kembali, tanpa dihantui pagebluk.